4 Peradaban Sosial Yang Dibangun Nabi Pasca Hijrah Di Madinah

[ad_1]

Covid-19 bukanlah wabah pertama yang terjadi sehingga membuat proses ibadah haji di Mekkah terganggu. Berkumpulnya ratusan ribu jamaah haji dari berbagai negara di tempat yang tak begitu luas memang rentan menjadi kluster penyebaran wabah. Apalagi ketahanan tubuh yang rendah selama prosesi ibadah diakibatkan perbedaan cuaca dan perjalanan jauh para jamaah, mengakibatkan semakin mudah terserang penyakit.

Dari sinilah, dalam sejarahnya, ibadah haji kerap dilanda wabah. Salah satunya adalah wabah kolera. Menurut Michael C Low dalam bukunya, Empire of The Hajj: Pilgrims, Plagues and Pan-Islam Under British Surveillance, 1865-1926 (2007) menyebutkan jika wabah tersebut pertama kali terjadi di Mekkah pada 1831. Hal ini dibawa oleh para jamaah haji asal India.

Awalnya kolera menjangkiti Inggris dan Eropa pada 1817. Lalu, sebagai negara penjajah yang memiliki kontak erat dengan daerah jajahannya, penyakit tersebut pun ikut terbawa. Termasuk ke India. Di negeri Taj Mahal inilah, kolera menjadi wabah yang banyak merenggut korban jiwa. Rerata kematiannya mencapai 41.3 per seribu jiwa.

Kolera melanda jamaah haji dalam rentang waktu yang cukup panjang. Penelitian Jan Hendrik Ziesel dalam De Pelgrim-Quarantaine in de Roode Zee (1929) mencatat setidaknya terjadi 13 kali wabah kolera di Mekkah pada rentang 1860 hingga 1902. Di antaranya pada tahun 1860, 1863, 1865,1872, 1881, 1890, 1891, 1893, 1895 dan 1902. Ziesel juga mencatat terjadinya wabah penyakit pes yang melanda Mekkah selama musim haji. Di antaranya pada 1898 yang merenggut nyawa 43 jamaah, 1899 menewaskan 146 jamaah, dan 1900 yang mengakhiri hidup 115 jamaah.

Dien Majid dalam bukunya Berhaji di Masa Kolonial (2008) mencatat sejumlah wabah di Hijaz yang berkaitan erat dengan jamaah haji dari Nusantara. Pada 1909, tak kurang dari seribu jamaah haji asal Batavia terserang wabah flu. Lalu, pada 1927 juga tercatat ada sejumlah jamaah haji dari Hindia-Belanda kala itu yang terserang kolera sebanyak 7 hingga 8 persen dari jumlah jamaah.

Dalam Medisch Rapport 1928 yang ditulis oleh Konsulat Hindia-Belanda di Jeddah pada 1928, sebagaimana dikutip oleh Dien Majid (2008) menyebutkan jika jamaah haji asal Nusantara rentan terkena wabah cacar yang mendera Hijaz kala itu. Setidaknya ada 116 jamaah yang menderita cacar dan 42 orang diantaranya meninggal dunia. Pada tahun sebelumnya juga tercatat ada 162 pasien cacar yang dirawat di Rumah Sakit Mekkah, enam diantaranya berasal dari Hindia-Belanda. Dalam catatan pelayaran yang mengangkut jamaah haji dari Hindia-Belanda pada tahun yang sama juga mencatat ada 22 jamaah yang terinfeksi cacar.  Sepuluh orang tercatat di kapal-kapal Jawa (Ternate, Riaouw, Gorijstan, Simaloer, Madioen) dan 12 jamaah dari kapal-kapal Singapura (Armanestan, Antilochus, Adratus, Rhesus, Tangistan).

Salah satu penyebab terjangkitnya wabah tersebut adalah lemahnya penegakan protokol kesehatan yang berlaku. Perbaikan sanitasi dan karantina bagi para jamaah yang ditetapkan sebagai standar penanganan wabah kala itu, banyak dilanggar dengan berbagai dalih. Baik secara individual masing-masing jamaah haji, maupun kebijakan politik negara asal jamaah haji.

Seperti halnya jamaah haji India yang kemudian menjadi penyebar kolera di Mekkah. Menurut penelitian Michael C Low (2007) dikarenakan pemerintah kolonial Inggris yang menguasai India kala itu, tak mau mengakui hasil riset yang menyatakan jika kolera menyebar dari orang ke orang.

Komisaris Sanitasi Pemerintah India, Dr. JM Cunningham (menjabat 1868 – 1884) bersikeras bahwa kolera hanya disebabkan oleh ketidaksempurnaan sanitasi lokal. Ia meyakini bahwa “lingkungan yang tidak baik” atau “kebiasaan kotor” orang India yang menjadi penyebab kolera, bukan oleh bibit penyakit yang dapat menular. Sehingga tak ada dukungan yang signifikan terhadap penguatan sanitasi yang baik.

Dien Majid juga mencatat proses karantina terhadap para jamaah haji untuk menanggulangi penyakit menular tak selalu berjalan sesuai prosedur dan standar yang berlaku. Hal tersebut juga banyak dipengaruhi oleh kondisi politik penguasa di Hijaz yang berada di bawah pemerintahan Usman Nuri Pasya.

Selain itu, psikologi dari para jamaah haji yang telah lama meninggalkan kampung halaman juga menghambat proses karantina. Proses perjalanan ibadah haji yang bisa menghabiskan waktu satu tahun pada masa kolonial itu, menyebabkan adanya rindu yang tak tertahankan terhadap keluarga. Sehingga tatkala mereka harus dikarantina saat terdeteksi mengidap penyakit menular, tak jarang terjadi penolakan. Seperti halnya proses screning yang dilakukan di area berjarak 10 km dari Mekkah. Para jamaah haji yang akan kembali ke negaranya harus melewati screening penyakit menular tersebut. Namun, desakan dari puluhan ribu jamaah haji untuk segera pulit sulit untuk dibendung.

Dari penanganan wabah di masa kolonial di atas, menjadi pelajaran penting dalam pelaksanaan haji dewasa ini yang juga masih rentan terjangkit wabah. Selain Covid-19 yang belum benar-benar ditemukan cara pencegahannya yang paten, juga ada wabah-wabah lain yang biasa terjadi saat pelaksanaan rukun Islam kelima tersebut. Seperti halnya, miningitis dan lain sebagainya.

Pemerintah Arab Saudi selaku tuan rumah telah menerapkan sejumlah aturan ketat untuk mencegah penularan Covid-19 pada para jamaah haji yang akan datang. Setelah tahun sebelumnya dilakukan penutupan bagi para jamaah haji internasional, kini kabarnya akan segera dibuka. Namun, disertai dengan persyaratan yang ketat. Seperti halnya diwajibkan bagi para jamaah untuk disuntik vaksin terlebih dahulu.

Hal tersebut perlu mendapat dukungan dari semua pihak. Tak terkecuali di para jamaah haji di Indonesia. Jangan sampai ada upaya-upaya keteledoran terhadap penerapan protokol kesehatan dengan dalih apapun. Lebih-lebih jika dalih yang digunakan semata karena takdir Tuhan.

Yang tak kalah memprihatinkannya, jika sampai ada upaya-upaya koruptif yang dilakukan oleh oknum jamaah haji maupun petugas kesehatan. Ada kalanya melakukan rekayasa data kesehatan demi meloloskan oknum yang seharusnya tak layak jalan, namun bisa berangkat. Ini akan menjadi preseden buruk. Tidak hanya bagi masyarakat luas, namun juga menjadi kerugian bagi Islam itu sendiri. Jangan sampai keagungan haji tercoreng dengan tuduhan sebagai super sprider wabah. Tak mau bukan. (*)

[ad_2]

Sumber Berita

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *