Catatan Bersama Remy Sylado (3)

[ad_1]

Semoga Bukan Tulisan Terakhir

Saya dan beberapa sobat masih terus sering datang ke rumah Remy di Bogor pada permulaan merebaknya covid-19, tapi belum diumumkan PSBB.   Remy sendiri kondisinya saat itu masih belum fit benar.

Apalagi matanya juga ada masalah katarak, sehingga memerlukan operasi ringan. Namun secara umum kesehatan Remy waktu itu masih relatif stabil.

Dia masih dapat bicara dengan jelas. Masih dapat bercanda-canda. Pikirannya masih amat jernih. Walaupun sudah lebih banyak duduk atau tiduran.

Makanya kami masih dapat berdiskusi panjang lebar dan ngalor-ngidur, bermacam-macam topik.

Sampailah dalam pertemuan itu muncul gagasan untuk membuat buku kumpulan puisi khusus corona. Langsung lahir berbagai usulan.

Semua sepakat penulisnya penyair dari seluruh Indonesia. Tiap penyair memuat dua puisi.

Namun dari diskusi itu menggerucut lagi: para penulisnya haruslah wartawan dan penyair. Ditambah harus sudah pernah menerbitkan minimal satu kumpulan puisi pribadi.

Diskusi terus berkembang lagi: supaya bukunya enggak ketebalan. Maka penulisnya, harus dibatasi. Sampailah pada angka 100 penulis wartawan sastrawan.

Akhirnya disepakati menjadi 99 penyair wartawan sastrawan. Dari jumlah itu ada dua penulis tamu. Sepakat semua.

Persoalannya: bagaimana kalau jumlah yang mengirim lebih dari 100 wartawan penyair?

Nah, siapa yang harus menyeleksi? Dengan cepat kami sepakat, Remylah yang paling layak dan pantas menjadi kurator. Artinya, Remy Syladolah yang menentukan siapa wartawan penyair dan puisi mana yang layak dimuat.

Beruntung Remy berkenan. Resmi didaulatlah beliau jadi kuratornya. Dengan begitu kami terbebas dari beban untuk memilih puisi dan penyair yang layak dimuat dibuku.

Ada tiga alasan utama kami berat kalau harus memikul amanat seperti itu.

Pertama, dalam dunia sastra, pasti para penyair bakal “rewel” minta alasan kenapa puisi orang dapat terpilih tetapi puisi karyanya tidak (walaupun memang karya puisinya mungkin memang “tidak layak.”). Apalagi mereka juga para wartawan. Bisa ribut berkepanjangan.

Juri bisa dimaki-maki dan langsung menyebarkan hoax. Pengalaman saya sebagai juri dunia sastra, belum mengetahui apa yang sebenarnya terjadi saja, penyair yang “kalah” sering berkoar-koar tidak proposional.

Kedua, mungkin banyak dari wartawan sastrawan yang ikut yang memang darah dagingnya sudah penyair, sehingga muncul persoalan otoritas untuk menyeleksi karya mereka. Ketiga, urusan independensi.

Karena karya kami, termasuk yang ikut dalam seleksi, menjadi tidak fair kaau kami harus menyeleksi karya kami sendiri. Padahal kami sepakat, kalau karya kami tak lolos dari kurasi oleh Remy, kami harus bersedia menerimanya.

Nah, di tangan Remy semua persoalan itu selesai. Remy punya otoritas yang besar untuk menduduki posisi kurator. Pengalaman, prestasi dan nama besarnya tidak bakal menimbulkan kegaduhan.

Siapa yang menyangsikan reputasi Remy? Siapa yang berani melawan Remy? Apapun keputusan Remy pastilah “diakui.” Apalagi Remy berbesar hati sebagai kurator bersedia karyanya sendiri tidak ikut dimuat

Untuk memberikan bagaimana konstribusi para wartawan dalam dunia tulis menulis khususnya dalam khazanah sastra, serta bagaimana kaitannya karya-karya penulis di buku ini, kami memutuskan juga harus ada epilog dan prolog.

Untuk epilog enggak ada yang lebih tepat daripada Remy Sylado sendiri yang menulisnya. Dialah yang paling tahu karya-karya yang terpilih dan bagaimana proses sampai karya itu terpilih. Lagi-lagi Remy menyetujuinya.

Siapa yang lantas menukis epilog-nya?

Remy usul: Prof. Abdul Hadi W.M. Tanpa banyak diskusi lagi semua yang hadir setuju Abdul Hadi W.M didampuk menjadi penulis epilog. Setelah dihubungi, alhamdullilah, di tengah kesibukannya, beliau juga bersedia.

Senmula untuk mengurangi biaya dan untuk efisien, buku bakal dicetak hitam putih saja. Langsung Remy keberatan.

”Buku puisi kalau sekarang dicetak hitam putih, sama aja dengan puisi pada tahun 20-an atau 30-an!” kata Remy.

Kami tertawa. Artinya buku harus full color. Berwarna.

Lalu bagaimana dengan biaya yang relatif mahal? Siapa yang mau menanganinya? Dengan santai telunjuk Remy mengarah ke saya. Waduh. Itu bertanda saya tidak boleh menolak. Apalagi semuanya mendukung.

Walhasil jadilah saya semacam koordinator penerbitan yang lebih berperan sebagai penanggung jawab penerbitan.

Hari itu juga kami membentuk panitia dan membagi tugas. Karena buku berwarna diputuskan: seorang hanya satu karyanya yang dimuat. Pemilihannya diserahkan kepada Remy.

Lantaran sudah mulai masuk pandemi covid-19, selanjutnya kami melakukan rapat-rapat melalui zoom, dan kalau kemudian kebetulan orangnya yang dapat ikut rapat tak banyak, kami sering juga memakai whats app call group saja.

Satu hal yang kami kurang menyimak, seharusnya Bung Remy sudah harus operasi katarak, tetapi dia terus menundanya. Akibatnya pandangannya matanya tidak lagi 100 persen terang benderang. Mulai ada sedikit kabut.

Untuk menyeleksi puisi, karya-karya peserta hurufnya harus diperbesar di latop atau komputer sehingga Remy dapat membacanya dengan jelas.

Tugas itu sebenarnya berat bagi Remy yang tengah mengalami persoalan mata, tapi didikasinya tinggi. Dengan rasa tanggung jawa dia dapat melaksanakan kewajibannha dengan baik tepat waktu.

Persoalan muncul belakangan, saat Remy menulis bagian epilog. Dia sudah mulai menulisnya, tetapi kemudian dia merasa tubuhnya sudah tidak nyaman lagi. Selain persoalan katarak mata yang semakin memerlukan penanganan segera, tubuhnya juga sudah terasa tidak enak atau malah sakit lagi.

Dia pun berhenti melanjutkan menulis prolog. Semula kami mengira tak berapa kemudian Remy bakal pulih lagi dan dapat segera melanjutkan tulisan prolog itu. Namun sudah sampai dua bulan, tetap tak ada kelanjutannya. Akibatnya, jadwal penerbitan buku juga molor.

Untuk menyakinkan Remy melanjutkan sedikit lagi saya tulisannya, kami coba memakai strategi pendekatan dari orang-orang dekatnya membujuk Remy agar bersedia melanjutkan tulisannya itu. Namun apa boleh dikatakan, berbagai bujuk rayu dan saran dari orang dekatnya tak memberikan hasil sama sekali.

Tulisan masih berhenti sampai disitu.

Kami pernah mengutus secara khusus sobat Sihar, mantan wartawan Sinar Harapan yang juga penyair. Walaupun dia orang Batak dan suaranya selalu keras, tetapi dia termasuk orang yang luwes, terutama menghadapi Remy Sylado yang dia kagumi. Sihar memang fans berat Remy.

Meluncurlah Sihar ke Bogor dan berjumpa Remy di rumah Remy di Bogor. Dari pagi sampai senja Sihar di sana. Ujungnya Sihar akhirnya menyerah. ”Tetap tidak bisa, Mas Wina,” kata Sihar memberitahu ke saya lewat telepon.

Semua karya sudah terkumpul. Disain cover dan buku sudah jadi. Tinggal menunggu kelanjutan prolog dari Remy saya. Kalau pun Remy mau menulis tambahan cuma dua tiga alenea saja, bagi kami cukup sudah. Tapi itu pun kami tak dapat memaksanya. Sementara tak ada satu pun dari kami yang berani melanjutkannya.

Semuanya takut “kualat.” Kalau pun ada yang berani, pasti tak akan diizinkan oleh panitia.

Sedikit demi sedikit kami baru faham kenapa Remy belum melanjutkan tulisannya. Rupanya kami kurang peka terhadap perkembangan kesehatan Remy.

Pertama, katarak matanya waktu itu sudah mengganggu, sehingga kala itu matanya sudah rada sulit menulis di mesin tik.

Kedua, rupanya Remy sudah mulai menderita sakit lagi. Tapi Remy bukanlah orang yang mudah mengeluh atau berkeluh kesah. Dia mencoba tegar dan menghadapi persoalan tubuhnya sedapat mungkin sendiri.

Dalam keadaan seperti ini, kami tidak mungkin memaksanya meneruskan tulisan prolognya lagi. Sedangkan untuk menunggu juga belum ada kepastian kapan dapat dirampungkan. Dan jadwal terbit pun sulit untuk ditunda-tunda lagi karena bisa saja dapat menembus tahun 2020 belum juga selesai.

Apa akal?

Keputusannya seperti sesuatu yang sangat dramatik dan mengharukan. Setelah melalui rembukan panitia, kami sepakat: tulisan Bung Remy sementara sudah cukup seperti apa adanya dulu. Tak perlu ditambahkan apa-apa lagi oleh siapapun.

Dimuat di buku seperti aslinya. Tapi untuk memberikan penjelasan kepada pembaca kenapa hal itu terjadi, kami memutuskan untuk menulis foot note atau catatan kaki di bawah tulisan tersebut.

Pada foot note itu kami menjelaskan karena kondisi kesehatan tidak memungkinkan, maka prolog dari Remy pada edisi pertama hanya baru sampai bagian itu saja. Sebelum kami benar-benar menjalankankan keputusan kami, tentu adabnya kami perlu meminta izin atau persetujuan dari Remy sendiri.

Rupanya Remy yang badan tambah sakit, menyadari kondisi kesehatan tubuhnya waktu itu sedang melemah dan karena itu dia lantas menyentujui dan mempersilakan kami menempuh keputusan kami.

Epilog tulisan Remy dicetak dibiarkan mengantung tapi diberikan catatan kaki. Kebetulan saya ditugaskan membuat catatan kaki atau foot note itu.

Setelah buku terbit, baik dalam bentuk cetakan maupun e-book, kami mendapat kabar kesehatan Remy bertambah buruk. Bahkan dia sempat tidak sadar beberapa saaat. Untung keburu ada kekuarganya yang menenggok dan dapat dibawa ke rumah sakit, tetapi diperbolehkan pulang pulang kembali.

Setelah itu Remy dipindahkan ke rumahnya di Cipinang. Dia dua kali dibawa ke rumah sakit di daerah Jatinegara, namun dua kali pula dokter masih memperbolehkannya kembali ke rumah.

Dari dua kali dibawa ke rumah sakit, saya mendapat kabar, salah satunya waktu diopname harus harus dioperasi karena usus di pencernaanya banyak “benda-benda kotor”  yang menyulitkan Remy buang air besar.

Sejak itu Remy dirawat dan istirahat di rumahnya di Jatinegara. Namun lantaran pandemi covid-19, selama di sana terus terang saja, saya dan beberapa kawan dekatnya, belum pernah mem-bezoeknya lagi.

Kini Remy sudah kembali lagi ke rumahnya di daerah Cipinang. Kabarnya kesehatannya mulai membaik, walaupun belum stabil dan belum pulih seperti sedia kala.

Pandemi Covid-19 menghalangi saya dan beberapa sobat dekatnya menjengguk baik di rumah sakit maupun di rumahnya.

Dokter kami memang menyarankan kami tidak mem-bezoek orang sakit dulu selama pandemi covid-19 ini. Tapi dari kejauhan kami selaku mendoakan Remy Sylado, sang maestro, segera sembuh kembali.

Kami berharap tulisan epilog-nya dalam buku antokogi puisi 99 Wartawan Sastrawan bukanlah karyanya yang terakhir…..Kami sangat berharap dari tangannya masih lahir berpuluh-puluh pukuh karya lagi. Amin

Bersambung…..

WINA ARMADA SUKARDI, Wartawan senior, kritikus film, penyair, anggota Dewan Pers dua periode dan advokad.

[ad_2]

Sumber Berita

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *