Dalam Pandemi, Terbitlah “Yogya Yogya”

[ad_1]

Bertepatan dengan Hari Pers Nasional di Indonesia, 9 Februari 2021, Leonard Triyono berbincang-bincang dengan seorang wartawan kawakan yang telah lama berangan-angan untuk menulis novel, tetapi impian itu baru menjadi kenyataan pada masa pandemi, dan setelah dia pensiun dari dunia kewartawanan. Selagi COVID-19 merajalela, Herry Gendut Janarto justru berkesempatan menuangkan imajinasi dan kenangan masa lalunya menjadi sebuah novel Yogya Yogya yang diluncurkan pada akhir tahun lalu.

Herry Gendut Janarto (foto: courtesy)

Herry Gendut Janarto selama ini dikenal sebagai seorang wartawan senior yang pernah menjabat sebagai editor di berbagai penerbitan, mulai dari PT Gaya Favorit Press hingga Tabloid Nova dan Majalah Bobo.

Sejak di bangku kuliah di Universitas (ketika itu IKIP) Sanata Dharma, dia selalu merasa terpesona dengan dunia sastra dan berangan-angan menjadi seorang novelis. Aspirasi dan kerinduan yang dipendam selama berpuluh tahun itu justru baru terealisasi selama pandemi COVID-19 yang datang bersamaan masa purna tugasnya di dunia jurnalisme. Impian lama itu akhirnya menjadi kenyataan dengan terbitnya sebuah novel Yogya Yogya pada Desember 2020 lalu.

Dalam wawancara dengan VOA, Herry mengaku tidak ingkar dari profesi kewartawanan, tetapi penulisan novel tersebut justru bisa dianggap sebagai kulminasi dari profesi itu. Novel terkait erat dengan kegiatan tulis-menulis dan sejatinya bisa dianggap sebagai jurnal panjang atau kumpulan jurnal yang selama sekian lama tersimpan dalam benak dan baru dimunculkan dalam satu tulisan panjang, novel.

“Saya memang awalnya itu banyak menulis buku biografi. Yang pertama misalnya Teguh Srimulat, lantas Teater Koma, ada juga Didik Nini Thowok, Bagito, tapi kemudian akhir-akhir ini saya ingin menulis yang berbau sastra. Jadi, ada cerpen, puisi, (dan) ini novel juga saya mulai, bahkan gencar sekali (saya) menulis novel. Saat ini, pada masa COVID ini, saya menulis terus.”

Herry Gendut mangaku, biasanya dia mengetik sambil menikmati kopi di coffee shop, “tapi (karena COVID) ya sudah lah stop dan saya terus di rumah saja dan kemudian saya harus berdisiplin diri, mengetik, dan jadilah satu novel Yogya Yogya judulnya,” tambahnya.

Selain beberapa biografi yang disebutkan di atas, Herry telah menulis beberapa lainnya, sehingga seluruhnya ada delapan biografi, termasuk biografi berbagai tokoh, mulai dari Mien Uno, Matiur M. Panggabean sampai Karlinah Umar Wirahadikusumah. Berikut kumpulan puisi dan cerpen, total sudah 11 buku yang dihasilkannya, dan di antara semua karyanya, Herry mengaku bahwa buku pertamanya lah yang paling mengesankan dan memberikan kepuasan baginya.

“Terus terang buku pertama, cinta pertama sulit padam. Teguh Srimulat: Berpacu Dalam Komedi dan Melodi itu satu biografi panggung (yang) saya tulis tahun 90. Jadi, sudah lama sekali, 30 tahun lebih. Itu buku yang buat saya satu kenangan yang manis dan mungkin kalau saya boleh mengatakan itu masterpiece saya.”

Cover Novel "Yogya Yogya". (foto: courtesy).
Cover Novel “Yogya Yogya”. (foto: courtesy).

Tentang Yogya Yogya, Herry mengatakan bahwa tema novel itu semacam kasih tak sampai.

“Memang kedengaran klise, tentang broken heart (patah hati), tapi kalau saya boleh mengutip judul lagunya the Bee Gees, “How Can You Mend a Broken Heart,” ya bagaimana si (penderita) broken heart itu bisa bangkit lagi, bisa memperbaiki diri. Ya, sekitar itulah. Jadi, tidak boleh lantas nglokro, tapi harus tetap kuat. Jadi, di sini, tokoh utamanya itu sebetulnya babak belur karena broken heart tadi. Lantas Yogya itulah setting tempatnya,” ujarnya.

Herry mengakatan bahwa kota Yogyakarta senantiasa menjadi kota idaman bagi banyak orang, terutama yang terlahir di sana maupun mereka yang pernah menuntut ilmu di kota mahasiswa itu, atau wisatawan domestik serta manca negara yang sekedar melewatkan beberapa hari di daerah istimewa, yang bagi sebagian orang terasa bagaikan “mantra” itu. Dia menambahkan, “novel ini ada unsur asmaranya di situ dengan setting tempatnya Yogya, selain juga ada unsur romantisme, humor, dan juga kuliner serta kenangan-kenangan terhadap musik pada era itu.”

Untuk membuat setting novel ini realistis sesuai zamannya, termasuk tempat, waktu dan lingkungan, dan peristiwa-peristiwa lain yang sesuai, Herry tidak hanya mengandalkan ingatan dan imajinasinya, tetapi juga melakukan riset. Misalnya, untuk memastikan film-film apa saja yang diputar pada periode tertentu sesuai setting waktu dalam novel itu, dia menghubungi seorang kolektor media lawas karena dari koran-koran yang terbit pada masa tertentu itu pula dapat dicari informasi – baik resensi maupun iklan – tentang film-film yang sedang diputar.

Kin Sanubary adalah seorang kolektor media lawas yang merawat dengan baik ribuan eksemplar koran, majalah, dan tabloid dari sedikitnya 300 penerbit dalam dan luar negeri. Kin membenarkan bahwa Herry menghubunginya secara langsung ketika diperlukan informasi dari koran koleksinya untuk penulisan novel tersebut.

Kin Sanubary menunjukkan salah satu koran koleksinya (dok. pribadi).
Kin Sanubary menunjukkan salah satu koran koleksinya (dok. pribadi).

“Bapak Herry Gendut Janarto sebelum menerbitkan novelnya sempat menghubungi saya untuk meminta bantuan mencarikan film-film yang tayang di bioskop-bioskop Yogyakarta ketika itu, sekitar 70-80an, dan alhamdulillah di koleksi media saya ternyata apa yang diperlukan untuk menunjang novel tersebut ditemukan.”

Kin sendiri mengaku telah menerima buku novel itu, dan menurutnya dari membaca novel Yogya Yogya tersebut, nostalgia atau kenangan lama seakan-akan muncul kembali.

“Kita kembali ke masa-masa lalu tentang suasana Yogya, meskipun ada cerita asmara di balik novel ini….juga menggambarkan lokasi atau tempat-tempat yang klasik di Yogya. Jadi, generasi berusia 40-50 tahun mungkin akan mengobati kerinduan akan suasana Yogya, tapi untuk remaja saat ini mungkin tidak mengalaminya. Jadi, kalaupun membaca, intinya untuk remaja tahun 80-an dan 90-an.”

Walaupun tidak pas dari segi usia, Kin mengakui bahwa generasi milenial mungkin bisa juga mendapat inspirasi dari novel itu. Dia menambahkan, “bahasanya gampang dimengerti dan alur ceritanya sudah pas.”

Kin Sanubary dengan berbagai penerbitan koleksinya (dok. pribadi).
Kin Sanubary dengan berbagai penerbitan koleksinya (dok. pribadi).

Namun, Herry Gendut berpendapat bahwa walaupun novel itu memang cocok dibaca oleh mereka yang berusia 50 tahun keatas, “tetapi dengan flashback-flashback masa remaja dulu, para milenial atau anak SMA pun bahkan bisa menikmati buku ini. Jadi, novel ini memang tidak secara tajam diperuntukkan bagi segmen tertentu. Ini bisa dinikmati oleh pembaca dari remaja sampai usia 60-an,” sambungnya.

Herry Gendut Janarto mengatakan bahwa seperti sosok Gayuh Widodo yang menjadi tokoh dalam novel itu, “orang perlu tangguh dalam menghadapi kenyataan sepahit apa pun, tidak boleh patah, dan tetap terus harus berjuang. Yang ingin saya katakan lewat novel ini, orang itu tidak boleh lembek, tetap harus bergiat, rajin, tetap berusaha membangun kehidupan itu sendiri yang indah sebetulnya,” pungkasnya.

Ditambahkan bahwa Unsur seni, budaya, kuliner, wisata, dan kehidupan sosial lainnya di Yogyakarta semuanya tercakup dalam novel Yogya Yogya. [lt/em]

[ad_2]

Sumber Berita

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *