Diam Itu Bukan Emas – Merefleksikan Pikiran Anda Kedalam Tulisan

Sendiri

[ad_1]

Telegrafi – Peribahasa lama mengatakan, diam itu emas. Namun, apakah benar demikian? Apa benar diam itu lebih baik daripada berbicara? Menurut saya, tidak demikian.

Ukuran kebaikan itu bukanlah bicara atau diam, tetapi yang mana yang lebih memberikan manfaat dan nilai tambah. Ketika situasi sangat bising, diam akan menciptakan ketenangan dan kedamaian. Ketika tidak tahu apa yang harus kita lakukan, diam akan memberikan kesempatan yang baik untuk introspeksi.

Ketika kita tidak punya hal yang baik untuk dikatakan, diam adalah pilihan yang terbaik. Mengapa demikian? Karena, kalau kita tidak punya sesuatu yang baik untuk dikatakan tetapi kita masih juga berkata-kata, apa yang kita katakan pastilah bukan hal yang baik.

Namun, adakalanya diam justru sangat berbahaya dan kontraproduktif. Kalau anak Anda malas dan tidak mau sekolah, apakah Anda akan tetap diam? Kalau mereka membuat rusuh dan mengganggu tetangga, apakah Anda masih diam juga? Bagaimana juga kalau anggota tim Anda di kantor bekerja asal-asalan dan tidak mau melayani pelanggan dengan baik? Diam dalam kondisi seperti ini menunjukkan Anda tidak bertanggung jawab dan sekadar cari amannya saja.

Beberapa kawan sering mengatakan bahwa kita sebaiknya hanya berbicara pada topik-topik tertentu sesuai dengan keahlian kita masing-masing. Ini penting sekali untuk menegaskan personal branding kita. Jadi, kalau misalnya bidang saya adalah Leadership dan Happiness, saya seharusnya fokus saja pada dua bidang itu untuk menegaskan brand saya.

Tentu saja, di satu sisi itu benar. Saya harus fokus agar khalayak mengetahui apa yang menjadi bidang keahlian saya. Berbicara melampaui bidang keahlian kita akan menyebabkan pembicaraan kita menjadi kurang berkualitas. Kita menjadi orang yang “palugada”, apa yang elu cari gue ada. Ini sesungguhnya bukan tanda kehebatan, tetapi justru tanda kekurangan.

Palugada menunjukkan bahwa kita hanya seorang generalis yang bisa bicara tentang topik apa pun, tetapi dengan kualitas tak lebih dari obrolan ringan di warung kopi. Obrolan seperti itu hanya bernilai senda gurau –sekadar untuk meredakan ketegangan tetapi tidak memberikan manfaat lebih jauh. Untuk memberikan nilai tambah, kita harus menjadi orang yang ahli dalam sedikit bidang saja. Itulah yang menjadi area pelayanan kita dalam hidup ini.

Untuk alasan di atas, saya setuju sepenuhnya. Alangkah kacaunya dunia ini bila setiap orang berbicara bukan di wilayah keahlian masing-masing. Bila hal itu terjadi, yang tercipta adalah noise.

Namun, kehidupan kita sehari-hari tak selalu cocok dengan gambaran di atas. Situasi kehidupan sering jauh lebih kompleks dan multidimensi. Dalam situasi seperti itu kita perlu menegaskan nilai-nilai kita sebagai seorang makhluk spiritual yang bertanggung jawab kepada sesama manusia, bangsa dan negara, dan yang lebih penting lagi adalah kepada Sang Pencipta.

Bayangkan sebuah contoh sederhana. Anda sedang berada di sebuah forum. Acara sedang berlangsung dan semuanya berjalan baik-baik saja. Tiba-tiba tanpa diduga ada sekelompok orang yang melakukan penyerangan kepada orang-orang yang hadir; awalnya secara verbal, kemudian berlanjut secara fisik. Pertanyaannya, apakah yang akan Anda lakukan? Apakah sekadar menyelamatkan diri sendiri? Bila itu jawabannya, Anda belum bisa disebut orang yang bertanggung jawab.

Orang yang bertanggung jawab akan segera mengambil sikap –terlepas dari apa pun profesi Anda: seorang dokter, bankir, jaksa, pilot, aktivis sosial, ahli ekonomi, ataupun pakar pemasaran. Situasi dalam contoh sederhana tadi sangat terkait dengan nilai-nilai yang amat universal, yaitu tentang bagaimana memperlakukan orang lain, bagaimana berinteraksi dalam masyarakat yang beradab.

Karena itu, apa pun bidang keahlian Anda, Anda harus bersuara. Anda harus menunjukkan ketidaksukaan Anda ketika ada orang yang melecehkan nilai-nilai universal dan kesepakatan sosial. Bila tidak, Anda sesungguhnya telah berkontribusi terhadap kejahatan dan ketidakbaikan.

Membiarkan sebuah ketidakbaikan terjadi dan tidak memberikan respons apa-apa sesungguhnya berarti Anda sudah merestui terjadinya ketidakbaikan itu. Berdiam diri itu tanda Anda setuju, tanda Anda meridhoi apa yang terjadi. Dan, dengan demikian, Anda sesungguhnya sudah menginspirasi orang lain untuk melakukan tindakan ketidakbaikan yang sama di hari-hari mendatang.

Apa pun profesi kita, kita memiliki tanggung jawab sebagai manusia, sebagai sesama makhluk Tuhan, sebagai makhluk spiritual. Karena itu, kita harus senantiasa berpihak pada nilai-nilai kebaikan yang universal. Orang yang ingin bermain aman dan mengatakan bahwa ia “netral-netral saja” sesungguhnya adalah orang yang memiliki nilai yang tidak jelas dan hanya mementingkan dirinya sendiri.

Elie Wiesel, seorang penulis Amerika terkemuka, mengatakan, “We must take sides. Neutrality helps the oppressor, never the victim.” Kita harus berpihak. Netralitas hanya menguntungkan orang yang menindas, bukan yang menjadi korban. Bahkan lebih jauh lagi, orang yang bersikap netral dalam situasi yang penuh kezaliman sesungguhnya “tidak netral” tetapi berpihak pada kezaliman itu sendiri.

Jadi, pembaca yang budiman, mari kita bicara. Karena, bukankah kita dikirim Tuhan untuk menjalankan kebaikan di muka bumi ini? Dengan berbicara, kita telah menunaikan tanggung jawab utama kita sebagai manusia.

Tentu saja, ini tidak mudah. Jauh lebih mudah menjadi orang yang netral. Dan, itulah juga yang selalu dibisikkan setan ke telinga kita. Saya teringat apa yang dikatakan seorang spiritualis asal Amerika, Edwin Hubel Chapin, “Neutral men are the devil’s allies.” Orang yang netral itu sesungguhnya adalah sekutu setan.


Oleh: Arvan Pradiansyah, Penulis adalah motivator nasional dan Lleadership


 



[ad_2]

Sumber Berita

Exit mobile version