[ad_1]
TEMPO.CO, Jakarta – Nama dua mantan Panglima Tentara Nasional Indonesia, Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo dan Jenderal (Purn) Moeldoko beberapa kali muncul dalam survei elektabilitas calon presiden yang dirilis belakangan ini. Namun, elektabilitas keduanya tak pernah lebih dari 1 persen.
Dalam survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) pada 28 Februari-8 Maret 2021, elektabilitas Gatot Nurmantyo sebesar 1 persen. Adapun elektabilitas Moeldoko tercatat sebesar 0,1 persen. Nama Gatot maupun Moeldoko muncul dari pertanyaan terbuka.
Di survei Charta Politika pada 20-24 Maret 2021, elektabilitas Moeldoko tercatat lebih unggul ketimbang Gatot. Keterpilihan Kepala Staf Kepresidenan itu sebesar 1,3 persen, sedangkan Gatot 0,6 persen.
Sedangkan dalam survei Indikator Politik Indonesia 13-17 April 2021, elektabilitas Gatot sebesar 0,9 persen. Indikator tak menyertakan Moeldoko dalam simulasi tertutup 17 nama ini, sehingga tak diketahui elektabilitasnya.
Dari tiga sigi tersebut terlihat, kendati tipis dan berada dalam rentang margin of error, elektabilitas Gatot dua kali unggul dari Moeldoko. Adapun menurut survei daring Platform Nyari Presiden, Gatot menempati posisi teratas untuk tokoh muslim dari kalangan TNI. Gatot dipilih 60,61 persen responden, sedangkan Moeldoko 6,03 persen.
Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial Center for Strategic and International Studies (CSIS), Arya Fernandes, mengatakan saat ini tak ada tokoh militer yang menonjol untuk menjadi calon presiden 2024. Arya mencontohkan, elektabilitas Gatot tak pernah mencapai 5 persen kendati dia bermanuver untuk bisa maju di Pilpres 2019 lalu.
“Setelah Pak SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) sekarang saya kira tidak ada (capres potensial dari militer),” kata Arya kepada Tempo, Selasa lalu, 1 Juni 2021.
Peneliti Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA, Adjie Alfaraby, mengatakan Gatot sebenarnya memiliki kekuatan dengan menawarkan rekam jejaknya selama di militer. Namun, kata dia, usaha ini akan sulit lantaran Gatot tak lagi punya panggung setelah pensiun dari TNI.
“Pak Gatot agak lama tenggelam setelah 2018, tidak muncul intens lagi ke publik, itu juga jadi kendala,” ujar Adjie.
Arya Fernandes mengatakan Gatot dan Moeldoko bakal kesulitan maju lantaran tak memiliki partai. Bagaimana pun, kata Arya, partai masih menjadi kanal utama rekrutmen politik.
“Kalau pun mau TNI harus berkarier dari partai. Namun Pak Moeldoko pun habis pensiun masuk partai, kayak kongres (luar biasa) Demokrat, enggak berhasil juga,” ujar Arya.
[ad_2]
Sumber Berita