Kapolri Berikan 11 Pedoman Penanganan Kasus UU ITE

[ad_1]


Telegraf – Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menginstruksikan pada penyidik untuk berhati-hati saat menangani kasus yang terkait Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Ia menyebut UU itu kontradiktif dengan hak kebebasan berekspresi masyarakat melalui ruang digital.

Listyo menerbitkan Surat Edaran (SE) Nomor SE/2/11/2021 tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat, dan Produktif.

“Maka diharapkan kepada seluruh anggota Polri berkomitmen menerapkan penegakan hukum yang dapat memberikan rasa keadilan bagi masyarakat,” ujar Listyo dalam surat edaran yang diterima Selasa, (22/23/2021).

Listyo ingin Polri mengedepankan edukasi dan langkah persuasif untuk penegakan hukum yang berkeadilan. Sehingga, dapat menghindari dugaan kriminalisasi.

Khususnya terhadap orang yang dilaporkan. Hal ini penting untuk menjamin ruang digital Indonesia tetap bersih, sehat, beretika, dan produktif.

Surat edaran ditanda tangani langsung oleh Listyo. Ada 11 hal yang harus dipedomani oleh penyidik Polri:

Pertama, mengikuti perkembangan pemanfaatan ruang digital yang terus berkembang dengan segala macam persoalan.

Kedua, memahami budaya beretika yang terjadi di ruang digital dengan menginventarisir berbagai permasalahan dan dampak yang terjadi di masyarakat.

Ketiga, mengedepankan upaya preemtif dan preventif melalui virtual police dan virtual alert yang bertujuan untuk memonitor, mengedukasi, memberikan peringatan, serta mencegah masyarakat dari potensi tindak pidana siber.

Keempat, dalam menerima laporan dari masyarakat, penyidik diminta tegas membedakan antara kritik, masukan, hoaks, dan pencemaran nama baik.

“Mana yang dapat dipidana untuk selanjutnya menentukan langkah yang akan diambil,” katanya.

Kelima, penyidik diminta berkomunikasi dengan para pihak terutama korban (tidak diwakilkan) dan memfasilitasi serta memberi ruang seluas-luasnya kepada para pihak yang bersengketa untuk melaksanakan mediasi.

Keenam, melakukan kajian dan gelar perkara secara komprehensif terhadap perkara yang ditangani.

“Dengan melibatkan Bareskrim/Dittipidsiber dapat melalui Zoom meeting dan mengambil keputusan secara kolektif kolegial berdasarkan fakta dan data yang ada,” terangnya.

Ketujuh, penyidik diminta berprinsip hukum pidana merupakan upaya terakhir dalam penegakan hukum atau ultimatum remidium dan mengedepankan restorative justice dalam penyelesaian perkara.

Kedelapan, penyidik diminta memprioritaskan pelaksanaan restorative justice bagi perkara yang kedua pihak berupaya untuk berdamai.

“Terkecuali perkara yang bersifat berpotensi memecah belah, SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan), radikalisme, dan separatisme,” imbuhnya.

Kesembilan, tidak melakukan penahanan terhadap tersangka yang telah sadar dan meminta maaf. Kemudian, memberikan ruang mediasi sebelum berkas diajukan ke jaksa penuntut umum (JPU).

Kesepuluh, penyidik diminta berkoordinasi dengan JPU dalam pelaksanaan kelengkapan berkas perkara, termasuk saran dalam hal pelaksanaan mediasi pada tingkat penuntutan.

Kesebelas, melakukan pengawasan berjenjang terhadap setiap langkah penyidikan yang diambil dan memberikan penghargaan serta hukuman atas penilaian pimpinan secara berkelanjutan.

“Surat edaran ini disampaikan untuk diikuti dan dipatuhi oleh seluruh anggota Polri,” tegasnya.


Photo Credit: Kapolri Jendral Pol. Listyo Sigit Prabowo. ANTARA

 

Edo W.



[ad_2]

Sumber Berita

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *