[ad_1]
JAKARTA,– Organisasi Keadilan Gender di Amerika Serikat mencatat sebesar 77% perempuan mengalami pelecehan verbal dan sekitar 41% di antaranya terjadi di dunia maya. Di Indonesia, kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di dunia maya meningkat 300% di akhir tahun 2019.
Pimpinan Ombudsman RI 2016-2021, Ninik Rahayu mengungkapkan, Komnas Perempuan mencatat kenaikan yang cukup signifikan dari 97 kasus pada tahun 2018 menjadi 281 kasus pada tahun 2019. Kasus yang banyak terjadi adalah penyebaran foto atau video porno.
“Banyak dari pelaku yang merupakan orang terdekat korban, seperti pasangan, ataupun orang-orang terdekat yang berada di lingkungan korban,” Kata Ninik saat webinar Literasi Digital Jawa Barat I, Kota Bogor, Jum’at (11/6/2021).
Diketahui di KUHP tidak ada istilah pelecehan seksual. Pelecehan seksual dalam KUHP masuk sebagai kejahatan terhadap kesusilaan (Pasal 281). Bentuknya hanya fisik, tidak termasuk verbal dan psikis, serta harus ada tindakan nyata.
Lalu bagaimana pelecehan seksual digital? Definisi intimidasi seksual telah dihilangkan dan dianggap sebagai salah satu faktor yang mengarah pada perbuatan psychososial labour pressure atau tekanan psikologis majikan pada buruh. Saat ini pengertian tersebut dipakai Belanda untuk sexual harassement.
Ninik mengungkapkan, sebelum memahami pengertian Kekerasan Gender Berbasis Online (KBGO), seseorang haru memahami dulu kekerasan berbasi gender. Yaitu kekerasan yang secara spesifik dialami oleh perempuan karena adanya relasi gender yang tidak setara. Sehingga KBGO merupakan kejahatan siber dengan korban perempuan yang seringkali berhubungan dengan tubuh perempuan yang dijadikan objek pornografi.
“KBGO ini dapat masuk ke dunia offline di mana korban mengalami kombinasi kekerasan secara online kemudian berlanjut secara langsung saat offline,” ujar Ninik.
Bentuk KBGO di antaranya cyber hacking, impersonation di mana penggunaan teknologi digunakan untuk mengambil identitas orang dengan tujuan mengakses suatu informasi yang pribadi, mempermalukan, dan menghina korban, menghubungi atau membuat dokumen-dokumen palsu.
Ada juga cyber surveillance, stalking atau tracking seperti halnya menguntit dan mengawasi tindakan atau erilaku korban dengan pengamatan langsung atau pengusutan jejak korban. Kemudian cyber harassement dengan menakut-nakuti, merayu atau memanipulasi korban untuk mendapat keuntungan.
Serta cyber recruitment penggunaan teknologi untuk memanipulasi korban, sampai malicious distribution yang meliputi penyebaran konten-konten yang merusak reputasi korban atau organisasi pembela hak-hak perempuan terlepas dari kebenarannya.
Lalu di era digital sekarang, apa yang bisa dilakukan agar terhindar dari kekerasan gender berbasis online? Ninik menyebutkan semuanya bisa dicegah dengan bijak saat menggunakan sosial media, tidak mengunggah sesuatu yang pribadi di sosial media, tidak menyimpan video atau foto pribadi di gadget, tidak terbujuk oleh pasangan untuk melakukan konten pornografi.
“Di sini pentingnya pendidikan literasi digital dan kurikulum literasi digital,” kata Ninik lagi.
Lalu bagaimana bila sudah terjadi? Ninik mengajak untuk jangan ragu melapor. Minimal mengontak lembaga-lembaga terkait seperti Komnas Perempuan. Berikut juga lembaga pengaduan online seperti JalaStoria.id dan Kantor Polisi.
Webinar Literasi Digital untuk wilayah Jawa Barat I kota Bogor merupakan bagian dari sosialisasi Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 yang diselenggarakan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika bekerja sama dengan Siberkreasi. Di webinar kali ini hadir pula nara sumber lainnya yaitu Hendry Victor Herlambang CMO KADOBOX, Anggi Auliyani, Duta Bahasa Jawa Barat, dan Said Hasibuan Sekjen Relawan TIK Indonesia. Kegiatan ini merupakan bagian dari program Literasi Digital di 34 Provinsi dan 514 Kabupaten dengan 4 pilar utama. Di antaranya digital skills, digital ethics, digital safety dan digital culture untuk membuat masyarakat Indonesia semakin cakap digital.
8 kali dilihat, 8 kali dilihat hari ini
[ad_2]
Sumber Berita