[ad_1]
Telerasi – Terus terang saya terprovokasi oleh judulnya. Ketika masyarakat agama di negeri ini dirasa banyak orang menguat konservatismenya (conservative turn) judul itu menjadi terasa sangat provokatif. Tapi mungkin itu memang tujuannya, agar orang tergerak untuk membaca, seperti saya. Secara kebetulan, dalam Kompas (Kamis, 3 September 2020, hal. 5) diberitakan tentang pidato pengukuhan guru besar pendidikan agama Islam UIN Syarif Hidayatullah yang juga Sekretaris Umum PP Muhamdiyah, Abdul Mu’ti, yang isinya menyarankan agar pelajaran agama Islam di sekolah perlu diperbaharui. Pembaharuan itu menurutnya dibutuhkan untuk memelihara pluralitas agama, membangun harmoni, perdamaian, kerukunan, dan persatuan.
Menurut Abdul Mu’ti, pendidikan agama Islam semestinya tidak terbatas mempelajari masalah-masalah ritual ibadah dan muamalah dengan pendekatan klasik, tetapi juga harus dikembangkan sesuai dengan kontekstualisasi agama dengan kehidupan kekinian dan menjawab tantangan masa depan. Keprihatinan Abdul Mu’ti tentang pengajaran agama Islam yang dinilai telah membuat pemahaman tentang Islam, dan dengan demikian juga tentang Tuhan yang disembah orang Islam memiliki citra atau imaji tertentu, tampaknya sangat sejalan dengan pesan utama buku yang sedang saya baca ini (Ketika Umat Beriman Mencipta Tuhan, Gramedia Pustaka Utama, 2020)
Buku yang judulnya provokatif ini ditulis oleh Syafaatun Almirzanah, yang gelarnya berderet, Prof, MA, M.Th, PhD, D.Min; yang menunjukkan begitu banyak ilmu yang telah diserap dosen UIN Sunan Kalijaga ini. John L. Esposito, professor dari Georgetown University, di sebuah acara yang saya tonton melalui YouTube saat memperkenalkan Syafaatun menyebutnya sebagai akademisi hebat karena Syafaatun telah berhasil menggondol dua gelar doktor sekaligus. John L Esposito, ahli Islam yang mungkin paling terkenal dari Amerika Serikat itu juga yang memberi “sekapur sirih” dari buku ini.
Dalam sekapur sirih itu saya kembali menemukan kata “Godhead” – memang agak sulit diterjemahkan – yang sebelumnya disinggung oleh penulis buku dalam “pengantar edisi baru” ( tidak dijelaskan kapan dan di mana edisi lama terbit). Dalam sekapur sirih Esposito saya juga menemukan kalimat (dalam huruf tebal): Tuhan dalam konsep teologi dan Tuhan yang ada dalam doktrin adalah merupakan ciptaan umat beriman dan lembaga agama, digunakan sebagai konstruksi manusia dalam bahasanya yang terbatas, untuk menjelaskan sesuatu yang tak terbatas (hal. xv). Tentu Esposito menuliskan sekapur sirihnya dalam bahasa Inggris dan yang ada di buku ini pastilah terjemahannya. Tampaknya judul buku ini seperti menggunakan atau mendapat inspirasi dari sebagian kalimat Esposito di atas.
Masih di bagian depan, di pengantar edisi baru, saya juga menemukan bagaimana penulis buku ini merujuk pada pendapat beberapa ahli neurologi Amerika Serikat (Andrew Newberg, Mark Robert Weldman, Michele Shermer) ketika menerangkan bagaimana sebuah citra atau imaji, juga dalam hal ini tentang Tuhan, secara saintifik sebetulnya diproduksi oleh proses-proses neurologis yang bersifat biologis. Di akhir kata pengantar dikutipnya pendapat dari Dorothee Soelle (1995), seorang teolog Jerman, juga menarik: Tuhan yang tidak melebihi Tuhan bukanlah Tuhan. Tuhan yang terkungkung dalam suatu bahasa, dibatasi oleh definisi tertentu, dikenal dengan nama tertentu yang telah menghasilkan bentuk kendali sosio-kultural tertentu, bukanlah Tuhan tetapi telah menjadi suatu ideologi agama (hal xii).
Jadi, sejak dari judul, kata pengantar dan sekapur sirih, kita dibawa untuk membedakan antara dua macam Tuhan, “Tuhan yang kita ciptakan sendiri” dan “Tuhan yang sesungguhnya, Tuhan yang tak mungkin terbayangkan oleh kita”. Bagi orang Jawa, terutama yang masih menganut Agama Jawa (Kejawen) Tuhan dikatakan sebagai “tan keno kinoyo ngopo”, sesuatu yang tak bisa dideskripsikan, undesribable. Buku ini, mulai bab pendahuluan sampai bab kesimpulan (6 bab), kita kemudian dibawa bertamasya untuk sampai pada sebuah taraf kesadaran tentang bagaimana kita “Berbicara tentang Tuhan tanpa berbicara untuk/atas nama Tuhan”. Perjalanan tamasya itu kita alami dengan menyelam memasuki riwayat dua orang mistikus besar yang dinilai dan dipilih oleh penulis buku ini telah mewakili dua peradaban agama besar dunia, Ibn al Arabi (Muslim, 1165-1240) dan Meister Eckhard (Kristen, 1260-1327).
Sebagai pembaca saya merasa bahwa penulis buku ini, seorang yang sebelum keluar negeri telah dididik dalam pendidikan agama Islam (IAIN Sunan Kalijaga), memang seorang akademisi tulen yang telah berjalan jauh, ke Chicago, belajar lama di dua lembaga pendidikan teologi Kristen; Catholic Theological Union – University of Chicago dan Lutheran School of Theology at Chicago.; sehingga meraih dua gelar doktor itu. Melalui penyelamannya terhadap kehidupan dan terutama karya-karya dua mistikus besar itu, Ibn al Arabi dan Meister Eckhard dia menemukan bahwa hanya melalui mistik sajalah manusia bisa menemukan Tuhan yang sesungguhnya (Godhead), bukan Tuhan seperti kita citrakan, Tuhan sebagaimana diciptakan oleh umatnya.
Tapi, setelah merambah isi bab-bab dari buku ini, terus terang judul buku ini, paling tidak bagi saya, meskipun agak sedikit mengecoh karena judul buku ini samasekali tidak menyiratkan bahwa pembaca nantinya akan dibawa ke persoalan dialog dan agenda (disebutnya sebagai matrix baru) untuk menjembatani persoalan hubungan Islam dan Kristen yang menurut penulisnya telah menemui jalan buntu (hal. xxix). Namun membaca baik-baik buku ini memang penulis secara cerdas memilih judul yang terdengar sebagai otokritik terhadap kaum agamawan dan umat beriman (the believers), namun sekaligus memang ingin mengajak pembaca melampaui batasan-batasan agama yang tidak saja dangkal tapi menyesatkan.
Jika melihat struktur buku ini (mungkin aslinya sebuah disertasi atau monografi dalam bahasa Inggris, tidak ada penjelasan tentang hal ini), terutama jika melihat pembagian daftar kepustakaan yang terbagi menjadi tiga kelompok besar (literatur tentang Ibn al Arabi, literatur tentang Meister Eckhart dan literatur umum), buku ini sebetulnya sebuah hasil dari studi kepustakaan (literature review). Kekuatan buku ini adalah pada keluasan dan kedalaman review literatur yang telah ditulis dengan sangat baik yang akan membuat pembaca betul-betul diajak bertamasya ke sebuah keindahan dan kekayaan khasanah sejarah peradaban Islam maupun Kristen melalui dua mistikus besar ini.
Penemuan atau usaha menemukan sebuah persamaan antara dua mistikus besar itu melalui riwayat hidup dan konteks sosial budaya dimana mereka hidup, yaitu sama-sama memilih jalan mistik sebagai cara yang harus ditempuh untuk mencapai kesadaran tentang Tuhan yang sebenarnya (Godhead). Yang kemudian menjadi menarik adalah penemuan lanjutan penulis tentang adanya sebuah keniscayaan keimanan tidak saja yang bersifat dialogis, namun semacam sintesis, antara Kristen dan Islam.
Penulis melalui kemampuan daya tafsirnya yang tinggi, kreatif dan imajinatif, sampai pada sebuah tawaran solusi atas ketegangan klasik antara Islam dan Kristen, secara teologis maupun dalam realitas sosial yang ada di masyarakat. Tentu tawaran yang dikemukan ini harus kita sambut dengan baik karena upaya-upaya rintisan masih sangat diperlukan tidak saja guna mencairkan ketegangan hubungan antar agama, tetapi juga, dan menurut hemat saya justru ini yang lebih penting adalah dalam memaknai apa itu hidup yang berketuhanan.
Apabila, setelah membaca buku ini, saya, paling tidak sebagai salah seorang pembaca yang pada awalnya sangat terprovokasi oleh bunyi judul yang dipilih, masih merasa ada beberapa hal yang terasa mengganjal, mestinya merupakan sesuatu yang wajar, tanpa mengurangi arti penting buku yang telah di-endorsed oleh para intelektual penting Muslim (Komaruddin Hidayat, Haidar Bagir, M. Amin Abdullah) maupun Kristen (Frans Magnis Suseno SJ, J.B. Banawiratma – penulis kata pengantar yang sangat membantu pembaca memahami posisi penulis dalam konteks studi agama). Paling tidak ada tiga hal yang masih terasa mengganjal di benak saya. Pertama, tidakkah setelah melalui jalan mistik sekalipun, kita sesungguhnya bisa saja masih belum benar-benar keluar dari ketersungkupan kita tentang citra dan imaji tentang Tuhan? Kedua, meskipun tampaknya trivial karena hanya disinggung sepintas, rujukan terhadap penjelasan para neurolog, hanya memperkuat pendapat bahwa bayangan kita tentang Tuhan adalah produk dari proses neurologis belaka?
Bukankah ini seperti setengah membenarkan pendapat biolog Richard Dawkins yang sangat kontroversial tentang apa yang digambarkannya sebagai “The God delusion”? Ketiga, dengan mengutip pendapat Dorothee Soelle, bahwa Tuhan yang diciptakan oleh umatnya dan telah menghasilkan bentuk kendali sosio-kultural tertentu, bukanlah Tuhan tetapi telah menjadi suatu ideologi agama, adalah realitas sosial yang hampir selalu kita temukan dalam agama apapun, di masyarakat manapun? Dalam kaitan ini, saya diam-diam setuju dengan tesis dasar penulis, bahwa hanya melalui jalan mistik sajalah memang kita secara teoretis (atau secara empiris buat yang benar-benar mempraktekkannya) akan terhindar dari jebakan agama sebagai ideologi. Tetapi saya menduga hanya segelintir orang yang bisa melakukan itu, dan itu sejalan dengan pendapat Karen Armstrong bahwa beragama sejatinya memang bukanlah sesuatu yang mudah, dan bukankah konon Tuhan juga telah mengatakan bahwa hanya segelintir orang yang akan benar-benar mencapai surga?
Oleh: Dr. Riwanto Peneliti independen. Karya tulisnya terbit dalam bentuk jurnal, buku, dan tulisan populer.
[ad_2]
Sumber Berita