TEMPO — Silahkan klik ini https://www.youtube.com/shorts/ikTKudQ0t9Y
Forum Pimpinan Media Digital Indonesia yang merupakan kumpulan dari owner alias pemilik atau pimpinan media digital bersama Asosiasi Media Digital punya komitmen.
Apa itu?
Terus memperjuangkan agar kemerdekaan menyatakan pendapat dan menyebarluaskan informasi, melalui teknologi komunikasi
Selalu dilindungi dan bebas dari pengekangan yang bertentangan dengan jaminan konstitusi Indonesia dan perlindungan hak-hak azasi manusia.
Forum Pimpinan Media Digital dan Asosiasi Media Digital Indonesia sudah komit menyatakan, mempergunakan kemajuan teknologi komunikasi dengan tidak menyebarkan berita bohong, fitnah, pornografi, sadisme, dan etika yang universal.
Organisasi Pemilik Media Digital Indonesia ini membantu menyebarluaskan pemahaman pemakaian teknologi komunikasi yang baik, benar, tidak melawan hukum dan etika.
Ada fenomena saat ini media digital, senangnya copy-paste. Ide, aspirasi, informasi, atau data. Semuanya direproduksi, diduplikasi, direplikasi sekaligus dibagi. Bisa diakses secara gratis.
Para media futurist menganalogikan berita di media online itu seperti mie Ramen Jepang.
Sementara berita di Koran atau majalah cetak, diibaratkan hidangan sekelas steak dengan daging pilihan.
Ternyata akar masalahnya adalah problem monetisasi.
Jangan juga mendirikan media online atau website bergantung pada kepentingan sesaat, atau “tergantung siapa yang bayar” tanpa integritas.
Pasalnya, model bisnis media online, jualan berita di media online ternyata tidak mudah. Berharap ada penghasilan dari iklan, ternyata tidak gampang. Tapi, bukan berarti sulit-sulit amat.
Fenomena banjir inflasi informasi sampah, semakin menyebabkan apresiasi audiens atas kredibilitas berita via media online, semakin merosot.
Itu berdampak ke aspek “perceived quality” dari konten produk. Tren akses murah-murahan (bahkan hampir gratis), berdampak sangat buruk, bagi bisnis berita.
Apalagi media sosial membuat semua orang semacam “wartawan”, bisa memproduksi informasi, berita, gossip, isu, atau pesan.
Perlu dilakukan program semacam ubahlaku, dalam ragam sosialisasi pemerintah. Sehingga roda media digital bisa berjalan dengan sehat.
Lansekap Media Berubah
Makin maraknya skala penggunaan aplikasi di hampir semua hajat kehidupan.
Hanya audiens yang cerdas mencari berita bermutu. Milenial males dicekoki berita, tapi senang transaksi jual beli. Tanpa perlu lagi pihak perantara, mediator, atau makelar.
Menjadikan periklanan digital, seakan takdir tak akan pernah menjadi revenue stream. Apalagi, jika bisnis medianya tak sekaliber Facebook, atau Google.
Membahas media masa depan, lebih ke informasi yang tepat di waktu, tempat dan di tangan pihak yang tepat, bisa memberikan dampak perubahan yang lebih baik, seperti mengubah kualitas kehidupan.
Jadi, sejatinya, tak hanya media cetak yang senjakala. Stasiun TV mulai tergeser perannya.
Harus diakui, ternyata minat baca kaum milenial rendah. Kaum milenial lebih senang “main” IG, nonton Youtube, Instastories atau film, memantau netflix, Hooq, iflix dan main game.
Jadi tugas kita adalah menggerakan generasi “yang males baca” dengan tulisan yang membuat mereka tertarik.
Sang jurnalis atau penulis juga harus punya jiwa socialpreneur untuk kebutuhan youtube, sosial media dan promosi.
Dengan demikian, metode work from home tetap saja pemasukan untuk website dan ketrampilannya bisa menjadi income monetisasi media online.
Jurnalisnya perlu inovatif, berkembang terus dan tak terpengaruh krisis.
Laiknya “kreator besar”, yang memiliki rencana bisnis matang tentang bagaimana menciptakan dan menyampaikan nilai konten mereka.
Agar tak masuk senjakala, perlu diajarkan teknik “endorsement” dan memperoleh pendapatan di luar sekadar iklan AdSense dari para vendor dan voucher rilis. Nulis tak sekedar nulis, harus tahu juga keyword.
Media futurist menganalogikan berita di media online itu seperti mie Ramen Jepang. Berita di Koran atau majalah cetak, diibaratkan hidangan sekelas steak dengan daging pilihan.
BACA JUGA: majalah EKSEKUTIF edisi Februari 2023, Klik ini