Catatan S.S Budi Raharjo MM (Ketua Asosiasi Media Digital Indonesia dan Forum Pimpinan Media Digital Indonesia)
Tak terasa, empat jam berlalu. Ngobrol dari jam lima sore sampai jam sembilan malam bersama Peter F Gontha.
Mantan Duta besar Indonesia di salah satu negara di Eropa Tengah, Polandia.
Pria bernama lengkap, Peter Frans Gontha, memang jadi trending menguak bobrok Maskapai Garuda Indonesia.
Silang pendapat ini nampak jelas dalam jejak digital yang dituliskan PFG, dalam media sosialnya instagram dengan follower 35 ribu, Twitter 117.000 dan Facebook dengan follower 78.000.
Yang menarik, dari postingan Peter yang menyebut bahwa kedudukan ia sebagai komisaris Garuda adalah mewakili pemegang saham minoritas yakni Chaerul Tanjung yang disebut Peter memiliki saham GIA sebesar 28%.
Kata Peter, si pemegang saham minoritas ini kini sudah merugi bahkan sampai Rp 11 triliun lebih.
Kata Peter begini: Saat Garuda masuk bursa lewat initial public offering atau IPO, Chaerul Tanjung (CT) dimintai tolong masuk Garuda karena underwritter gagal total.
Saat itu, Chaerul Tanjung menyetor dana US$ 350 juta untuk membeli saham Garuda. Kata Peter, investasi trans/CT 350 US juta dollar.
BACA JUGA: Siapa Yang Paling Banyak Lab PCR?
Saat Garuda IPO, saham Garuda di posisi Rp 625 per saham, sekarang nol kan, sudah minus equity kok masih ada harganya?
Dalam hitungan Peter, Chaerul sudah merugi Rp 11,2 triliun termasuk bunga, tapi belum termasuk jika menghitung inflasi. Itu yang terungkap di medsos.
PFG memang termasuk pria yang kekinian, dalam normatif baru, termasuk bisnis, sosial hingga budaya.
Dari akun facebook-nya kerap keluar hal-hal inspiratif, kadang apa yang terjadi dibalik berita, sehingga menjadi netizen penasaran. Demikian juga akun resmi miliknya @petergontha serta twiter. Seru!
Menjadikan businessman yang penuh inovatif ini, sudah bisa disebut opinion leader atau malah disebut selebgram, yang disegani jika menposting, endorse info ke publik.
Pria yang merupakan pendiri Seputar Indonesia di RCTI dan Liputan 6 SCTV, punya banyak fans, dari siswa hingga pekerja profesional, anggota DPR, pejabat RI.
Di medsos, situasi terkini dan apa yang ada di baliknya. Kadang, konten-konten berfaedah tentang kesehatan.
Belakangan dan kini menjadi ramai, di Instagram ia memposting tentang Maskapai Garuda Indonesia.
Inilah yang kemudian ditulis oleh majalah eksekutif edisi November 2021. Tentang posting-nya, yang ia sebut sengaja dibuat agar “bandit”nya keluar.
Juga tentang pencopotan dirinya hingga harga sewa Boeng 777 yang disewa Garuda dengan harga tak wajar.
Hendak mengulik lebih jauh, dari apa yang diungkap dan termuat di majalah eksekutif edisi November 2021.
Dimana saya sebagai CEO-nya majalah eksekutif, tertarik untuk memuat lebih jauh.
Pasalnya, ada info kenapa sebaiknya Maskapai Garuda Indonesia, ternyata lebih baik “disuntik mati” saja. Untuk kemudian, bikin baru, yang punya culture perusahaan baik.
Sebagai Pemred MATRA, saya pun sengaja meminta waktu khusus untuk wawancara ekslusif dengan PFG.
Dengan pria yang pada pertengahan 1990-an lalu mendapat sebutan ”Rupert Murdoch Muda Indonesia” — karena kiprahnya yang malang melintang di bisnis media di Indonesia saat itu.
Tak sedang membicarakan biografi dirinya, dimana putra pasangan V. Willem Gontha dan Alice ini memulai kariernya dari bawah.
Ia pernah bekerja sebagai awak kapal pesiar Holland-American Line yang berpusat di Belanda dan rutenya trans-Atlantik, mendapat beasiswa belajar akunting di Praehap Institute Belanda dari Shell.
Lengkapnya, MATRA ingin menguak tentang karier Peter Gontha yang merupakan profesional di Citibank New York hingga “jongos” beberapa orang kaya di republik ini.
Apa dan bagaimana-nya, dibalik posting dan kini dibicarakan publik, terus terang saja menarik, hingga biografinya terbit.
Pembawa acara reality show The Apprentice Indonesia, sempat pula dijuluki ”Donald Trump Indonesia”. Tapi PFG, ya gitu-gitu saja, tetap humble.
Saat di Whatsapps, langsung direspon untuk segera saja datang ke rumahnya di kawasan Permata Hijau, Jakarta Selatan.
Pria yang sempat menjadi bos BeritaSatu TV, penggagas gelaran pentas musik terbesar di Indonesia, Jakarta International Java Jazz Festival (Java Jazz) itu masih seperti yang dulu, ceplas-ceplos kalau bicara.
BACA JUGA: Di Forum COP26, Sultan Tegaskan Peran Penting Mayarakat Adat Dalam Perlindungan Kawasan Hutan
Kenal pribadi lima presiden dari Soeharto, Megawati hingga sekarang Jokowi. Ide-ide bisnis Peter Gontha seringkali mendahului perkembangan pada masanya, meski kadang menimbulkan kontroversi.
PFG menghadapi hujan kritik ketika membangun pabrik petrokimia Chandra Asri. Lelaki kelahiran Semarang, 4 Mei 1948 ini rela menjadi figur antagonis demi merah putih.
Demikian juga tatkala disebut kroni cendana, Peter mengaku bangga dengan figur mantan Presiden Soeharto.
Peter menceritakan, rumah orangtuanya berdekatan dengan rumah Jendral Soeharto. Jadi sejak kecil Peter kenal dengan keluarga Soeharto.
Ia juga mengaku, berteman dan bermain dengan anak-anaknya Soeharto. Dan tentu saja Peter sangat menghormati Soeharto sebagai orangtua.
Tapi, putra pasangan V. Willem Gontha dan Alice ini mengaku, selama Pak Harto berkuasa, ia tidak pernah mau berurusan dengan pemerintah.
Lelaki berkepala plontos, pemilik Jamz Kafe, pada 2005 mengelola event jazz tahunan Java Jazz Festival, yang ia katakan sebagai hobby sekaligus lahan bisnisnya.
Saking banyaknya perusahaan yang sudah didirikan, Peter justru tak merasa seperti seorang pengusaha. Dia lebih senang menyebut dirinya sebagai eksekutif yang sukses.
“Mengelola usaha orang, saya digaji gede, dapat saham juga,” ujar Peter Gontha terus terang.
Sayangnya, tatkala obrolan ini lebih jauh hendak dikutip dan dimuat di media mainstream seperti Majalah MATRA, obrolan malam itu Peter menyebutnya hanyalah sebagai antar kawan saja, tidak untuk dimuat di public.
Eng-ing-eng.
Perbincangan tentang Green Peace, soal bisnis PCR , sayang tak boleh dimuat.
Padahal, saya menemuinya dalam konteks penulisan wawancara utama edisi MATRA Desember 2021.
Karena ternyata janji wawancara, disebutnya sebagai obrolan antara kawan, maka tulisan ini dimuat sebagai catatan kaki saja.
Ya, seperti kita tahu. Obrolan ekslusif, tak bisa disebut sebagai wawancara kalau sang narasumber keberatan materinya di share ke public.
Sudah menjadi kode etik jurnalistik kita harus taat azas dan menjadi sosok yang berintegritas.
Tapi, ya pelan-pelan saya sedang membujuk, pria yang mirip kamus berjalan atau pikirannya semacam “mbah google” ini, agar momen “kopi darat” semalam bisa termuat.
Maaf untuk saat ini, segini dulu, semuanya masih off the record.
BACA JUGA: majalah eksekutif edisi November 2021