Pakar Desak Kebijakan Fiskal untuk Tekan Konsumsi Minuman Berpemanis

Peneliti FKKMK UGM, Relmbuss Fanda. (Foto: Dokumen Pribadi)

[ad_1]

Menurut laporan Federasi Diabetes Internasional (IDF), Indonesia menempati posisi ke-7, negara dengan pengidap diabetes tertinggi di dunia pada 2020. Para ahli percaya, minuman kemasan berpemanis berperan pada kondisi ini.

Karena itulah, peneliti dari Pusat Kebijakan Manajemen Kesehatan (PKMK) Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FKKMK) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, merekomendasikan penerapan kebijakan fiskal untuk produk ini. Peneliti FKKMK UGM, Relmbuss Fanda menyebut sejumlah pihak harus mengambil peran.

Peneliti FKKMK UGM, Relmbuss Fanda. (Foto: Dokumen Pribadi)

“Intinya yang harus terlibat disini adalah Kementerian Kesehatan, Kementerian Perindustrian dan juga Kementerian Keuangan. Karena, kalau kita lihat dari studi yang dilakukan, implementasi sugar sweetened beverages tax ini tujuan utamanya menghambat konsumsi berlebihan minuman berpemanis di masyarakat, untuk tidak terjadi peningkatan atau bisa dikontrol penyakit diabetesnya,” kata Fanda.

Sedot Anggaran Kesehatan

Diebetes harus mendapat perhatian lebih karena beban pembiayaan yang dikeluarkan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan) cukup besar. Fanda menyebut, pada 2017, ada 10,8 Juta orang atau 5,7 persen dari peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang harus ditanggung pembiayaannya terkait penyakit katastropik ini.

Dana yang dikeluarkan mencapai Rp14,6 triliun atau 21,8 persen dari total anggaran pelayanan kesehatan. Sementara setahun sebelumnya, jumlah yang dibelanjakan untuk diabetes tercatat Rp7,7 triliun.

Seorang paramedis (kanan) memeriksa kadar gula darah pasien di klinik SS Diabetes Care di Jakarta, 22 April 2016. (Foto: REUTERS/Beawiharta)

Kebijakan fiskal untuk mendorong perubahan perilaku konsumsi produk sehat juga sesuai dengan rekomendasi organisasi kesehatan dunia (WHO). Fanda menjelaskan, kebijakan fiskal dapat berupa penerapan pajak untuk minuman berpemanis pada takaran gula tertentu, dan nilai pajaknya dapat bersifat progresif.

“Negara Asia Tenggara, seperti Thailand, Filipina, Malaysia dan Singapura, telah menerapkan pajak tersebut dengan berbagai variasi. Indonesia menerapkan kebijakan ini, namun gagal pada 2011 dan 2014, karena tidak mendapatkan dukungan penuh dari semua kementerian,” lanjut Fanda.

Tahun ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati kembali mengeluarkan wacana penerapan cukai pada minuman berpemanis saat bertemu Komisi XI DPR RI. Fanda menyebut, bukti menunjukkan pajak minuman berpemanis yang menaikkan harga 20 persen, menurunkan konsumsi sekitar 20 persen juga. Sebuah studi menunjukkan, penerapan kebijakan fiskal menghemat biaya perawatan kesehatan hingga 24 kali lipat dari biaya pelaksanaan pajak minuman manis.

“Implementasi dari kebijakan fiskal ini, dengan adanya pertambahan harga itu akan mengurangi konsumsi minuman berpemanis, di saat yang sama diharapkan meningkatkan konsumsi minuman yang lebih sehat,” tambah Fanda.

Jika pajak diterapkan dengan baik, industri akan merespon dengan mengeluarkan produk yang lebih rendah pemanis dan lebih sehat. Pada tahap selanjutnya, kata Fanda, upaya ini juga penting dilakukan untuk produk-produk usaha kecil, seperti minuman manis yang dijual di tepi jalan.

Selain diabetes, minuman berpemanis menaikkan resiko obesitas dan penyakit jantung.

Gula Dianggap Susu

Ketua Harian YAICI, Arif Hidayat. (Foto: Courtesy/Sahabat YAICI)

Ketua Harian Yayasan Abhipraya Insan Cendekia Indonesia (YAICI), Arif Hidayat menyatakan dukungan penuh untuk inisiatif penerapan pajak lebih tinggi bagi minuman berpemanis.

“Kami mendukung penuh, karena ada tiga program utama dari pemerintah, yaitu mengurangi gula, garam dan lemak (GGL). GGL itu program pemerintah sudah lama, tetapi faktanya upaya ke arah itu belum ada kebijakan yang nyata, terutama untuk yang pemanis,” kata Arif.

Arif bersama YAICI sejak beberapa tahun terakhir aktif berkampanye mengenai makanan dan minuman sehat, terutama bagi anak-anak di Indonesia. Bekerja sama dengan dua organisasi besar, yaitu Aisyiah dan Muslimat NU, YAICI antara lain berkampanye menekan konsumsi pemanis, seperti Susu Kental Manis (SKM). Upaya itu tidak ringan, kata Arif, karena justru belakangan ini tren minum kopi dan teh yang menggunakan SKM di dalamnya semakin digemari.

Menerapkan pajak tinggi, agar harga SKM naik dan konsumsinya turun juga penting untuk menjaga kesehatan balita dan anak-anak.

“Kenapa kami konsen ke SKM, karena persepsi yang sudah timbul di ibu-ibu selama seratus tahun, SKM itu adalah susu, padahal sebenarnya itu adalah gula,” lanjut Arif.

Dalam sebuah survei yang dilakukan YAICI di Jakarta, diperoleh data bahwa sekurangnya 40 persen ibu-ibu memberikan SKM kepada anak di bawah lima tahun. Mereka meyakini, bahwa minuman berwarna putih itu adalah susu.

Padahal, kata Arif, karena komposisi SKM lebih dari 50 persen gula, anak akan cepat kenyang. Di sisi lain, dia tidak mengonsumsi bahan makanan bergizi lain, dan menyebabkan gangguan pertumbuhan, baik fisik maupun intelektual. Lebih buruk lagi, berawal dari SKM, anak-anak akan ketagihan minuman berpemanis, karena terbiasa dengan rasa manisnya.

“Penerapan pajak ini, adalah salah satu cara untuk menekan agar pemanis itu tidak beredar secara luas di masyarakat,” ujar Arif.

Soft Drink atau Soda. (Foto: Public Domain)

SKM diusulkan Arif masuk dalam skema pajak ini. Dia menilai, ekspansi produsen SKM justru lebih luas di masyarakat, karena saat ini kafe, atau lapak minuman lain di tepi jalan justru mengganti gula dengan SKM.

Meski terus mengkampanyekan pengurangan konsumsi pemanis bersama sejumlah organisasi perempuan, Arif menilai upaya mereka tidak akan memberikan dampak dalam waktu cepat. Membentuk kesadaran masyarakat, ujarnya, membutuhkan keterlibatan pemerintah.

Dia memberi contoh, penetapan SKM yang tidak boleh difungsikan sebagai pengganti ASI oleh pemerintah, sebagai campur tangan yang berpengaruh besar. Karena itulah, dalam kasus minuman berpemanis produk industri, penetapan aturan yang lebih ketat misalnya melalui pajak, patut dilakukan.

“Produk SKM itu iklannya sudah seratus tahun di Indonesia, sudah membentuk persepsi kuat pada ibu-ibu bahwa produk kental manis itu adalah susu. Tanpa dukungan pemerintah, sulit sekali untuk mengubah persepsi itu,” pungkas Arif. [ns/ab]

[ad_2]

Sumber Berita

Exit mobile version