Persatuan Dukun dan Kontroversi Seputar Santet Banyuwangi

[ad_1]

Sejumlah pelaku ilmu supranatural di Banyuwangi, Jawa Timur.berkumpul, dan berencana mendirikan sebuah organisasi payung yang disebut sebagai Persatuan Dukun Nusantara atau Perdunu.

Organisasi tersebut, menurut Ketua Umum Perdunu, Abdul Fatah Hasan, ditujukan sebagai sarana edukasi bagi masyarakat dan perberdayaan untuk pelaku supranatural. Misalnya, jangan sampai ada tipu-tipu dalam praktiknya.

Abdul Fatah Hasan, Ketua Umum Perdunu. (Foto: Dok Pribadi)

“Kasus-kasus yang terjadi banyak sekali, terkait dengan aktivitas dukun dan perdukunan, yang berpotensi terjadi penipuan. Di media sosial itu banyak juga yang promosi menyediakan jasa supranatural dan sejenisnya. Ini kan potensi adanya penipuan,” kata Gus Fatah, panggilan akrabnya, kepada VOA Minggu (14/2).

Gus Fatah mengaku pilihan pemilihan istilah dukun sudah dilakukan dengan cermat. Dalam budaya tradisional Indonesia, dukun adalah profesi yang akrab bagi masyarakat. Ada dukun bayi, dukun pijat dan sejenisnya, yang memberi bantuan logis dan tidak logis, kata Gus Fatah. Sayangnya, istilah itu kemudian memiliki makna negatif, padahal kegiatan yang dilakukan banyak yang positif.

“Kita mencoba membuat organisasi yang modern. Bagaimana bisa berkontribusi, karena memang masalah-masalah yang terjadi di masyarakat ini tidak semua bisa diselesaikan “secara logis”. Menghadapi problematika itu, Perdunu memang harus hadir,” tambah Gus Fatah meyakinkan.

Para dukun Tengger duduk saat Festival Kasada di Gunung Bromo di Probolinggo, Jawa Timur, 1 Agustus 2015. (Foto: REUTERS/Beawiharta)

Kontak sudah dijalin dengan banyak pelaku supranatural khususnya di Jawa. Sebuah perjalanan spiritual dari Jawa Timur hingga ke ujung barat Jawa, bahkan sudah dirancang untuk bertemu tokoh-tokoh lokal dalam bidang ini. Gus Fatah meyakini ini adalah saat yang tepat bagi pelaku spiritual yang sering disebut dukun ini, untu berorganisasi secara modern.

Gebrakan di Banyuwangi tak kalah mengagetkan. Mereka berencana menggelar Festival Santet, yang segera mengundang kontroversi. Perdunu berencana mencari nama lain untuk festival ini, yang sebenarnya merupakan kegiatan tahunan setiap bulan Suro sesuai kalender Jawa. Santet, tutur Gus Fatah, sebenarnya bukanlah hal mengerikan di Banyuwangi. Barangkali, masyarakat membayangkan hal-hal buruk, seperti yang mereka tonton di film. Perdunu bertekad memperbaiki cara pandang yang keliru mengenai santet Banyuwangi itu.

Gus Fatah adalah pengasuh Pondok Pesantren al-Huda, Blimbingsari, yang juga anggota Lembaga Bahtsul Masa’il,Pengurus Cabang (PC) Nahdlatul Ulama (NU) Banyuwangi. Supranatural, ujarnya, diajarkan di pondok-pondok di masa lalu, dan kitabnya masih tersimpan disana. Perdunu berniat mengembalikan kajian bidang ilmu ini, dengan kurikulum yang lebih baik.

Pemaknaan Santet Berbeda

Sebuah diskusi terkait santet diselenggarakan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Gadjah Mada, pada Jumat (12/2). Berbicara dalam acara ini, akademisi sekaligus peneliti dari FIB Universitas Jember, Heru SP Saputra. Ia memahami seluk beluk santet, khususnya mantra di dalam kebudayaan masyarakat adat Osing di Banyuwangi, karena pernah melakukan penelitian untuk studi doktoralnya.

Di awal paparan, Heru menegaskan diskusi terkait santet digelar para akademisi, tidak terkait pendirian Perdunu. Dia juga menegaskan, sudut pandang yang benar harus digunakan jika berbicara tekait santet di Banyuwangi.

Akademisi FIB Universitas Jember, Heru SP Saputra. (Foto: VOA/Nurhadi)

“Santet ini sebenarnya istilah yang masih debatable, dalam arti kita arus memahami santet Osing ini dalam konteks orang Osing. Karena kalau kita memahami dalam konteks diluar orang Osing, maknanya jadi berbeda,” kata Heru.

Perbedaan konteks ini pula, barangkali yang membuat Festival Santet yang akan digelar Perdunu menjadi kontroversi. Padahal bagi masyarakat Osing dan Banyuwangi secara umum, itu adalah hal yang biasa.

Santet, kata Heru, sering dipahami sebagai tindakan untuk menyakiti, padahal sebenarnya tidak. Konteks santet dalam budaya Osing adalah pengasihan atau cinta kasih.

Berdasar penelitiannya, Heru memaparkan alam budaya masyarakat Banyuwangi, ilmu-ilmu dibedakan menjadi empat, yaitu hitam, merah, kuning dan putih. Ilmu hitam tentu istilah yang akrab di dengar. Santet berada dalam kelompok ilmu merah dan kuning.

“Dalam konteks masyarakat Banyuwangi, kita tidak boleh menilai ini selalu jelek. Ada satu perspektif yang dalam konteks masyarakat lokal, ini untuk sarana membangun kelurrga. Misalnya jika laki-laki atau perempuan tidaka laku-laku,” kata Heru.

Kesulitan menemukan jodoh itulah yang kemudian jalan keluarnya, antara lain diupayakan melalui santet ini. Mantera memiliki peran besar dalam santet, karena menjadi kata-kata kuat yang memberikan sugesti. Dalam kebudayaan India dan juga Bali, mantera juga dikenal karena kemampuannya dalam memberikan sugesti kepada seseorang. Mantera ini pulalah yang masuk dalam tradisi lisan di banyak suku di Indonesia.

Menurut Heru, mantera membangun sugesti yang dibangun dari teks. Ketika agama Islam masuk ke Banyuwangi, santet dan mantera bergumul dan saling terikat karena masyarakat Osing memasukkan pengaruh Islam di dalamnya. Karena itulah, dalam praktik santet saat ini, mantera yang digunakan banyak menggunakan kata-kata yang ditemukan dalam khazanah agama.

“Jauh sebelum Islama masuk Banyuwagi, sudah marak mantera. Ketika datang Islam, dianggap tidak bertentangan. Tradisi Islam dengan doa-doa itu disatukan oleh orang Osing, sehingga datangnya Islam dimanfaatkan untuk memperkuat mantera Osing,” tambah Heru.

Seorang dukun meletakkan sesaji saat festival Cap Go Meh di Jakarta pada 6 Februari 2012. Cap Go Meh merupakan penutup acara perayaan Imlek. (Foto: AFP/Adek Berry)

Magis, Sains dan Agama

Antropolog Universitas Gadjah Mada, Prof Heddy Shri Ahimsa Putra menyebut, penelitian Heru Saputra membawa pemahaman baru. Ada perbedaan pemaknaan mengenai santet, yang di Banyuwangi tidak negatif dan menjadi persoalan sangat biasa dalam kehidupan sehari-hari.

“Kita punya pola pengetahuan yang baru, sains dari Barat kadang-kadang melihat fenomena begini seperti takhayul, tetapi ternyata kita tidak bisa mengatakan ini takhayul. Kalau dalam istilah antropologi, ini etno sains. Ini etno sains-ya orang Banyuwangi,” ujar Heddy.

Antropolog UGM, Prof Heddy Shri Ahimsa Putra. (Foto: Courtesy/FIB UGM)

Ada kerangka berpikir magis, ilmu pengetahuan, dan keagamaan yang harus dipahami. Pola pikir, lanjut Heddy, mempengaruhi perilaku tanpa disadari. Jika kita memahami pola pikir ini, ujarnya lagi, kita akan bisa memahami pandangan masyarakat itu dan pola perilakunya.

“Saya kira, ini hal yang sangat penting. Orang kemudian sadar bahwa santet itu maknanya bisa berbeda di satu daerah dengan daerah yang lain. Dan saya kira, itu menunjukkan bagaimana variasi budaya kita,” papar Heddy.

Soal santet di Banyuwangi ini, tambah Heddy, tidak bisa dilepaskan dari buku Bronislaw Malinowski, berjudul “Magic, Science and Religion.” Begitu juga pemikiran dari Émile Durkheim dalam bahasan yang sama, terkait bagaimana posisi dunia magis, agama dan upaya manusia membangun ilmu pengetahuan.

Indonesia, kata Heddy, sangat kaya dengan tradisi semacam ini, khususnya penggunaan mantera dalam kehidupan sehari-hari. Menurutnya, akan sangat menarik jika ada studi komparasi, terutama dari kawasan-kasawan yang memiliki potensi besar terkait keilmuan semacam ini, seperti Banyuwangi sendiri, suku Dayak di Kalimantan dan juga Banten.

“Saya pernah membimbing disertasi mengenai mantera di suku Bajo. Orang Bajo ini manteranya juga banyak sekali, dan itu untuk hidup sehari-hari, untuk mencari ikan, untuk mendapatkan rejeki. Saya kira, dalam kehidupan masyarakat kita di Indonesia, ini hal-hal yang sangat biasa, namun sekaligus menarik,” tambah Heddy. [ns/ah]

[ad_2]

Sumber Berita

Exit mobile version