#  

Peter F Gontha: ‘Biarlah Menjadi Rahasia, Yang Saya Bawa Mati Saja’

TEMPO — Ide-ide bisnis lelaki berkepala plontos ini, seringkali mendahului perkembangan pada masanya, meski kadang menimbulkan kontroversi. Pria kelahiran Semarang, 4 Mei 1948 ini, melompat dari satu sektor ke sektor lain.

“Saya bukan pengusaha, tapi saya suka memikirkan ide-ide baru, orang lain yang mendanai,” ujar Peter Frans Gontha, sosok yang membangun stasiun televisi swasta pertama dan kedua di Indonesia, RCTI dan SCTV.

Menjadi motor bisnis putra mantan Presiden Soeharto almarhum, Bambang Trihatmodjo dengan mesin bisnisnya Bimantara.

Di Bimantara, Peter menunjukkan talenta bisnisnya yang luar biasa dengan mendirikan banyak perusahaan besar, yang tanpa berhubungan degan fasilitas kemudahan.

Saat PFG memang mengaplikasi ide-ide besar, dalam konsep bisnis korporasi yang selayaknya dan benar. Sehingga, apa yang dipegang oleh sosok yang satu ini berbeda, dengan situasi atau persepsi di masyarakat, bahwa memang enak berbisnis dengan putra pak Harto.

Ia mengatakan, mendapatkan ijin pertelevisian sangat tidak mudah, meskipun anaknya Soeharto sendiri.  Yang belum tentu, bisa berjalan kalau tidak ditangani secara profesional. Contohnya, Lativi dan TV 7 yang akhirnya juga tidak jalan, karena salah kelola. Dan sekarang masing-masing menjadi ANTV dan Trans7.

“Saya join Bimantara 1984 ditarik Rossano Barack, yang pada saat itu datang ke Bank Amex untuk meminta aplikasi, kartu kredit. Di 1984 masih jadi bos AMEX,” ujar putra pasangan V Willem Gontha dan Alice ini.

PFG menunjukan kompetensinya dalam setiap bidang yang dikerjakan, walau “dihajar” publik meski mengaku bahwa dia sebagai kroni Cendana.

Menjadi professional di perusahaan multinasional, seperti Shell, Citibank dan Amex. PFG menjadi sosok dibalik berdirinya perusahaan-perusahaan terkenal seperti Plaza Indonesia Realty (The Grand Hyatt Jakarta), Bali Intercontinental Resort hingga Chandra Asri Indonesia, Tri Polyta Indonesia dan Indovision.

Mendirikan Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI) dan menyelamatkan satelit B2R dari jatuh ke tangan asing, karena sempat hilang dalam waktu penempatan orbit. Dan menjadi cikal bakal operasional PT Satelindo Indonesia, yang sekarang menjadi Indosat yang dimiliki OOREDO milik Qatar dan Hutchison, milik Li Ka Sing orang kaya di Hongkong.

PFG Tak Segan Menghadapi Hujan Kritik Saat Bangun Pabrik Petrokimia Chandra Asri

Mengenai kedekatannya dengan keluarga Soeharto, Peter menceritakan, rumah orangtuanya berdekatan dengan rumah Jendral Soeharto. Jadi, sejak kecil Peter kenal dengan Soeharto, karena ia adalah Ketua RT.

Jaman dulu, kalau mau keluar negeri, harus mendapatkan surat keterangan RT. Hal ini yang membuat PFG, kenal dengan sang RT, yang kala itu menjadi Presiden RI.

Kontroversi muncul saat Peter membangun pabrik olefin PT Chandra Asri Petrochemical Centre di Cilegon, Banten tahun 1994.

Saat itu Peter minta kepada pemerintah untuk memproteksi industri petrochemical dimana CAPC sebagai salah satu pemainnya, dengan menerapkan bea masuk untuk produk-produk turunan olefin sebesar 40%.

Saat itu, Peter seolah-olah menjadi tokoh antagonis dalam lembaran-lembaran media selama berbulan-bulan, bahkan tahunan.

“Kini orang baru sadar, betapa pentingnya pabrik petrokimia seperti Chandra Asri bagi bangsa ini,” ujar Peter.

Sebenarnya, ide pembangunan Chandra Asri sendiri muncul saat Peter bekerja untuk perusahaan minyak Belanda, Shell tahun 1969-1974 di bagian otomatisasi dan komputer. Nah, di awal dekade 1970an Peter sudah akrab dengan komputer.

Ketika bekerja di perusahaan minyak Belanda itu, tahun 1973 saat berlangsung perang Yom Kippur antara Israel melawan negara-negara Arab, selama empat hari empat malam, Peter saat itu bekerja di Shell Benelux Computing Center, di Den Haag Nederland.

Mereka menghitung semua persediaan minyak di Benelux, Jerman, Inggris dan Perancis, berkaitan dengan dihentikannya pasok minyak (ke negara-negara barat) oleh negara Arab, yang pro Israel.

Penghentian pasok minyak itu sebagai salah satu upaya Arab menekan Amerika dan Eropa Barat yang mendukung Israel. Akibat kebijakan itu, harga minyak dunia melambung tinggi.

“Dari situ, saya jadi tahu hitung-hitungan. Menyangkut perminyakan. Serta apa saja yang bisa dibuat dari residu minyak bumi. Dari sanalah, dasar pemikiran saya untuk membangun pabrik petrokimia terpadu, Chandra Asri,” cerita Peter.

 

Singkat cerita, mantan Duta Besar Indonesia untuk Polandia, bahkan tak malu menyebut dirinya sebagai kacung orang kaya. Suami dari Purnama Purba ini continue menjadi ‘kacung’ konglomerat.

“Saya membantu orang besar untuk mengembangkan usahanya,” ujar Peter Frans Gontha yang mengaku bukan business man, tapi seorang profesional. Ia juga sempat menjalani berbagai profesi.

Sebelum lulus kuliah di Praehap Institute Belanda, Peter muda kerja rela jadi kelasi, kemudian jadi supir taksi. Pernah menjadi awak kapal pesiar mewah Holland-American Line yang berpusat di Belanda, rutenya trans-Atlantik .

Menjadi pelayan restoran, hingga tukang pembersih karat kapal. Lulus kuliah, ia bekerja sebagai karyawan Citibank New York, kemudian Vice President American Express (AMEX) Bank untuk Asia.

Di pertengahan 1990 ia sempat disebut sebagai ‘Rupert Murdoch Muda Indonesia’ gara-gara kiprahnya yang malang melintang di bisnis media tanah air.

Sementara julukan lainnya adalah ‘Donald Trump Indonesia’ lantaran acara reality show The Apprentice Indonesia yang dibawakannya.

Bekerja di perusahaan-perusahaan besar seperti Plaza Indonesia Realty, Group Bimantara, hingga bergelut di bidang media seperti RCTI, SCTV dan First Media, Telkom Vision, dan Berita Satu TV.

“Meski dibilang sukses, saya ini bekerja, baik untuk negara, untuk Prajogo Pangestu, James Riady, Bambang Trihatmodjo. Saya ini ‘kacungnya’,” canda pria yang mengaku punya  prinsip keringatnya harus dibayar sepadan.

Kerja keras sangat penting, yang artinya setiap tetes keringat, tentu harus dihargai.

“Yang memakai tenaga saya, ya harus membayar yang sesuai,” alumnus pegawai Citibank ini berujar. Pemilik streaming radio PFG ini mengaku, baru di usia 70 tahun dirinya lepas, tak lagi sebagai “jongos orang kaya”.

Menjadi Enterpeneur Berbisnis Sendiri

Mantan Komisaris PT Garuda Indonesia Tbk, Peter Gontha menggarap bisnis terkait lingkungan hidup, sains, dan teknologi, khususnya perdagangan karbon (carbon trading) melalui Melchor Group Indonesia (Melchor).

Selaku CEO sekaligus salah satu pendiri Melchor, Peter memperkenalkan inovasi teknologi blockchain sebagai basis untuk mengeksekusi komoditas emisi karbon tersebut.

Melalui anak usaha Melchor Group, sejumlah platform digital pendukung diluncurkan seperti Muller Carbon, Crypto Utility ‘ROXY’, dan Carbon Emmision Calculator ‘JEJAK.in’, ia berkolaborasi di semua lini.

PFG punya niat mulia, dari pendaftaran lahan, penilaian serapan, penetapan tokenisasi terhadap nilai karbon yang dihasilkan, hingga perdagangan.

Tak hanya soal restorasi ekologi tapi juga menyejahterakan masyarakat serta bagian untuk ikut berperan mendampingi pemerintah dalam memberantas kemiskinan.

Untuk mengetahui lebih jauh, majalah eksekutif meminta wawancara khusus. Pria yang baru saja diangkat sebagai Duta Pertanian ini menjawab whatsapps yang ditujukan ke dirinya, tapi enggan diwawancarai.

Ia hanya  menyuruh hadir, off the record ngobrol saja di kantornya kawasan SCBD Suites, District 8 – Prosperity Tower lantai 11, Jend. sudirman kav 52-53 No.28, Kebayoran Baru, Jakarta.

Ayah dari Francois C Gontha dan Dewi Alice L Gontha ini tetap ramah, enerjik serta banyak urusan. Di waktu pertemuan yang ditentukan, tetap harus antri masuk, karena padat aktivitas.

Setelah dibujuk untuk berbicara Cubmu, aplikasi tonton Cuma buat kamu, PFG masih pelit informasi. Dipancing ngobrol Tour de France, tentang gelaran balap sepeda tahunan, yang sudah diselenggarakan sebanyak ratusan kali itu.

PFG paling enggak tahan, saat diajak bincang music jazz. Berbicara soal musik, jazz adalah cinta mati seorang Peter F Gontha sejak masih berusia 8 tahun. Darah jazznya mengalir dari sang ayah, Wim Gontha – pemimpin big band BPM Shell yang beranggotakan Bubi Chen, Jack Lesmana, dan Maryono sang maestro jazz Indonesia.

Peter kemudian menggebrak industri musik Indonesia dengan Jakarta International Jazz Festival yang diakui di mancanegara sebagai festival jazz terbesar di dunia.

Masih rajin berenang, penyuka olahraga golf ini lebih suka mengungkap pandangan atas situasi di media sosial, FB, Instagram hingga twitter. Terakhir, ia mencuit soal Kita harus melawan / memperkecil sifat  intoleransi, minoritas maupun kelompok majoritas.

“Harus ada yang memulainya dan kita harus mulai di diri kita sendiri dulu,” ujar pria yang sempat hendak me-launhing buku berjudul: Lupa Mencuri. Dalam autobiografhy dengan tebal 500 halaman itu, semua dipaparkan.

“Saya ungkap semua di buku itu,” ujar PFG yang makin tua, semakin rohani.

Cuitan di Instagram, kemudian Tweeter, atau Facebook menjadikan follower-nya yang bukan orang jalanan, memahami cerita dibalik berita, apa yang terjadi tak hanya di bangs aini tapi keadaan dunia.

Buku yang mengungkap krisis finansial hingga fasilitas BPPN, Republik dikemplang pengusaha.

“Saya banyak mempunyai data, yang saya simpan dan saya akan keluarkan,” ujar pria yang mengaku mendapat tantangan dari keluarga, saat hendak buka-bukaan semua yang diketahui di bangsa ini

“Nanti saya keluarkan, cerita mengenai Orde Baru sampai Orde perubahan, reformasi sekarang bahkan sampai hari ini.”

“Data mengenai kejahatan korupsi, apa yang terjadi di Indonesia. Disimpan, akan dibuka kalau saya meninggal. Tapi, maaf keluarga belum oke,” ujar PFG yang hingga kini, masih belum menentukan, apakah buku ini jadi diterbitkan dengan fakta kontroversial dibuka semua, atau disimpan saja.

“Ataukah saya bawa mati saja, seperti ada banyak orang yang seperti dirinya, banyak tahu apa yang terjadi, tapi diam saja. Umpama, rahasia mengenai apa yang terjadi antara pengusaha dan penguasa, saya bawa mati saja,” papar Wakil Ketua Dewan Pakar Partai Nasdem ini.

“Walau aktif di Partai, saya bukan politikus ya. Saya juga tak mau dijadikan calon Legilatif. Begini-begini saja. Saya hanya ingin memberikan sumbangsih pikiran, dari pengalaman yang saya dapatkan dari kerja nyata.”

“Kita menikmati hidup dan bersyukur setiap hari,” ujar Peter F Gontha, diiringi instrument music jazz.

Exit mobile version