Situasi di Tigray Luar Biasa Memprihatinkan

[ad_1]

Kehidupan warga sipil di wilayah Tigray, Ethiopia, telah menjadi “sangat mengkhawatirkan” karena kelaparan terus meningkat sementara pertempuran menghambat usaha-usaha untuk menjangkau jutaan orang yang memerlukan bantuan, kata PBB dalam sebuah laporan barunya.

Konflik yang mengguncang salah satu negara paling kuat dan padat di Afrika itu telah menewaskan ribuan orang dan kini memasuki bulan keempat. Hingga saat ini, nasib sebagian besar dari 6 juta orang yang tinggal di Tigray tidak diketahui.

Para jurnalis diblokir untuk masuk, komunikasi tidak lancar dan banyak pekerja bantuan harus berjuang keras untuk mendapatkan izin masuk.

Dewan Keamanan PBB diberitahu dalam sebuah sidang tertutup pekan ini, salah satu tantangannya adalah bahwa Ethiopia mungkin tidak lagi menguasai hingga 40 persen wilayah Tigray.

Ethiopia dan para pejuang sekutunya kini sibuk memburu pemerintah daerah Tigray yang buron dan dulu pernah mendominasi pemerintah Ethiopia selama hampir tiga dekade. Yang tak kalah memprihatinkan, pasukan Eritrea sangat terlibat dalam mendukung pemerintah Ethiopia, bahkan ketika Addis Ababa menyangkal kehadiran mereka di sana.

Pengungsi Ethiopia yang melarikan diri dari wilayah Tigray, antre untuk menerima bantuan makanan di dalam kamp Um-Rakoba, negara bagian Al-Qadarif, di perbatasan Sudan, 11 Desember 2020. (Foto: REUTERS / Mohamed Nureldin Abdallah)

Pada Kamis (5/2), Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken menjadi pejabat tinggi terbaru yang menekan Perdana Menteri Ethiopia Abiy Ahmed secara langsung. Dalam pembicaraan telepon mereka, Blinken mendesak pemenang Hadiah Nobel Perdamaian 2019 itu agar memberi akses langsung, penuh dan tanpa hambatan ke Tigray sebelum lebih banyak orang mati. Negara ini merupakan sekutu utama keamanan AS di Tanduk Afrika.

Pernyataan singkat Abiy dalam pembicaraan telepon itu tidak menyebutkan Tigray. Demikian pula pernyataan-pernyataannya dalam pembicaraan telepon sebelumnya pekan ini dengan Presiden Prancis Emmanuel Macron dan Kanselir Jerman Angela Merkel sementara negara-negara Eropa mengungkapkan keprihatinan mereka mengenai situasi di Tigray, yang bisa meluas hingga ke Sudan dan Somalia.

Laporan kemanusiaan PBB yang baru dirilis Kamis malam (4/2) termasuk peta yang menunjukkan bahwa sebagian besar wilayah Tigray diberi tanda “tidak dapat diakses” untuk pekerja kemanusiaan. Laporan itu menyebutkan, situasi keamanan tetap tidak stabil dan tidak dapat diprediksi lebih dari dua bulan setelah pemerintah Abiy mengumumkan kemenangannya.

Tanggapan bantuan masih sangat tidak memadai dengan sedikit akses ke populasi pedesaan di luar jalan-jalan utama, kata laporan itu, bahkan ketika pemerintah Ethiopia mengatakan lebih dari 1 juta orang di Tigray telah mendapat bantuan. Beberapa pekerja bantuan melaporkan mereka terpaksa menegosiasikan akses dengan sejumlah pihak bersenjata, termasuk yang berasal dari Eritrea.

Seorang perempuan Ethiopia yang melarikan diri dari pertempuran yang sedang berlangsung di wilayah Tigray, menggendong anaknya di bawah spanduk Program Pangan Dunia di desa Hamdayet di perbatasan Sudan-Ethiopia, negara bagian Kassala timur, Sudan, 15 Desember 2020.

Laporan itu menyebutkan, para pekerja bantuan di lapangan mengatakan bahwa malnutrisi akut meningkat di berbagai penjuru Tigray. Hanya 1 persen dari hampir 920 fasilitas bantuan makanan di Tigray yang bisa dijangkau.Kelaparan telah menjadi perhatian utama.

“Banyak rumah tangga diperkirakan sudah kehabisan stok makanan mereka, atau diperkirakan akan habis stok makanan mereka dalam dua bulan ke depan,” menurut laporan baru yang disampaikan Kamis, oleh Jaringan Sistem Peringatan Dini Kelaparan FEWS NET, sebuah organisasi penyedia informasi mengenai keamanan pangan yang didanai dan dikelola oleh AS. [ab/uh]

[ad_2]

Sumber Berita

Exit mobile version