#  

Prinsip Pengusahaan Hutan di UU Cipta Kerja

[ad_1]

INFO NASIONAL – Banyak kalangan yang mengkhawatirkan pengelolaan hutan pasca pengesahan UU Cipta Kerja, 2 November 2020,lalu. Muncul anggapan UU Nomor 11/2020 ini lebih mengutamakan pengusahaan hutan untuk kepentingan investasi sehingga akan mengganggu keseimbangan lingkungan. Benarkah demikian?

Dalam pandangan pemerintah, investasi di hutan dalam UU Cipta Kerja adalah investasi yang bisa disebut “zoo green”. Ini adalah satu bentuk investasi yang benar-benar menerapkan prinsip-prinsip pelestarian lingkungan.

“Misalnya saat membuka lahan tidak boleh membakar hutan. Dengan masuknya perhutanan sosial di UU Cipta Kerja, kita membuka investasi untuk masyarakat luas, hutan dibuka, tetapi tidak boleh dirusak,” kata Deputi Bidang Koordinasi Pengembangan Usaha BUMN, Riset, dan Inovasi Kementerian Koordinator (Kemenko) Perekonomian, Montty Girianna dalam diskusi online Ngobrol@Tempo dengan tema UU Cipta Kerja dan Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Berbasis Perhutanan Sosial, Kamis, 10 Desember 2020.

Menurut Montty, ketentuan di UU Cipta Kerja, juga mengatur tentang tidak dibolehkannya investasi di hutan konservasi dan hutan lindung. “Bagi perusahaan yang telah terlanjur melakukan investasi di kedua jenis hutan ini, harus diselesaikan, mungkin dalam bentuk membayar denda dan sebagainya, yang pada ujungnya harus mengembalikan lahan tersebut kepada negara,” katanya.

Ketentuan lain yang patut diperhatikan pelaku usaha pada UU Omnibus Law ini adalah pasal 110A terkait usaha tambang atau perkebunan di dalam kawasan hutan yang belum memenuhi persyaratan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Perusahaan-perusahaan ini diwajibkan menyelesaikan persyaratan tersebut paling lambat dua tahun sejak UU disahkan.

“Sedangkan untuk pelanggaran usaha di kawasan hutan tanpa perijinan dikenai sanksi administratif berupa denda, dan denda atas keterlambatan pembayaran sesuai pasal 110 B,” ujar Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Bambang Supriyanto, yang juga menjadi pembicara dalam diskusi ini.

Namun sanksi ini, kata Bambang, tidak berlaku bagi perhutanan sosial. Masyarakat yang bertempat tinggal di sekitar atau di dalam kawasan hutan, minimal lima tahun secara terus menerus, dengan luas lahan yang diusahakan maksimal 5 hektare dikecualikan dari sanksi administratif. Mereka menyelesaikan pelanggaran melalui program penataan kawasan TORA (tanah objek reforma agraria) atau perhutanan sosial.

“Jadi, kalau ada ketelanjuran usaha kebun monokultur di kawasan hutan, bisa diselesaikan  melalui perhutanan sosial, sesuai syarat yang ada dan diberikan di kepada kelompok. Intinya, dengan kelembagaan masyarakat, maka kohesi sosialnya bisa diwujudkan di dalam konteksnya melaksanakan lanskap atau merestorasi kawasan,” kata Bambang.

Lembaga sosial masyarakat menekankan pentingnya menjaga keseimbangan ekosistem dalam pengelolaan perhutanan sosial. Di banyak tempat, upaya mewujudkan keseimbangan ekosistem dapat dicapai bersamaan pencapaian kesejahteraan warga di sekitar hutan.

“Perhutanan sosial bisa mendorong kedua pencapaian ini. Misalnya di Padang Tikar, Kalimantan Barat, mangrove direhabilitasi dan masyarakat sekaligus bisa melakukan budidaya kepiting di sana. Demikian juga dengan pengusahaan kawasan hutan di Gunung Kidul untuk objek wisata,” kata Senior Advisor KEHATI, Diah Suradiredja dalam diskusi yang dipandu Redaktur Ekonomi dan Bisnis Koran Tempo, Ali Nur Yasin, ini.(*)



[ad_2]

Sumber Berita

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *