[ad_1]
TEMPO.CO, Jakarta – Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari sejumlah lembaga nasional, mendorong pemerintah untuk segera membentuk tim independen untuk mengungkap insiden bentrok antara Front Pembela Islam (FPI) dengan polisi yang terjadi di Tol Cikampek KM 50, Senin, 7 Desember 2020. Insiden tersebut telah mengakibatkan enam anggota FPI tewas.
“Koalisi mendesak Pemerintah untuk membentuk tim independen melibatkan Komnas HAM dan Ombudsman RI untuk menyelidiki dengan serius tindakan penembakan dari aparat kepolisian dalam peristiwa tersebut, serta membuka hasil fakta-fakta yang ditemukan dari proses penyelidikan tersebut,” ujar salah satu anggota koalisi, Nelson Nikodemus Simamora, dalam keterangan tertulis, Selasa, 8 Desember 2020.
Koalisi menegaskan setiap tindakan yang diambil oleh aparat kepolisian haruslah sesuai dengan ketentuan dan peraturan yang berlaku serta dapat dipertanggungjawabkan. Karena itu, koalisi meminta penyelidikan yang serius, transparan dan akuntabel terhadap penembakan yang dilakukan oleh aparat kepolisian yang menyebabkan 6 orang meninggal dunia.
Dalam insiden tersebut, koalisi menilai ada banyak kejanggalan dalam peristiwa tersebut yang harus diusut. Terdapat dugaan kuat pelanggaran hak asasi manusia, khususnya hak atas peradilan yang adil dan hak hidup warga negara.
Beberapa kejanggalan di antaranya terkait langkah polisi yang sampai membuntuti pihak FPI hanya karena mendengar kabar akan ada pengerahan massa untuk unjuk rasa. Selain itu, alasan penembakan juga bersifat umum, yaitu ‘karena ada penyerangan dari anggota FPI’.
“Jika memang ada senjata api dari pihak FPI mengapa tidak dilumpuhkan saja? Jika memang terdapat dugaan memiliki senjata api dan tidak memiliki izin tentunya ini merupakan pelanggaran hukum dan harus diusut tuntas pula. Kejanggalan lainnya adalah CCTV di lokasi kejadian yang tidak berfungsi,” kata Nelson.
Selain itu, koalisi juga menyoroti masalah kronologi kejadian juga saling bertolak belakang antara FPI dan kepolisian. Mereka menegaskan kronologi tersebut tidak bisa ditelan mentah-mentah karena seringkali tidak benar. Polisi, dalam catatan koalisi kerap mengungkap kronologis janggal yang ternyata tak sesuai dengan situasi sebenarnya.
“Tindakan extrajudicial killing atau pembunuhan di luar putusan pengadilan yang dilakukan oleh aparat kepolisian terhadap orang-orang yang diduga terlibat kejahatan merupakan sebuah pelanggaran ham dan pelanggaran hukum acara pidana yang serius,” kata Nelson.
Ia menegaskan orang-orang yang diduga terlibat kejahatan memiliki hak untuk ditangkap dan dibawa ke muka persidangan dan mendapatkan peradilan yang adil (fair trial), guna membuktikan bahwa apakah tuduhan yang disampaikan oleh negara adalah benar. Hak-hak tersebut tidak akan terpenuhi apabila para tersangka ‘dihilangkan nyawanya’ sebelum proses peradilan dapat dimulai.
Koalisi tidak menampik bahwa anggota kepolisian juga harus dilindungi dalam kondisi yang membahayakan nyawanya. Namun mereka mendesak agar informasinya dibuka terkait apakah petugas di lapangan benar-benar telah memenuhi semua unsur dalam aturan, untuk melakukan tindakan penembakan anggota FPI.
“Koalisi khawatir tindakan brutal dan melanggar seperti ini tidak mendapatkan sanksi. Selama ini hampir tak ada penegakan hukum sungguh-sungguh terhadap tindakan extrajudicial killing yang diduga kuat oleh aparat,” kata koalisi.
“Terakhir kami juga mendesak agar Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) memberikan perlindungan terhadap saksi, yang keterangannya sangat diperlukan untuk membuat terang perkara ini,” kata mereka.
Adapun Koalisi Masyarakat Sipil ini terdiri dari sejumlah lembaga, mulai dari LBH Jakarta, YLBHI, ICJR, IJRS, HRWG, Institut Perempuan, LBH Masyarakat, LeIP, KontraS, SETARA Institute, PSHK, ELSAM, Amnesty International Indonesia, Public Virtue Institute, PBHI, PIL-Net, ICEL, Asosiasi LBH APIK Indonesia, Imparsial, dan LBH Pers.
[ad_2]
Sumber Berita