TEMPO — Catatan Pinggir Rocky Gerung: Barkoholic, #Majalah Matra
Kambing mengembik, kucing mengeong, anjing menyalak. Dan, manusia berpolitik.
Tetapi, politik manusia acap kali mengikuti naluri binatang: mondar-mandir mengembik, mengeong-ngeong mencari makan, lalu menyalak tanpa sebab.
Lalu, apa beda binatang dan politisi?
Anjing yang sering menyalak disebut anjing galak. Tetapi, anjing yang suka menyalak tanpa sebab adalah anjing gila. Karena itu, politisi yang sering asal menyalak, boleh disebut mengidap barkoholic, alias kecanduan menyalak seperti anjing gila.
Namun, tentu saja bukan itu yang dimaksud dengan istilah zoon politikon.
Manusia bukanlah binatang politik dalam arti berpolitik seperti binatang (cakar-cakaran kayak kucing).
Terjemahan yang benar adalah bahwa manusia merupakan binatang yang berpolitik. Kata kuncinya adalah pada kata “yang” itu. Artinya, politiklah yang membedakan manusia dari binatang.
Dengan kata lain, politik merupakan kualitas yang hanya dimiliki oleh manusia.
Tujuannya adalah untuk mengatur kehidupan berjalan baik. Jadi, politik pada dasarnya adalah pilihan bijak manusia, justru untuk menundukkan sifat-sifat kebinatangan.
Politik adalah peralatan untuk mencegah manusia menjadi homo homini lupus, alias saling memangsa seperti serigala lapar yang berkelahi.
Jadi, sejak awal konsep zoon politikon itu memang dimaksudkan untuk mendefinisikan perilaku manusia yang etis dan berakal budi.
BACA JUGA: Jokowi Berkomentar Singkat, “Jangan Dilawan. Biarkan Saja“
Hanya dengan etika dan akal budilah kehidupan dapat dipelihara. Suatu tatanan masyarakat yang adil dan teratur –suatu civic order – hanya mungkin tercipta oleh transaksi akal sehat manusia.
Itulah sebabnya, politik pertama-tama adalah penggunaan akal sehat. Binatang, sebaliknya, mempertahankan aturan atas dasar kekuatan. Si kuat pasti memangsa si lemah.
Itulah sebabnya dalam politik binatang, argumentasi tidak diperlukan.
Aturan dalam politik binatang tidak dihasilkan oleh transaksi akal, melainkan oleh kepentingan insting sesaat. Begitu persis alam mengaturnya, sehingga binatang tidak perlu lagi belajar tentang norma dan hukum.
***
Manusia adalah makhluk yang sengaja keluar dari aturan alam, lalu masuk dalam aturan sosial. Inilah sesungguhnya makna dari zoon politikon itu, yaitu sebagai makhluk sosial, ia memandang sesamanya sebagai cermin bagi dirinya.
Dari cermin itu, ia belajar tentang dirinya sendiri. Pengalaman orang lain merupakan bagian dari pengalamannya juga. Penderitaan orang lain menyadarkan dia tentang pentingnya keadilan.
Perselisihan mendorong mereka membuat hukum dan memanggil hakim. Semua itu adalah hasil pikiran akal sehat.
Jadi, bukan perselisihan yang membedakan manusia dengan binatang, melainkan cara menyelesaikannya.
Toleransi adalah sebuah konsekuensi dari kehidupan sosial itu. Bukan saja karena beragamnya keyakinan dan pilihan hidup orang, melainkan juga karena tidak seorang pun dapat menjadi hakim untuk orang lain.
Toleransi adalah kualitas yang juga membedakan manusia dari binatang. Toleransi merupakan hasil dari situasi sosial, hasil dari kesepakatan sosial. Karena itu, toleransi memerlukan proses belajar.
Perselisihan pikiran yang tidak dapat diselesaikan, haruslah diterima sebagai dua kebenaran. Keyakinan yang kurang meyakinkan tidak boleh dipaksakan melalui kekerasan. Karena itu, sama seperti selera, banyak hal yang harus dibiarkan berbeda.
Itu namanya toleransi. Dan, toleransi hanya dapat hidup dalam masyarakat yang terbuka. Artinya, tidak boleh terdapat suatu nilai absolut yang menguasai kehidupan umum.
Nilai absolut boleh saja dipelihara secara absolut oleh setiap orang. Tetapi, hak untuk menolak nilai itu juga harus dihargai secara absolut. Dengan cara ini ruang hidup sosial dijamin terus terbuka untuk semua nilai dan pandangan hidup.
Itulah esensi kehidupan sosial. Itulah konsekuensi mempertahankan sebuah civic order. Jadi, keluar dari kehidupan alamiah dan masuk dalam kehidupan sosial tidak lain berarti tanggung jawab untuk merawat suasana toleran.
Saudara kembar dari toleransi adalah konstitusi. Semua orang saling terikat satu sama lain hanya melalui konstitusi, dan semua orang hanya diukur dalam jarak yang sama terhadap konstitusi. Karena itu, konstitusi merupakan pegangan bersama dalam memelihara civic order itu.
Konstitusi adalah kontrak bisnis yang disepakati bersama oleh seluruh masyarakat. Apa yang boleh dan tidak boleh dalam kehidupan publik, hanya dapat ditentukan melalui teks konstitusi, dan aturan-aturan hukum yang dibuat bersama. Begitulah negara hukum diselenggarakan.
***
Para politisi adalah orang yang dipilih memimpin rakyat karena keahliannya dalam menjaga konstitusi dan merawat toleransi. Karena itu, di dalam konsepnya yang mulia sebagai zoon politikon, para politisi adalah makhluk yang amat agung.
Dia berdiri di puncak kehidupan publik sebagai mercusuar seluruh rakyat. Dia memberi arah pada lalu lintas politik sehingga keteraturan, kedamaian, dan keadilan dapat selalu terjamin.
Itu idealnya. Sialnya, perilaku para politisi justru berseberangan dengan fatwa yang harus mereka pegang teguh. Bukannya diam berpikir dan keras bekerja untuk menyejahterakan rakyat, mereka lebih suka cakar-cakaran dan menyalak-nyalak tanpa sebab.
Barkoholic Adalah Perilaku Menyimpang Para Politisi.
Semacam sisa-sisa kebinatangan yang gagal larut dalam kimia konstitusi dan toleransi. Seperti anjing yang menyalak minta perhatian, ia tidak peduli dengan ketenangan lingkungan yang disepakati seluruh kampung.
Sesungguhnya, para politisi yang mengidap barkoholic itu tidak cocok dengan suasana civic order, karena mereka masih hidup dalam keadaan alamiah.
Mereka belum pindah ke kehidupan sosial. Mereka mungkin salah memilih profesi, atau salah mengerti profesinya. Yang pasti mereka bukan trend setter demokrasi.
Tentu saja barkoholic itu ada penyebabnya. Namun sesungguhnya, janganlah kita buru-buru menyalahkan binatang, seolah-olah para binatanglah yang memberi inspirasi pada para politisi.
Ini adalah pandangan speciesism, semacam sikap rasis antarmakhluk.
Perilaku binatang memang sudah pas dengan tuntutan lingkungannya. Tidak ada masalah dengan ekosistem bila anjing mengejar kucing dan kucing mengejar tikus.
Dan, seandainya pun seekor anjing gila berhasil menggigit seorang politisi, itu bukan alasan bagi si politisi untuk bertindak barkoholic.
Demikian juga bila seorang politisi berhasil menggigit seekor anjing waras, jangan berharap si anjing akan berperilaku sesuai konstitusi buatan si politisi.
Anjing dan politisi memiliki tempatnya masing-masing dalam ekosistem sosial. Begitulah misalnya, kebiasaan para politisi mencari kambing hitam, sama sekali tidak diturunkan secara genetis dari seekor kambing berwarna hitam, sekali pun teknologi kloning memungkinkannya di suatu waktu nanti.
Karena itu, sekali lagi, janganlah cepat-cepat menyalahkan binatang.
Dalam tradisi Mesir Kuno, kucing adalah makhluk suci. Sebab itu, bila ia mati, tubuhnya akan dibalsem seperti tubuh seorang Firaun. Dan, anjing merupakan makhluk yang setia. Karena itu, ia boleh ikut ke Nirwana bersama Judhistira, dalam cerita Mahabharata.
Jadi, dari mana sesungguhnya tabiat barkoholic itu dipelajari oleh para politisi?
Mereka yang percaya pada ilmu klenik mungkin punya teori yang ampuh untuk menjelaskan soal ini.
Semacam animal spirit yang menyusup ke dalam jiwa orang. Atau, kalau mau lebih ilmiah, itulah sisa-sisa evolusi yang tercecer dalam sejarah biologi Darwinisme.
Mereka yang yakin akan reinkarnasi, bahkan boleh berspekulasi lebih jauh.
Yang jelas, para politisi yang suka menyalak-nyalak tanpa arah, bark up the wrong tree, harus segera dikarantina, karena barkoholic itu sangat buruk untuk kesehatan politik kita.
#Penulis adalah pengamat tingkah laku
Jokowi: Jangan Dilawan, Biarkan Saja
- Rocky Gerung Bersama Asri Hadi, Orangnya Jokowi