[ad_1]
Kotim, Gatra.com – Pasar tradisional Sebabi yang berada di kiri-kanan jalan lintas Sampit-Pangkalan Bun itu nampak ramai Minggu pekan lalu. Sangking ramainya, kendaraan orang-orang yang berbelanja tumpah ke badan jalan.
Maklum, ke sinilah orang-orang berbelanja saban hari pasar, termasuk karyawan empat perusahaan perkebunan sawit raksasa yang ada di sekitar Desa Sebabi Kecamatan Telawang Kabupaten Kota Waringin Timur Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng) itu.
“Ini belum seberapa ramainya. Soalnya sejak corona muncul, karyawan tidak boleh keluar dari kebun. Beda kalau sebelum corona, orang berjubel di pasar ini,” cerita Pukka Mangaratua Marpaung saat berbincang dengan Gatra.com di pinggiran pasar itu Sabtu pekan lalu.
Lelaki 54 tahun ini boleh dibilang orang pertama di simpang pasar itu, simpang yang juga pintu masuk ke pemukiman transmigrasi umum yang hanya berjarak sekitar 2 kilometer ke dalam.
Sekitar tahun 1989 kata ayah tiga anak ini, simpang itu masih sangat sepi, jalan lintas yang ada sekarang masih jalan tanah, orang-orang desa pun belum mengenal kelapa sawit.
“Waktu itu sumber pendapatan masyarakat hanya mencari kayu dan emas. Kebetulan ada sebuah daerah, Pantap namanya, sekitar 60 kilometer dari sini. Di sana orang mencari emas,” cerita Pukka.
Tadinya Pukka tinggal di salah satu kaplingan di transmigrasi umum yang kini bernama Desa Sumber Makmur itu.
Lantaran ekonomi di dalam masih morat-marit, dia memberanikan diri membuka kedai kopi di simpang, rumah orang pribumi disana dia sewa.
Lambat laun, kawasan tempat Pukka berjualan mulai ramai, apalagi setelah perusahaan perkebunan PT Sinas Mas membuka lahan untuk perkebunan di daerah itu. Hadirnya Wilmar, PT Sukajadi, dan PT Agro kian membikin ramai.
Suasana ini pun berdampak pada kedai Pukka. Makin hari koceknya makin bengkak. Duit yang ada pun dia belikan tanah.
“Saya enggak pernah kepikiran menanam sawit, masih hanya sekadar investasi. Dulu pasaran tanah di sini masih murah, masih sekitar Rp500 ribu sehektar,” cerita Pukka.
Waktu itu kata Pukka, orang berlomba menjual tanah, bukan dia yang mencari. “Dulu, 200 meter dari jalan ini sudah dibilang orang jauh. Di kampung kami, setengah hari jalan, belum dibilang jauh. Itulah makanya saya punya tanah luas tak jauh dari jalan hitam ini, saya cicil membelinya. Yang jual masyarakat tempatan. Kalau waktu itu uang saya banyak, mungkin separuh wilayah ini sudah milik saya,” panjang lebar Pukka cerita.
Bagi Pukka, tanah tidak akan bertambah, mudah-mudahan nanti ramai, ada harga tanah itu. “Begitulah pikiran saya. Awalnya saya beli 20 hektar, datang lagi yang jual, beli lagi. Pokoknya ada uang, saya beli tanah,” katanya.
Sekitar tahun 2005, orang mulai bertanam sawit meski belum tahu kemana hasil sawit itu nanti akan dijual.”Saya ikut menanam sawit. Bibit saya beli dari Marihat, Sumatera Utara (Sumut). Waktu itu saya masih hanya sekadar menanam, terserahlah siapa yang beli dan berapa harganya nanti,” Pukka tertawa.
Baca juga: Mengulik Nestapa Petani Sawit Hingga ke Sebabi
Yastok Saling Kupang (SK) tak membantah kalau warga pendatang di Sebabi punya tanah hasil membeli dari masyarakat tempatan. “Waktu itu memang banyak yang menjual tanah kepada pendatang,” cerita ayah tiga anak ini kepada Gatra.com.
Lelaki 55 tahun ini kemudian cerita kalau sebenarnya pusat Desa Sebabi berada sekitar 17 kilometer dari pasar tadi mengarah ke Sungai Seranau. Sungai ini berakhir di Sungai Mentayak.
“Lantaran mentok ke sungai, kami akhirnya mengarah ke daerah ini, ke arah jalan raya ini,” katanya.
Yastok sendiri kelahiran Sebabi, turun temurun bersama kakek-neneknya. Dulu desa itu belum menjadi kampung, masih hutan yang sudah dikuasai turun temurun.
Dari dulu kata Yastok, nenek moyangnya sudah berladang berpindah. “Cara seperti itu ciri khas orang Kalimantan. Belakangan kami mulai ikut bertanam sawit. Sebab kami tengok, sawit sangat menjanjikan. Pasar ini ada setelah ada sawit,” katanya.
Wilayah itu mulai ramai, sawit masyarakat tumbuh subur, masalah baru muncul; klaim kawasan hutan.
“Ada oknum mulai datang menyebut kalau kebun kelapa sawit kami berada di kawasan hutan, termasuk pasar ini. Kami bingunglah jadinya. Dari dulu patok tak ada, tak ada tanda-tanda kawasan hutan,” kata Yastok.
Sama seperti Yastok, Pukka juga ikut bingung. Sebab kebunnya juga disebut berada dalam kawasan hutan.
“Jujur kami enggak pernah tahu apa itu kawasan hutan. Waktu saya beli tanah, suratnya ada, tetangga tahu saya yang beli tanah,” katanya.
Sebagai bekas pejabat desa, Yastok protes dengan klaim kawasan hutan itu. “Mestinya masyarakat dikasi sosialisasi, biar tahu, jangan tiba-tiba,” wajahnya mulai kesal.
Apalagi kata lelaki ini, adat Desa Sebabi masih kental, Mantir (tokoh adat desa) ada. Minimal adat dikasi tahu lah, termasuk juga kepala desa.
“Inikan enggak. Dulu orang tua saya tetua adat juganya. Jangankan adat, kepala desa saja enggak pernah tahu soal kawasan hutan itu. Empat kepala desa saya lewati semasa saya jadi Kaur Umum Desa, belum ada sama sekali penataan batas kawasan hutan. Inikan aneh. Beli tanah dua hektar saja musti ditata batas, masa lahan seluas ini tak ditata batas? Kalau hanya mengklaim, itu merampas namanya,” rutuk lelaki yang kini menggantungkan hidup dari kebun kelapa sawit seluas 7 hektar tak jauh dari pasar Sebabi tadi.
Yastok merenung sejenak. Wajahnya nampak serius. “Saya jadi bertanya-tanya ini, kalau kebun perusahaan, bisa sangat luas. Empat perusahaan di sini, total kebunnya mencapai 200 ribu hektar. Lalu kenapa masyarakat yang hanya bikin 2 hektar kebun, dibikin bingung,” Yastok menunjukkan mimik bertanya.
Setahun lalu kata Yastok, ada program Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) di desa itu. Tapi hanya separuh yang kebagian. Sebab setelah yang berwenang mengukur lahan, katanya wilayah itu merah, tak bisa disertifikatkan.
“Sebagai orang kampung, saya hanya bisa berharap kepada Presiden, kiranya mau turun tangan terkait klaim kawasan hutan ini. Kalau tidak, lama kelamaan ini akan menjadi masalah besar. Masa permukiman padat begini dibilang kawasan hutan, yang benar sajalah,” kata Yastok.
Bendahara Majelis Adat Dayak Nasional, DR. Dagut H. Djunas tak heran kalau Desa Sebabi masuk dalam klaim kawasan hutan. “Di Kalteng ini, dari 1560 desa yang ada, sekitar 700 desa masuk dalam klaim kawasan hutan. Lantas dari 700 desa tadi, 93 berada di dalam Kawasan Konservasi Sebangau,” katanya kepada Gatra.com di Palangkaraya.
Anehnya kata lelaki 56 tahun ini, 285 desa sudah tak berhutan lagi. “Sudah dijejali oleh kebun kelapa sawit ‘ilegal’,” kata Ketua Kerukunan Masyarakat Adat Nusantara Kalimantan Tengah (Kalteng) ini.
Mestinya kata ayah 3 anak ini, otoritas kehutanan tidak asal klaim begitu saja. Ada aturan main yang musti dipatuhi. “Bahwa penataan batas untuk memisahkan antara hak pihak ketiga dan Negara, itu mutlak. Tapi itu tidak dilakukan. Yang ada hanya klaim sepihak,” rutuknya.
Abdul Aziz
Editor: Abdul Aziz
[ad_2]
Sumber Berita