TEMPOSIANA.com — Anwar Usman dan “Kotak Pandora” Demokrasi: Diam yang Mengguncang
Dalam dunia politik, terkadang yang paling nyaring bukanlah suara, melainkan keheningan. Itulah yang kini menyelimuti Anwar Usman, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), sosok yang namanya kembali mencuat setelah memberikan pernyataan singkat namun menggetarkan: “Saya belum ada komentar. Nanti deh ya kapan, biarin aja dulu, saya cooling down yah.”
Pernyataan itu dilontarkan Anwar saat ditanya wartawan mengenai wacana pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, yang diusulkan oleh Forum Purnawirawan Prajurit TNI.
Anwar Usman tidak berbicara banyak, namun gesturnya telah cukup membentuk badai. Frasa “kotak pandora” bukan sekadar metafora.
Seolah menyiratkan bahwa di balik putusan MK itu ada rahasia yang selama ini ditutup rapat, mungkin dengan tekanan, mungkin dengan kompromi.
Dan kini, kunci dari kotak itu berada di tangan Anwar sendiri—tokoh yang dicopot dari jabatannya, namun masih menyimpan kredibilitas dan informasi yang bisa mengguncang bangunan kekuasaan.
Pernyataan itu muncul di tengah memanasnya wacana pemakzulan Gibran. Forum Purnawirawan TNI menuding keputusan MK telah melanggar hukum acara dan Undang-undang Kekuasaan Kehakiman.
Mereka meminta MPR mengganti Wapres, dan ini bukan sekadar tuntutan teknis—ini adalah sinyal politik yang dalam: ketidakpuasan terhadap legitimasi kekuasaan yang kini memerintah.
Namun tak semua setuju. Di sisi lain, Persatuan Purnawirawan TNI-Polri, yang berisi tokoh-tokoh besar seperti Agum Gumelar dan Wiranto, justru menyatakan dukungan penuh terhadap duet Prabowo-Gibran.
Terbelahnya suara purnawirawan mencerminkan fragmentasi elite lama, yang dulunya menjadi fondasi kestabilan nasional.
Anwar Usman: Tumbal atau Saksi Kunci?
Nama Anwar Usman sejak awal sudah menjadi pusat pusaran kontroversi. Ia dianggap memiliki konflik kepentingan saat memimpin sidang yang membuka peluang politik bagi Gibran.
Kritik datang dari berbagai arah, hingga akhirnya ia dicopot dari jabatan Ketua MK oleh Majelis Kehormatan. Tapi pemecatan itu belum meredakan kegelisahan publik. Justru memperkuat asumsi bahwa ada sesuatu yang belum selesai.
Kini, Anwar berada dalam posisi unik: di luar sistem, tapi masih memiliki kunci untuk membuka cerita yang tersembunyi di balik lembaran putusan hukum.
Jika ia bicara, akan ada gelombang baru. Jika tidak, ia tetap menjadi simbol dari apa yang tidak diucapkan—dan mungkin lebih ditakuti.
Menanti Dentuman Palu yang Belum Dijatuhkan
Sementara itu, Presiden Joko Widodo memilih diam. Sebuah keheningan yang terasa bukan sebagai ketidakpedulian, melainkan pertahanan. Ia tahu benar betapa dalam luka yang bisa menganga jika “kotak pandora” benar-benar dibuka. Karena yang dipertaruhkan bukan hanya masa depan Gibran, melainkan juga warisan politiknya sendiri.
Lalu, akankah Anwar bicara?
Jawabannya masih tersimpan dalam kalkulasi politik yang rumit. Tapi satu hal pasti: dalam setiap pernyataan yang ditunda, publik membaca potensi pengakuan.
Dalam setiap senyuman yang dilemparkan ke wartawan, tersirat kemungkinan ledakan wacana. Dan dalam setiap diam, terkandung bayang-bayang keputusan besar.
Kotak itu kini menggantung di atas kepala demokrasi Indonesia. Tidak terkunci. Tidak pula terbuka. Ia menunggu momen. Dan Anwar Usman, suka tidak suka, kini menjadi penjaga kuncinya.