#  

Aceh Dan Sumut Butuh Pionir

Aceh dan Sumut Butuh Pionir

[ad_1]

Catatan dari tepi sungai oleh Egy Massadiah

Jangan biarkan Doni Monardo berpapasan dengan persoalan lingkungan. Spontan ia akan berhenti, mencermati akar masalahnya dan dengan sungguh-sungguh mencarikan solusinya. Ruh nya, sebuah penyelesaian berbasis alam.

 

Itu pula yang terjadi pekan lalu, saat Doni meninjau banjir bandang di Lhokseumawe, Naggroe Aceh Darussalam dan Tebing Tinggi, Sumatera Utara (10 – 11 Desember 2020).

Doni melihat dari dekat kondisi Sungai Krueng Keureuto dan Krueng Peuto yang meluapkan airnya hingga merendam 50 gampong (dari 75 gampong) di Aceh Utara.

Kembali dari lapangan, Doni menggelar rapat darurat di ruang tunggu bandara Malikussaleh, Lhokseumawe. Bupati Aceh Utara, Aceh Selatan, Bener Meriah sudah hadir. Rapat dipandu Danrem 011/LW Kolonel Inf Sumirating Baskoro. Satu per satu bupati menyampaikan paparan singkat.

Doni merekam dengan baik semua laporan; angka korban, jumlah kerugian, dan sumber masalah, serta usulan solusi yang ditawarkan. Baik solusi jangka pendek yang bersifat penanganan situasi darurat pasca bencana, jangka menengah, maupun jangka panjang.

Setelah mengantongi persoalan, dan menyampaikan garis besar kebijakannya, Doni Monardo dan rombongan melanjutkan peninjauan ke Sumatera Utara. Pesawat CN-295 TNI-AU mendarat mulus di Pangkalan Udara Soewondo, Polonia Medan, lepas maghrib.

Malam itu, Doni melakukan rapat koordinasi bersama Gubernur Sumatera Utara Edy Rachmayadi dan jajarannya. Esok pagi, Jumat (11/12/2020) barulah meninjau lokasi bencana banjir bandang di Tebing Tinggi. Gubernur Edy turut serta. Jarak 78 km ditempuh kurang dari dua jam, melewati rute Tol Medan – Kualanamu – Tebing Tinggi.

Seperti halnya di Aceh, di Tebing Tinggi pun Doni melewati medan berlumpur sisa-sisa genangan, melihat dari dekat kondisi Sungai Padang, yang telah meluapkan air bah, menggenangi ribuan rumah, serta mengakibatkan ratusan warga mengungsi.

Batalyon Dapur Umum

Sebuah pemandangan menarik, saat rombongan mengunjungi Markas Batalyon Arhanudse 11 BS Batrai Tempur Tanjung Anom, Kabupaten Deli Serdang. Tidak ada parade, tidak ada upacara, tapi hari itu semua peralatan batalyon dikeluarkan dari kandangnya.

Tampak antara lain rudal RBS-70, Meriam Bofors L/70 40mm, Meriam S-60 57mm, Rheinmetal 20mm, DShK kaliber 12,7mm, Giant Bow 23mm, dijajarkan di halaman markas batalyon. Sementara, “garasi” meriam justru disulap menjadi dapur umum serta keperluan pengungsi korban banjir yang ada di sekitar markas.

Di “dapur”, sejumlah prajurit dibantu ibu-ibu Persit tengah menyiapkan menu makan siang. Ada sayur sawi, tahu, ayam goreng, dan lain-lain. Dengan semangat dan ceria, mereka melakukan semua pekerjaan pemenuhan logistik bagi para korban banjir. Sesuai porsinya, sesuai pula gizinya.

Doni pun masuk ke sana, dan menyapa mereka. Doni berpesan pada Gubernur untuk memisahkan pengungsi antara yang tua dan muda, serta wanita hamil. Hal ini untuk menjaga dan mengurangi risiko terpapar Covid-19.

Problem Klasik

Terik makin menyengat. Rombongan bergeser ke Rumah Dinas Walikota Tebing Tinggi. Agenda diisi penyerahan bantuan secara simbolis. Sebelumnya, di ruang tamu rumah dinas walikota, sempat digelar pertemuan. Selain Walikota Tebing Tinggi, hadir sejumlah kepala daerah sekitar yang juga terdampak banjir.

Walikota Tebing Tinggi, H. Umar Zunaidi Hasibuan melaporkan problem banjir di daerahnya. Ia tak kuasa menahan air mata, ketika mengulang kisah pilu yang dialami warganya. Rencana transaksi panen ikan senilai Rp 300 juta sirna gara-gara musibah banjir.

Investor yang dengan susah payah ia tarik pun menderita kerugian, dan terancam hengkang. Ia sungguh-sungguh meminta perhatian pemerintah pusat untuk memberikan solusi permanen atas musibah berulang di daerahnya. Jika tidak, maka sia-sia saja semua usaha menyejahterakan rakyat melalui aneka program pembangunan selama ini.

Laporan bernada sama disampaikan perwakilan Kabupaten Deli Serdang. Problem banjir dari tahun ke tahun selalu sama, yakni meluapnya Sungai Padang. Sementara, penyelesaian masalah sungai dari hulu hingga hilir, begitu rumit dan melibatkan banyak institusi dan lembaga pemerintah. Lintas kementerian, lintas badan.

Gubernur Edy Rachmayadi menggarisbawahi laporan walikota dan bupati. Satu kalimat yang kemudian meluncur dari Gubernur Edy adalah, “Saya melihat sepak terjang pak Doni di Citarum. Saya memantau terus perkembangan Citarum. Bisakan Pak Doni membawa program itu ke Sungai Padang?”

Role Model Citarum

Pada kesempatan itu, Doni pun memutar slide paparan kurang lebih 10 menit. Isinya adalah program Citarum Harum. Ia mengawali kisah dengan berita duka wafatnya Kolonel CKM Is Prijadi, Sp.OG sebagai salah satu orang yang punya jasa besar terhadap program yang ia gulirkan saat menjabat Pangdam III/Siliwangi (2017-2018).

Is Prijadi, dalam kapasitas sebagai Ka Kesdam saat itu, ditugasi Doni meneliti tingkat pencemaran yang ada di Citarum. Sungai yang saat itu mendapat predikat “terkotor di dunia”. Apa boleh buat, hasil penelitian serta uji lab memang menunjukkan hal itu.

Semua limbah dan unsur-unsur bakteri berbahaya ada di Citarum. Mulai dari merkuri, e-coli, pseudomonas aeruginosa, dan lain-lain. Volume tinja manusia yang masuk ke Sungai Citarum adalah 35,5 ton per hari. Sementara, kotoran ternak yang masuk ke Citarum 56 ton per hari.

Bagaimana dengan sampah? Tak kurang dari 20,462 ton sampah per hari masuk ke sungai Citarum. Dari jumlah itu, sebanyak 71 persen tidak terangkut. Belum lagi limbah medis. Tim Survey Kodam Siliwangi bahkan menemukan kantong darah HIV/AIDS, potongan organ bagian dalam tubuh manusia, alat medis bekas pakai, dan lain-lain.

Kondisi itu diperparah dengan adanya 1.900 industri penghasil limbah dan membuangnya ke Citarum. Dari jumlah itu, 90 persen di antaranya belum memenuhi standar IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah). Data itu valid, karena bersumber dari Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Barat. Dokter Is pula yang mengulik data tadi.

Uji lab atas air Citarum dan sungai anakannya, menemukan kandungan besi (fe), Mangan (Mn), Zat Organik, dan kekeruhan. Logam berat itu berdampak, antara lain pada gangguan otak dan syaraf, kanker jantung, kanker pembuluh darah, dan kecacatan reproduksi. Itu pula yang mengakibatkan banyak anak-anak autis serta bertambahnya penderita kanker.

Singkat kalimat, program itu pun diakomodir Presiden Joko Widodo. Tepat 15 Maret 2018, terbitlah Perpres No. 15 tahun 2018 tentang Percepatan Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Daerah Aliran Sungai Citarum.

Kini, bocah bocah kecil sudah bisa berenang di Sungai Citarum. Bukan hanya itu saja, Doni juga menunjukkan “keajaiban” lain, bahwa di hulu Citarum, ikan-ikan sudah bermunculan.

Rakor Sungai

Di sela-sela rapat darurat di Tebingtinggi, Doni Monardo mengulang solusi yang ia sampaikan sehari sebelumnya di Aceh. Bahwa pembangunan infrastruktur sungai, sekuat dan secanggih apa pun, tidak menjamin “kebal” dari hantaman bencana alam. Harus merupakan kombinasi infrastruktur buatan manusia dan infrastruktur alam (tanaman dan pohon).

Doni pun mengambil contoh pembangunan tanggul penahan tsunami di Sendai, Jepang yang menelan biaya triliunan rupiah, jika dirupiahkan. Masyarakat merasa aman, sampai akhirnya tembok itu pun jebol ketika dihantam tsunami dahsyat tahun 2011.

Kembali Doni Monardo menyebut tanaman akar wangi (vetiver) sebagai solusi menahan langsor, bahkan mencegah sedimentasi sungai.

Sejurus kemudian, Doni menengok ke arah Plt Deputi III BNPB, Dody Ruswandi, dan mengingatkan segera mengatur rapat dengan para pemangku kepentingan terkait sungai, baik yang ada di Kementerian PUPR, Kementerian KLH, Badan Otorita Daerah Aliran Sungai, dan lain-lain.

Sungai di Indonesia mengalami problematika akut, yakni rumitnya mata rantai koordinasi penanganan dan tanggung jawab, mulai dari tingkat pusat sampai ke daerah.

Dody Ruswandi pun bergerak cepat. Alhasil, Senin (14/12/2020) malam pun digelar Rakor Sungai secara virtual. Lebih dari 53 peserta rapat dari berbagai instansi, tekun mengikuti rapat virtual, dan mendengarkan paparan dari berbagai pihak, baik dari para kepala daerah, maupun perwakilan kementerian lembaga serta unsur TNI-Polri.

Perlu Pionir

Problem klasik yang disampaikan terkait persoalan banjir di Aceh dan Sumatera Utara adalah pendangkalan sungai. Juga kerusakan ekosistem di bagian hulu karena pembalakan liar dan kegiatan sejenisnya, tanggul jebol.

Berbagai program jangka pendek pun sudah digulirkan, baik oleh Kementerian PUPR melalui UPT-UPT yang mengurusi persungaian di Aceh dan Sumut, maupun oleh instansi lain, termasuk instansi militer yang ada di bawah komando Kodam Iskandar Muda dan Kodam Bukit Barisan.

Dari sekitar 10 narasumber yang memberikan materi paparan di daerah masing-masing, ada yang menarik, yakni tampilnya “tiga pahlawan” Citarum Harum. Mereka adalah Yuhan Subrata, Kolonel Yusep Sudrajat dan Brigjen (Purn) Yudi Zanibar. Ketiganya pelaku langsung program Citarum Harum.

Selama tiga tahun (dari waktu 7 tahun yang diberikan Perpres), sudah banyak perubahan signifikan di Citarum. Baik di hulu, di tengah, maupun di hilir. Yang lebih utama, keberhasilan itu berkat partisipasi masyarakat.

Saat memberi arahan di penghujung rapat, Letjen TNI Doni Monardo menyitir paparan tentang program Citarum Harum. Hal penting yang disampaikan Doni dalam arahannya adalah perlunya pionir.

Dibutuhkan pionir di Aceh maupun di Sumatera Utara untuk menggerakkan seluruh kegiatan. Utamanya untuk mengajak masyarakat berpartisipasi aktif.

“Saya ingatkan, setiap program yang berhubungan dengan lingkungan janganlah dianggap sebagai proyek. Ketika ada pikiran bahwa ini proyek, saya nyatakan pasti akan gagal. Kita harus bekerja atas dasar nurani dan hati yang ikhlas,” ujar Doni.

Bicara lingkungan, ekosistem, lingkungan hidup adalah bicara tentang kemanusiaan. Bila tidak mampu menggugah semangat kemanusiaan masyarakat, sehebat apa pun programnya, tidak akan pernah berhasil.

Doni bicara begini bukan karena menjabat Kepala BNPB, tapi karena memang sudah bekerja untuk lingkungan sejak tahun 2000 an, saat masih pangkat letnan kolonel.

Dari pengalaman panjang itulah, Doni menyimpulkan bahwa kekuatan merawat lingkungan tidak melulu pada sumber daya anggaran. Sebab, ia menyaksikan sendiri, ada begitu banyak sumber daya anggaran, ternyata gagal karena tidak dilandasi niat yang tulus dalam pelaksanaannya.

“Yang tak kalah penting, gunakan riset. Kami di BNPB siap mendukung dan membantu setiap upaya mengurangi risiko bencana. Tapi dukungan pusat tidak akan berarti apa-apa kalau pemerintah daerah tidak ikut menggerakkan masyarakat untuk berpartisipasi,” papar Doni.

Jangka pendek, problem Aceh dan Sumut yang harus segera dilakukan adalah normalisasi di muara sungai. “Saya merasa aneh, mendengar sudah terjadi pendangkalan sekian lama tapi tidak dilakukan upaya normalisasi. Bagaimana genangan cepat surut kalau muaranya dangkal. Dan itu saya lihat sendiri, adanya pendangkalan di muara serta penyempitan sungai,” kata Doni.

Berikutnya, Doni setuju mengenai pembangunan dan mengembalian fungsi tanggul. Ditambah, penanaman vetiver. Dari beberapa tanggul yang dilihat, termasuk tanggul yang jebol, Doni memprihatinkan ihwal kekuatan bangunan tanggul yang ada.

Menurut Doni, tanggul-tanggul itu dibangun seadanya. Seperti tidak ada niat untuk membangun tanggul yang kokoh.

“Sekali lagi saya minta maaf. Saya melihat adanya material sampah di konstruksi tanggul. Selain itu, tidak ada upaya penanaman vetiver. Selama tidak ada kekuatan tanggul yang dipadukan dengan tanaman, maka tanggul-tanggul itu tidak akan bertahan lama. Apalagi jika dibangun dengan kualitas rendah,” tegas Doni.

Doni mengenang, saat itu setiap hari ia melakukan rapat membahas Citarum tiga sampai empat kali. Ada kalanya sampai larut malam. Tidak ada tanggal merah, semua tanggalan hitam. Kerja spartan, kerja sungguh-sungguh membantu masyarakat.

Doni memerintahkan prajurit Siliwangi tidur dan hidup bersama masyarakat. Tujuannya, tidak semata-mata menjadi pengawas, tetapi yang jauh lebih penting adalah ikut mendorong terjadinya perubahan perilaku di tengah masyarakat. Sebab, salah satu kata kunci keberhasilan penanganan lingkungan adalah perubahan perilaku masyarakat.

Terakhir, Doni kembali mengingatkan pentingnya survei atau riset di hulu, tengah, dan hilir. Libatkan semua lembaga survey yang berkepentingan. Sebab, setiap persoalan laten dan permanen seperti banjir dan longsor, maka solusinya pun harus permanen.

Memperbaiki ekosistem tidak cukup dengan kerja setahun-dua-tahun, melainkan bertahun-tahun.

“Belum tentu semua yang dikerjakan di Citarum bisa diterapkan di Aceh dan Sumatera Utara. Setidaknya, ada beberapa hal yang bisa menjadi inspirasi,” katanya.

Doni percaya, kerja ikhlas semua pihak, niscaya persoalan sungai-sungai penyebab banjir dan longsor di Aceh dan Sumatera Utara bisa terselesaikan. “Sekali lagi, kita perlu pionir,” pungkas Doni Monardo.

[ad_2]

Sumber Berita

Exit mobile version