[ad_1]
Jakarta, Gatra.com – Uni Eropa (UE). Sebenarnya cuma organisasi antar pemerintah beranggotakan 27 negara eropa, mirip Asosiasi Pemerintah Provinsi di Indonesia lah.
Tapi, walau cuma organisasi, kumpulan negara ini punya lembaga birokrasi yang efektif, kemampuan menyusun dan implementasi peraturannya pun ketat.
Eloknya, kepatuhan masyarakat UE menjalankan peraturan, luar biasa. Gara-gara itulah kemudian UE berhasil menciptakan single market dengan pasar besar; 516 juta populasi.
Gross Domestic Product (GDP) pun menjadi yang terbesar kedua dunia, mencapai USD17 triliun. UE juga menjadi importir kedua terbesar di dunia.
Negara lain yang berminat mengakses pasarnya, harus ikut aturan UE; global norm setting dan global regulatory power.
Uni Eropa juga mengenal mata uang Euro yang saat ini menjadi mata uang cadangan terbesar kedua setelah Dolar Amerika.
Lingkungan menjadi ‘dagangan’ yang paling ampuh di UE, sampai-sampai muncul pemahaman bahwa lingkungan adalah ‘keyakinan’ kedua.
Maka tak aneh kalau sempat Parpol di sana tak mengusung agenda hijau, siap-siaplah partai itu ditinggal konstituennya.
Belakangan, UE ingin emisi Gas Rumah Kaca (GRK) nya ‘0’. Artinya, yang keluar dan yang masuk, sama.
Aturan main pun dibikin biar mengikat semua negara UE, namanya; UE Climate Law. Oleh aturan ini, UE ingin reduksi emisi pada 2030 55%.
Biar misi itu kesampaian, ada sekitar 26 kebijakan yang dibikin. Paham hijau jadi life style yang didukung pula oleh pasar dan konstituen eropa.
Di aturan main negara super kuat inilah kemudian kelapa sawit (Palm Oil) diobok-obok. Pada Renewable Energy Directive (RED) II yang dikeluarkan UE pada 2018, ada disebut bahwa vegetable oil yang merubah hutan, masuk dalam kategori high-ILUC-risk. Sawit pun dianggap masuk kategori ini.
Lewat aturan itu, biodiesel berbahan sawit akan di-phase out-kan secara gradual di pasar Eropa dari 31 Desember 2023 hingga menjadi 0% pada 31 Desember 2030!
Paling lambat Juni tahun ini, semua anggota UE sudah menerapkan elemen RED II itu dalam sistim hukum nasional negara masing-masing.
Indonesia tak terima dengan aturan yang tak berdasar itu. Dibilang tak berdasar lantaran sampai sekarang tak ada hasil riset autentik yang bisa disodorkan oleh UE, demi memperkuat tudingannya itu.
Alhasil, aturan itu digugat. First substantive meeting sudah digelar 26-30 April 2021. Alhamdulillah, Indonesia didukung oleh Brazil, Equador, Colombia dan Malaysia.
Celakanya, walau aturan main tadi baru berlaku Desember 2023, sejumlah negara UE justru sudah lebih cepat mem-phasing out biofuel sawit dari ketentuan RED II.
Katakanlah Belgia pada 2022, Jerman akan 0% di tahun 2026, Denmark Oktober 2020, Prancis Januari 2020 dan menargetkan 0% 2026 dan Italia 2023.
Indonesia pun makin marah. “Kita protes keras, saya datangi Ketua Parlemen Belgia. Saya bilang, EU saja memberlakukan aturan itu tahun 2023, kenapa Anda justru 2022? Kami sampai berdebat. Saya bilang, ini gugatan sedang berproses di WTO, kalau ILUC RED kalah, aturan kalian itu mau dikemanakan?” cerita Duta Besar Indonesia untuk Kerajaan Belgia, Kadipaten Agung Luksemburg, dan Uni Eropa, Andri Hadi, tadi sore.
Sengaja ayah tiga anak ini didapuk jadi pembicara pada Palm O’Corner diselenggarakan oleh PASPI X HIMATEK ITB dengan tema “Sawit sebagai Tambang Energi Berkelanjutan”.
Yang unik itu kata doktor hukum internasional jebolan Universitas Padjajaran Bandung ini, yang mau diphase out itu justru cuma sawit untuk bahan baku biodiesel.
Sementara demand terhadap sawit untuk consumer product, justru naik. Pada tahun lalu misalnya mencapai 2.545 juta ton dari sebelumnya 1.982 juta ton.
“Ini terjadi lantaran UE belum bisa mencari alternatif lain,” ujar Andri. Lho…
[ad_2]
Sumber Berita