Anang Iskandar Mantan Kepala BNN dan Bareskrim Polri, Ia Bicara Hakim Kena Narkoba

Anang mendapat Matra Award atas komitmennya cegah narkoba

TEMPO — Biasa menyidangkan kasus narkoba, dua hakim Pengadilan Negeri (PN) Rangkasbitung, Banten justru mempermalukan diri, keluarga dan institusi mereka setelah ditangkap aparat Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) Banten atas dugaan penyalahgunaan benda haram itu.

Kedua hakim ditangkap dengan barang bukti yang disita sabu-sabu seberat 20,634 gram. YR dan DA  dijerat Pasal 114 dan Pasal 112 ayat (2) JO Pasal 132 ayat (1) UU RU No 35 Tahun 2009 tentang narkotika.

Selain itu juga Pasal 112 ayat (2) dan Pasal 127 ayat (1) huruf (a) JO Pasal 132 ayat (1) UU RI No 35 tahun 2009 tentang narkotika.

“Kami mengapresiasi BNNP Banten yang menangkap tiga ASN, yang dua diantaranya adalah hakim di PN Rangkasbitung,” kata Anang Iskandar, yang kemudian menyebut narkoba menyasar siapa saja, para korbannya berbagai strata sosial mulai pelajar, mahasiswa, masyarakat hingga aparatur sipil negara (ASN).

Ahli hukum narkotika mantan KA BNN ini malah menulis kolom di Hariankami.com tentang UU narkotika adalah UU super khusus, MA wajib menghukum rehabilitasi penyalah guna.

Untuk jelasnya, berikut petikan wawancara dengan Anang Iskandar dengan S.S Budi Raharjo MM, jurnalis yang juga seorang aktivis anti narkoba.

Anda menyebut, tertangkapnya hakim YR dan DA cs semoga menjadi momentum bagi hakim lingkungan MA untuk menerapkan hukuman rehabilitasi?

Ya, agar tak terjadi kekeliruan dalam menerapkan pasal UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika yang bersifat super khusus.

Anda mengkritik, ketidakcermatan proses peradilan perkara penyalahgunaan narkotika menyebabkan penyalah guna dijatuhi hukuman penjara?

Benar, karena selama ini proses pengadilan perkara narkotika, selalu menggunakan dakwaan secara berlapis secara komulatif atau subsidiaritas, artinya penyalah guna didakwa sebagai pengedar dan penyalah guna, padahal terbukti secara sah dan menyakinkan hanya sebagai penyalah guna melanggar pasal 127/1 tetapi hakim menjatuhkan hukuman penjara.

Hukuman penjara yang dijatuhkan hakim ini bertentangan dengan tujuan penegakan hukum (pasal 4 cd). Ini saya kritik sejak saya jadi KA BNN

Kalau dicermati perkara penyalah guna termasuk perkara hakim YR dan DA cs , perkara yang dialami Nia Rahmadani cs adalah perkara penyalahgunaan narkotika bagi diri sendiri.

Bila pelaku perkara penyalahgunaan narkotika tersebut divisum et repertum atau diassesmen secara benar maka dapat dipastikan bahwa mereka adalah pecandu (penyalah guna dalam keadaan ketergantungan) yang secara hakim wajib menggunakan kewenangan pasal 103.

Bagaimana jika di mereka ditemukan bukti lain atau dapat dibuktikan kalau mereka terlibat sebagai pengedar atau menjadi anggota sindikat peredaran gelap narkotika?

Kalau penyidik atau penuntut umum bisa membuktikan dalam dakwaannya bahwa YR dan DA cs sebagai pengedar. Misalnya mendapatkan bukti bahwa YR dan DA cs mendapatkan keuntungan dari bisnis narkotika atau menjadi anggota sindikat narkotika. Maka, YR dan DA cs dapat diproses dengan dakwaan pidana berlapis dan dijatuhi hukuman secara komulatif, baik hukuman rehabilitasi maupun hukuman penjara.

Jadi, hukumannya bukan penjara saja tapi juga hukuman rehabilitasi agar sembuh?

Tetapi bila tidak ditemukan bukti bahwa YR dan DA cs tidak mendapatkan keuntungan atau rencana keuntungan atau bukti bahwa YR dan DA adalah anggota sindikat narkotika maka YR dan DA cs hanya sebagai pecandu, dalam mengadili perkara yang terdakwanya pecandu maka hakim wajib menjatuhkan hukuman rehabilitasi.

Artinya, hukuman penjara “tidak berlaku bagi pelaku penyalahgunaan narkotika”?

Iya benar, mestinya Nia Rahmadani cs, Rhido Rhoma yang terbukti sebagai penyalah guna bagi diri sendiri (pasal 127/1), hukumannya menjalani rehabilitasi, hukuman penjara tidak berlaku bagi pelaku kejahatan narkotika yang terbukti secara sah sebagai penyalah guna bagi diri sendiri.

 Kenapa?

Karena secara khusus UU narkotika mengatur kewajiban hakim (pasal 127/2) harus menjatuhkan hukuman rehabilitasi berdasarkan kewenangan pasal 103/1 yang diberikan kepada hakim.

Ketidakcermatan proses peradilan dan penjatuhan hukuman perkara narkotika yang pelakunya terbukti sebagai penyalah guna bagi diri sendiri dengan hukuman penjara, jumlahnya mendominasi perkara pidana di pengadilan.

Hal inilah, menyebabkan anomali Lapas di Indonesia?

Benar, sudah sering saya ungkap dan nyatakan, terjadinya over kapasitas lapas, terjadinya kejahatan berulang keluar (masuk penjara) dan menjalarnya kejahatan narkotika sampai ke desa desa.

Komentar Anda terhadap dua hakim yang kena tangkap karena memakai narkoba?

Penangkapan hakim YR dan DA merupakan prestasi BNNP Banten yang telah berhasil menangkap hakim YR dan DA sebagai penyalah guna, bak sebagai pagar makan makan tanaman.

Dalam rangka penegakan hukum terhadap perkara tersebut, khususnya penjatuhan hukumannya harus sesuai dengan tujuan dibuatnya UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika, yang secara ekplisit menyatakan tujuan pencegahan, tujuan pemberantasan, proses peradilan dan penjatuhan hukumannya.

Apa maksud Anda soal UU narkotika adalah UU super khusus?

UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika adalah UU “super khusus” dalam literatur disebut lex superior specialist karena, pertama mengatur secara khusus kejahatan narkotika secara pidana.

Dan juga mengatur secara khusus kejahatan narkotika secara medis dimana tujuan pencegahannya tidak hanya mencegah agar tidak terjadi pelanggaran pidana, tetapi juga melindungi dan penyelamatkan pelaku kejahatannya.

Kedua, mengenai tujuan penegakan hukumnya adalah memberantas peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika; dan menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial bagi penyalah guna dan pecandu.

Ketiga, ancaman pidananya terhadap pelaku kejahatan peredaran gelap narkotika: berupa pidana minimum (pidana pemberatan) dikomulatifkan dengan pidana denda.

Sedang ancaman pidana bagi pelaku kejahatan penyalahgunaan narkotika berupa pidana maksimum saja, tanpa sanksi pidana denda.

Keempat, pemidanaan pelaku kejahatan narkotika, terhadap pelaku kejahatan peredaran gelap narkotika berupa pidana dengan pemberatan dan perampasan aset hasil kejahatannya.

Sedangkan penjatuhan hukuman terhadap pelaku kejahatan penyalahgunaan narkotika berupa menjalani rehabilitasi.

Artinya, ada perbedaan antara tujuan pencegahan, penegakan hukum, ancaman pidana dan pemidanaan bagi “kejahatan narkotika” dengan tujuan pencegahan, penegakan hukum, ancaman pidana dan pemidanaan “kejahatan konventional”?

Ya, adanya seperti kewajibkan hakim (pasal 127/2) serta kewenangan hakim dalam memeriksa perkara penyalahgunaan narkotika, hakim diberi kewenangan khusus untuk menjatuhkan hukuman rehabilitasi untuk mewujudkan tujuan dibuatnya UU tersebut.

Itu sebabnya hakim dalam memeriksa perkara penyalahgunaan narkotika diberi kewenangan “dapat” menjatuhkan hukuman rehabilitasi, baik terbukti bersalah maupun tidak terbukti bersalah.

Bila terbukti bersalah hakim berwenang memutuskan yang bersangkutan untuk menjalani rehabilitasi, bila terbukti tidak bersalah hakim diberi kewenangan menetapkan yang bersangkutan menjalani rehabilitasi (pasal 103/1).

Rehabilitasi atas keputusan atau penetapan hakim diperhitungkan sebagai hukuman (pasal 103/2).

Ini adalah kesuper-khususan UU narkotika yang mengatur secara medis bahwa rehabilitasi adalah bentuk hukuman khusus bagi penyalah guna.

Wah, kesuper-khususan UU narkotika tersebut membuat banyak orang gagap dalam menafsirkan UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika, termasuk para hakim MA?

Ya memang, sehingga implementasi penegakan hukum dan penjatuhan hukumannya melenceng dari tujuan pencegahan dan tujuan penegakan hukum serta pemidanaannya.

Sayangnya masyarakat diam, para pengacara diam seribu bahasa tidak melakukan upaya hukum, ketika penyalah guna ditahan dan dijatuhi hukuman penjara.

Menurut Anda, Hakim YR dan DA adalah pecandu?

Yes nota bene pecandu, hari ke empat setelah ditangkap KA BNNP Banten memberikan penjelasan bahwa tersangka YR dan DA cs, ditangkap penyidik dengan barang bukti yang disita sabu seberat 20,634 gram, alat yang digunakan mengkonsumsi sabu berupa pipet, bong, korek api. Hasil tes dinyatakan positif menggunakan narkotika.

Atas dasar penjelasan tersebut, menunjukan bahwa YR dan DA cs adalah pelaku kejahatan penyalahgunaan narkotika (penyalah guna untuk diri sendiri ) yang diancam pasal 127/1 UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika.

Kalau YR dan DA cs dilakukan assesmen akan diketahui perannya apakah sebagai penyalah guna yang berpredikat pecandu atau pecandu merangkap sebagai pengedar.

Apabila hasil assesmennya ditemukan bukti seperti adanya aliran dana hasil penjualan narkotika atau adanya keterlibatan YR dan DA menjadi anggota sindikat narkotika maka hakim YR dan DA adalah pecandu merangkap sebagai pengedar.

Peran demikian memenuhi syarat dilakukan penahanan?

Iya dan dapat dituntut secara komulatif atau subsidiaritas sebagai penyalah guna dan pengedar.

Bagaimana bila YR dan DA cs tidak ditemukan bukti yang menunjukan keterlibatan YR dan DA cs sebagai pengedar?

Maka YR dan DA tidak memenuhi sarat dituntut sebagai pengedar dan juga tidak memenuhi sarat dilakukan penahanan serta tidak dijatuhi hukuman penjara.

Sebaliknya YR dan DA cs wajib ditempatkan di Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) selama proses pemeriksaan pada semua tingkatan (pasal 13 PP 25/2011) dan dijatuhi jatuhi hukuman rehabilitasi di laksanakan di IPWL.

Pasal 112 hanya bagi pengedar?

Ketentuan pasal 112 UU no 35/2009 tentang narkotika hanya bagi pengedar. Pasal 112 berbunyi sebagai berikut:

Bahwa setiap orang yang tanpa hak dan melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika golongan 1 bukan tanaman, dipidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 8.000.000.000,00 ( delapan Miliar rupiah).

Bagaimana jika memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan narkotika?

Untuk golongan 1 bukan tanaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram pelaku dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 tahun dan pidana maksimum denda dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

Pasal 112 ayat (1) tersebut diatas, diperuntukan bagi pelaku kepemilikan narkotika dengan tujuan untuk diedarkan, dijual atau sebagai komoditas untuk mendapatkan keuntungan atau untuk tujuan menjerat agar orang menjadi penyalah guna atau pengedar, kecuali untuk tujuan dikonsumsi diatur secara khusus, tersendiri dalam pasal 127/1.

Dalam hal barang bukti, dijerat pasal 112 karena memegang barang bukti berapa gram?

Kepemilikan narkotika dengan berat barang bukti narkotika berapapun asal dapat dibuktikan bahwa kepemilikan narkotikanya untuk dijual, atau pelakunya menjadi anggota sindikat narkotika maka dapat dijerat pasal 112 ayat (1).

Pasal 112 ayat (2) diperuntukkan bagi orang yang memiliki, menguasai menyimpan narkotika dengan kepemilikan narkotika lebih dari 5 gram, dimana ancaman pidananya sebagai pidana pemberatan.

Berapapun jumlah kepemilikan narkotika seseorang kalau dapat dibuktikan sebagai pengedar maka dijerat atau dituntut dengan pasal 112.

Karena itu ancaman pidananya pada pasal 112 tersebut menggunakan ancaman pidana pemberatan dengan pidana minimum, dikomulatifkan dengan pidana denda yang jumlahnya sangat besar.

Terus pasal berapa untuk penyalahguna?

Pasal 127/1 adalah ketentuan khusus bagi penyalah guna. Pasal 127/1 berbunyi setiap penyalah guna.  Narkotika golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun;

Kemudian narkotika golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun.

Untuk narkotika golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.

Pasal tersebut diatas, diperuntukan khusus bagi penyalah guna?

Benar, yaitu pelaku kejahatan kepemilikan narkotika yang tujuannya untuk dikonsumsi atau digunakan bagi diri sendiri atau berjamaah.

Kenapa berjamaah?

Karena sifat narkotika jenis stimulan seperti sabu, penggunaannya berjamaah sedangkan narkotika jenis tertentu penggunaannya bersifat menyendiri.

Ancaman pidananya berupa pidana maksimum, tidak dikomulatifkan dengan pidana denda karena penyalah guna adalah korban kejahatan narkotika yang dikriminalkan UU narkotika sebagai pelaku penyalahgunaan narkotika.

Komentar Anda tentang Hakim YR dan DA bahwa yang bersangkutan positif menggunakan narkotika, sudah satu tahun lebih menggunakan narkotika?

Saat ditemukan barang bukti alat untuk menkonsumsi sabu berupa pipet, bong, korek api dan barang bukti sabu seberat 20, 634 gram, menunjukan maka peran hakim YR dan DA sebatas sebagai pelaku kejahatan penyalahgunaan pasal 127/1, kecuali ditemukan bukti baru yang menyatakan bahwa YR dan DA sebagai pengedar.

Bagaimana dengan apa yang namanya Teknik Control Delivery?

Teknik Control Delivery  dalam menangkap pelaku kejahatan narkotika, hanya digunakan untuk menangkap pengedar, bukan untuk menangkap pembeli (penyalah guna), karena itu penyidik harus fokus untuk menangkap pengedar, atau penjual narkotika yang mengirim narkotika seberat 20,634 gram tersebut.

Berdasarkan pasal 127/1 UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika, jika YR dan DA sebagai penyalah guna sesuai apa yang disampaikan KA BNNP Banten dan tidak ditemukan bukti yang menunjukan YR dan DA cs sebagai pengedar.

Maka YR dan DA tidak memenuhi sarat dituntut dan didakwa secara komulatif atau subsidiaritas dengan pasal 112 UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika. Karena beda tujuan penegakan hukumnya dan beda bentuk hukumannya antara penyalah guna dan pengedar.

Masyarakat jadi menunggu proses Pengadilan YR dan DA. Bagaimana pendapat Anda?

Kita ikuti saja proses pemeriksaannya apakah YR dan DA hanya sebagai penyalah guna atau dapat dibuktikan sebagai pengedar.

Kalau melihat tujuan kepemilikannya untuk dikonsumsi dan benar bahwa YR dan DA positif sebagai pecandu, maka hakim yang mengadili wajib (pasal 127/2) untuk memperhatikan ketentuan yang berhubungan dengan rehabilitasi bagi penyalah guna (pasal 54, pasal 55 serta penggunaan kewenangan hakim berdasarkan pasal 103).

Tetapi bila dalam pemeriksaan ditemukan bukti sebagai pengedar hakim dapat menjatuhkan hukuman komulatif baik rehabilitasi dan penjara.

Bagaimana bila YR dan DA cs sebagai pecandu?

Hakim wajib memutuskan bersalah melakukan tindak pidana penyalahgunaan narkotika berdasarkan pasal 127/1 dan menjatuhkan hukuman rehabilitasi.

Bila YR dan DA terbukti sebagai pengedar dan penyalah guna?

Hakim dapat menjatuhkan hukuman penjara dan hukuman rehabilitasi secara komulatif.

Itu sebabnya “pamali” atau tidak elok kalau Mahkamah Agung dan jajarannya selaku pemegang kekuasaan yudikatif menggunakan hukuman penjara dalam memutuskan perkara narkotika yang terbukti sebagai penyalahguna bagi diri sendiri (pasal 127/1).

Mahkamah Agung dan jajarannya termasuk komisi yudisial tidak boleh berpikir secara konvensional bahwa seorang kriminal harus dihukum penjara, karena sumber hukum UU narkotika berasal dari hukum Internasional.

Yang diratifikasi menjadi UU no 8 tahun 1976 tentang pengesahan konvensi tunggal narkotika,1961 beserta protokol yang merubahnya.

Dimana konvensi tersebut menyatakan yuridiksi hukum apapun yang dianut suatu negara, hukuman bagi penyalah guna narkotika adalah hukuman pengganti yaitu rehabilitasi.

Anda ingin menegaskan sosialisasi tentang hukuman rehabilitasi sifatnya “wajib” bagi penyalah guna dan berlaku secara global?

Ya. Negara yang memasukkan masalah penyalahgunaan narkotika dalam yuridiksi hukum pidana seperti indonesia hukuman bagi penyalah guna narkotika ya menjalani rehabilitasi.

Sebaliknya negara yang memasukan masalah penyalahgunaan narkotika dalam yuridiksi hukum administrasi atau non pidana, seperti negara negara Uni Eropa, hukuman ya menjalani rehabilitasi.

Kalau ada beberapa negara di dunia ini yang menghukum penyalah guna dengan hukuman penjara atau hukuman lain selain rehabilitasi, itu bukan semata mata karena UU nya bermasalah tetapi lebih karena implementasi penegakan hukumnya yang bermasalah.

Itu sebabnya saya menyarankan agar implementasi penegakan hukum, khususnya proses pengadilan dan penjatuhan hukuman bagi penyalah guna di Indonesia, harus segera dievaluasi oleh MA dan Komisi Yudisial berdasarkan kesuper-khususan UU narkotika tersebut di atas.

Agar apa?

Penyalah guna tidak dihukum penjara melainkan dihukum menjalani rehabilitasi lamanya berdasarkan kadar atau taraf kecanduaannya.

Jangan biarkan penyalah guna menderita ketergantungan narkotika berkepanjangan karena putusan hakim yang tidak berdasarkan UU narkotika yang berlaku.

Sehingga berdampak buruk bagi masa depan penyalah guna, merugikan keluarganya dan merugikan keuangan negara.

Salam anti penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Rehabilitasi penyalah gunanya dan penjarakan pengedarnya.

****

 

#AnangIskandar

Komisaris Jenderal Polisi Dr. Anang Iskandar, S.H., M.H. (lahir 18 Mei 1958) adalah seorang Purnawirawan perwira tinggi Polri yang sejak 7 September 2015 sampai 5 Maret 2016 menjabat sebagai Kepala Badan Reserse Kriminal Polri menggantikan Komjen Pol. Budi Waseso.

“Rehabilitasi pengguna Narkoba bikin bandar bangkrut dan gulung tikar”. Demikian pernyataan Kepala BNN RI tahun 2012 silam ini. Ia tak henti-hentinya menyuarakan upaya rehabilitasi terhadap penyalahguna narkoba.

Menurutnya, penyalahguna atau pecandu narkoba adalah orang sakit yang harus diobati, bukan dipenjara.

“Fungsi Undang-undang No. 35 tahun 2009 tentang narkotika adalah menjamin penyalahguna atau pecandu narkotika untuk direhabilitasi. Bukan dipenjara,” ujar Anang Iskandar.

Mantan Kabareskrim ini menegaskan bahwa pada pasal 103 Undang-undang No. 35 Tahun 2009 jelas tertuang penyalahguna atau pecandu atau korban penyalahgunaan narkoba wajib menjalankan rehabilitasi.

Anang Iskandar menyayangkan, meski hal ini kerap disuarakan, namun masih banyak hakim yang memilih untuk menjatuhkan pidana penjara kepada para pecandu Narkoba. Ketidak samaan persepsi ini menyebabkan fungsi Pasal 103 tersebut tidak berjalan dengan maksimal.

“Kalau sampai ada orang yang berkali kali masuk penjara, bahkan ada yang sampai empat kali dipenjara karena narkoba, artinya ada yang salah (dengan sistem penerapan UU Narkotika),” Anang berujar.

Anang menilai masih adanya dekriminalisasi terhadap pecandu tak lepas dari masih adanya stigma negatif di masyarakat yang mengharuskan mereka para pecandu untuk dihukum penjara.

“Untuk itu dibutuhkan pengetahuan tentang narkoba, tidak hanya bahayanya tetapi juga cara penanganannya. Agar semua orang mengerti mengapa pecandu harus direhabilitasi. Bukan dipenjara.” tegas Anang.

“Rehabilitasi pengguna pasti bikin Bandar bangkrut dan gulung tikar,” tandasnya tentang UU narkotika tersebut berasaskan perlindungan, pengayoman, kemanusiaan dan nilai nilai ilmiah disamping asas keadilan, ketertiban, keamanan dan kepastian hukum.

Jenderal bintang tiga ini menjadi sosok aktivis anti narkoba, seorang dosen yang juga penulis buku yang produktif.  Komitmennya untuk mengedukasi dan meliterasi aparat,  semua lini di bangsa ini, agar memahami permasalahan narkoba dengan jernih.

Selama ini hakim, dalam memeriksa perkara penyalahgunaan narkotika dalam keadaan ketergantungan tidak dilakukan secara restorative justice, dan penjatuhan hukumannya berupa hukuman penjara.

Hal tersebut menyebabkan terjadinya anomali Lapas yang ditandai dengan over kapasitas, terjadinya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika di dalam Lapas.

Banyak aparat lapas yang terlibat peredaran narkotika didalam lapas, terjadinya residivisme penyalahgunaan narkotika dan meningkatnya peredaran gelap narkotika yang merugikan semua fihak.

****

Anang Iskandar lahir di Mojokerto, Jawa Timur pada tanggal 18 Mei 1958. Ibunya bernama Raunah, perempuan yang tidak sekolah. Sementara itu, ayahnya bernama Suyitno Kamari Jaya, yang dulunya seorang tukang cukur di Mojokerto.

Lahir dari pasangan Suyitno dan Raumah, hidup Anang Iskandar tergolong tradisional dan sederhana. “Beliau membimbing saya, dan saudara–saudara saya dengan menggunakan bahasa jawa, dengan tradisi budaya religius jawa kuno yang cenderung mengajarkan tradisi – tradisi leluhur,” ujar Anang.

“Ayah saya bernama Suyitno Kamari Jaya seorang tukang cukur dahulu di Jl. Residen Padmudji, di depan losmen Merdeka Mojokerto, selama hidupnya berprofesi sebagai tukang potong rambut sampai akhirnya meninggal dunia tahun 1983, ketika anak saya yang pertama masih dalam kandungan.

Mewarisi darah seni dari ayah sebagai tukang potong rambut. Ketika dia kelas 4 SD sudah mulai dikenalkan alat–alat potong rambut. Ia pernah mendapat hadiah alat cukur rambut. Saat itu, ia diminta ayahnya untuk memotong rambut temannya.

“Mulai saat itulah, saya gandrung mempelajari seni potong rambut,” kata Anang. Ketika masuk SMA TNH Mojokerto, setiap pagi, Anang menjadi tukang cukur di kompleks sekolahnya dengan difasilitasi seorang guru. Pelanggannya adalah anak–anak SD TNH.

Selain belajar mencukur rambut, di usia remaja, Anang juga mempelajari dunia fotografi dan melukis. Menurut Anang, kemampuan mencukur rambut, fotografi, dan melukis akan menjadi bekalnya untuk berjuang setelah lulus SMA.

Anang mengaku ingin kuliah dengan biaya hasil usahanya. Maka, lulus SMA, ia ikut tes masuk perguruan tinggi jurusan Peternakan. Tekatnya menjadi lurah di kampung halaman. Pada waktu yang sama, ia juga ikut tes seleksi masuk Akabri.

Situasi ekonomi yang kurang memadai, menjadikan  Anang Iskandar tak jadi masuk ke fakultas peternakan. Selain mengikuti ujian masuk perguruan tinggi, pria yang sangat menghormati orang tuanya ini juga mengikuti seleksi AKABRI.

Di tengah kegalauan diri, situasi yang diterima di AKABRI banyak anaknya jenderal atau anaknya penggede yang banyak uangnya. “Sedangkan saya hanyalah anak tukang cukur di bawah pohon asem,” ujar pria yang tak menyangka dengar pengumuman hasil seleksi, dinyatakan lulus Akabri dengan nomor urut 43 dari 203 peserta yang dinyatakan lulus.

Pernyataan lulus seleksi AKABRI yang diterima Anang Iskandar bukan hanya menjadi sebuah kebanggaan besar buat diri dan keluarganya, melainkan juga menjadi penentu nasib dan karir cemerlangnya di bidang kepolisian.

Pasalnya, kepada Anang, ayahnya secara gamblang mengaku tidak mampu membiayainya hingga kuliah. Masih ada adik-adik Anang yang harus disekolahkan.

Anang Iskandar kecil mendapat pengetahuan memotong rambut dari ayahnya yang berprofesi sebagai tukang cukur di sekitar jalan Residen Pamudji, Mojokerto.

Pengalaman masa kecil ini membuat mencukur rambut menjadi sebuah hobi yang masih sering dilakukan. Tidak jarang Anang dimintai bantuan untuk mencukur rambut rekan-rekannya bahkan para seniornya. Ketika menjadi senior di AKPOL, Anang sempat memperoleh kesempatan untuk membina para taruna baru di Akademi Kepolisian.

Gemblengan pendidikan militer yang diterima Iskandar membantunya mengambil keputusan untuk menjadi perwira polisi. Pada saat menempuh pendidikan di Akademi Kepolisian, atau AKPOL, Iskandar dikenal rekan sejawat dan para seniornya sebagai pribadi yang trampil, disukai dan suka menolong.

Anang lalu bercerita bagaimana mengikuti latihan dasar keprajuritan Chandradimuka selama empat bulan di kaki Gunung Tidar sampai dengan Bukit Menoreh. Proses itu harus dilakukan untuk menjadi perwira polisi Akpol.

Pada akhir pendidikan, ia mendapat penghargaan sebagai peserta terbaik ketiga.

Anang lalu dilantik menjadi Perwira Muda pada 15 Maret 1982. Saat itu, kedua orangtua dan saudaranya hadir. “Rasanya bangga dapat menjadi Perwira Muda Polri. Setelah pelantikan, orangtua saya mengadakan syukuran. Ya, sekadar tumpengan dengan panggang ayam yang cukup meriah ala tradisi Keluarga,” kata Anang.

Penugasan pertama Anang berada di wilayah Polda Bali, yang ketika itu bernama Polda Nusa Tenggara (gabungan Polda Bali, Polda NTB, Polda NTT, dan Polda Timtim). Anang kemudian menceritakan berbagai pengalamannya selama di kepolisian.

Karir Iskandar terus bergerak naik ketika dipercaya sebagai KAPOLSEK wilayah Denpasar Selatan, dan kemudian KAPOLSEK untuk daerah Kuta.

Ketegasannya dalam menjabat dan mengambil keputusan sangat dikenal oleh rekan-rekannya sesama polisi dan bisa jadi sikap tersebut yang ikut membukakan pintu karir pria yang dikenal murah senyum ini ke jenjang yang lebih tinggi ketika dilantik sebagai salah satu pejabat kepolisian wilayah ibu kota, Kasat Serse Polres Tangerang.

Semenjak itu, berbagai posisi tertinggi dalam badan kepolisian negara Republik Indonesia banyak dipercayakan kepada Anang Iskandar. Pria peraih berbagai bintang jasa dan penghargaan kemasyarakatan dan kenegaraan ini pernah memegang tongkat komando tertinggi kepolisian di Kabupaten Blitar dan Kediri, Jawa timur.

Iskandar juga pernah bertindak selaku Kepala SPN (Sekolah Polisi Negeri) di Mojokerto dan di SPN Lido Polda Metro Jaya. Di samping itu, Anang Iskandar juga pernah dipercaya sebagai Kapolres Metro Jakarta Timur dan seterusnya pada 11 Januari 2006 dilantik sebagai Kapolwiltabes Surabaya. 4 tahun berkantor di Surabaya, pada 28 Oktober 2011, Anang Iskandar dipercaya menjabat sebagai Kapolda Jambi. Mulai 2 Juli 2012, Anang Iskandar masih menjabat sebagai Kadiv Humas Polri.

Tak jadi Kepala BNN dan Kabareskrim Polri, Anang melalui kesederhanaan, kepedulian terhadap sesama, lingkungan kehidupan dan jujur dalam melaksanakan tugas serta konsistensinya dalam menjalankan nilai – nilai Kepolisian dalam kehidupan sehari-hari.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *