[ad_1]
Ketua Bidang Diklat APHA Indonesia, Dr. Caritas Woro Murdiati, menyampaikan, lokakarya secara virtual pada akhir pekan ini merupakan tindak lanjut dari semiloka yang dilakukan APHA di Bandung, Jawa Barat (Jabar) beberapa waktu dan telah menyepakti sejumlah poin Rencana Pembelajaran Smester (RPS) mata kuliah hukum adat untuk S1.
Menurutnya, APHA Indonesia sepakat bahwa mata kuliah hukum adat merupakan mata kuliah inti di Prodi Ilmu Hukum perguruan tinggi, sehingga masing-masing perguruan tinggi harus mengajarkan mata kuliah ini.
“Meskipun ada beberapa fakultas hukum sudah menghapus mata kuliah hukum adat. Ini sangat disayankan. Mata kuliah inti dipastikan harus ada karena ada suatu tujuan yang hendak dicapai,” ujarnya.
Adapun bobot mata kuliah hukum adat ini minimal 2 SKS. Bagi perguruan tinggi yang hendak memberikan porsi lebih, mengingat di daerahnya terdapat banyak masyarakat hukum adat, ini bisa dilakukan. “Silakan lebih dari 2 SKS seperti di Papua,” ujarnya.
Dalam semiloka telah disepakati tujuan yang ingin dicapai dari pengajaran mata kuliah hukum adat untuk program S1, berada di level 6, yakni mampu menguasai teori dan konsep hukum adat secara umum dan khusus, mampu memformulasikan penyelesaian masalah, serta mampu beradaptasi dengan nilai-nilai dalam masyarakat adat.
“Capaian pembelajaran harus memuat 4 hal, di antaranya ada sikap, pengetahuan umum, dan keterampilan khusus. Sikap, berperan sebagai warga negara yang mencintai Tanah Air, memiliki nasionalisme, mempunyai tanggung jawab pada negara dan bangsa, menghargai aneka budaya, agama, dan kepercayaan,” ujar dia.
Adapun tujuan keterampilan umum pengajaran mata kuliah hukum adat, yakni menguasai pengetahuan tentang nilai, asas, kaidah, norma dan sistem hukum adat, serta peraturan perundangan terkait.
“Terkait metode pembelajaran, supaya tidak bosan kita bisa mencari metode pembelajaran yang menarik bagi mahasiswa yang merupakan anak melineal,” ujar Caritas Woro.
Mengenai metode pengajaran kreatif untuk menarik dan memudahkan mahasiswa memahami hukum adat, bisa didiskusikan lebih lanjut, di antaranya mengajak mahsiswa bertemu langsung dengan masyarakat adat.
Adapun metode yang tawarkan dalam RPS mata kuliah hukum adat, yakni pembelajaran tatap muka di kelas –jika keadaan sudah normal– dan mengajak mahasiswa untuk aktif berdiskusi.
“Misal ajak mahasiswa untuk mengenali apa itu hukum adat. Kami usulkan bukan dosen sebagai senter, sekarang materi itu ada di mana-mana, silakan mahasiswa bisa menggali. Kita bisa diskusikan lebih lanjut soal metode pengajaran yang kreatif seperti apa. Kita tampung masukan,” katanya.
Adapun silabus atau materi ajar yang harus disampaikan kepada mahasiswa, yakni teori-teori dasar hukum adat, definisi, proses terbentuknya hukum adat yang berbeda dengan hukum lain, termasuk hukum positif. Kemudian, tanah adat, peradilan adat, perkembangan adat, pelanggaran hukum adat, dan seterusnya.
Selanjutnya, kata Caritas Woro, kekhasan hukum adat di Indonesia, yakni religion magis, komunal, kontan, visual, dan lain-lain. Ini harus dikenalkan kepada mahasiswa. Hukum adat mempunyai sistem tersendiri dan tidak sama dengan hukum-hukum yang lain. Misalnya, dengan hukum Barat yang berbeda karena pola pikirnya, termasuk unsur cosmis bahwa masyarakat adat memandang manusia sebagai bagian dari alam semesta dan tidak bisa terlepas dari unsur lain.
“Mereka harus menjaga keharmonisan dengan semua unsur. Jika ada perbuatan yang melanggar hukum adat, bisa dilakukan sanksi,” katanya.
Editor: Iwan Sutiawan
[ad_2]
Sumber Berita