TEMPOSIANA.com — Bank Centris, Putusan Misterius, dan Harapan di Ujung Tembok MK
Andri Tedjadharma sudah lebih dari dua dekade memanggul stigma sebagai penanggung utang negara, tanpa pernah merasa berutang.
Pemegang saham Bank Centris Internasional itu kini menggantungkan harapan terakhir pada Mahkamah Konstitusi (MK) yang tengah menguji materi Undang-Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara (UU PUPN).
“Bank Centris tidak pernah menerima BLBI, dan saya bukan penanggung utang. Tuduhan ini tidak punya dasar hukum,” ujar Andri kepada wartawan, penuh tekanan di wajahnya.
Putusan Kasasi yang Tidak Ada
Sumber masalahnya bermula pada salinan putusan Mahkamah Agung (MA) No. 1688 yang menjadi dasar penyitaan aset pribadi Andri. Namun, berdasarkan surat resmi Panitera Muda Perdata MA, putusan itu tidak pernah terdaftar di sistem MA.
Lebih janggal lagi, Bagir Manan—mantan Ketua MA yang disebut memimpin majelis perkara—menegaskan itu bukan putusannya.
“Kalau benar ada kekalahan di kasasi, eksekusi sudah dilakukan sejak 16 tahun lalu, bukan baru belasan tahun kemudian dengan dokumen yang muncul tiba-tiba,” kata Andri.
Jejak Dana yang Menyimpang
Audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap PKPS No. 34 Tahun 2006 mengungkap fakta mencengangkan: tidak ada dana yang dicairkan ke rekening resmi Bank Centris Internasional (No. 523.551.0016).
Sebaliknya, Rp629 miliar justru masuk ke rekening berbeda atas nama Centris International Bank (No. 523.551.000), entitas yang berbeda dari bank yang dimiliki Andri.
BPK juga tidak pernah menyebut nama Andri Tedjadharma maupun Bank Centris Internasional sebagai pihak yang wajib membayar utang negara.
Selain itu, Bank Centris tidak pernah menandatangani Akta Pengakuan Utang (APU), MRNIA, MSAA, atau jaminan pribadi.
“Bagaimana mungkin saya jadi debitur kalau tidak pernah ada perjanjian?” kata Andri.
UU PUPN: Mandat Eksekusi Sepihak
Kewenangan PUPN yang bersandar pada UU PUPN 1960 menjadi sorotan para pakar. Frasa “menurut pendapatnya” (Pasal 4 angka 3) dan “berdasarkan sebab apa pun” (Pasal 8) memberi PUPN kekuasaan eksekusi tanpa perlu keputusan pengadilan.
Prof. Dr. Nindyo Pramono dan Dr. Maruarar Siahaan yang hadir sebagai ahli di MK menilai ini bertentangan dengan prinsip due process of law. “Seseorang bisa tiba-tiba jadi penanggung utang negara tanpa putusan pengadilan yang sah. Itu ancaman serius bagi hak asasi,” kata Nindyo.
Harapan Terakhir: MK Sebagai Benteng Keadilan
Andri meminta MK mengambil sikap tegas: membatalkan kewenangan absolut PUPN dan memerintahkan revisi UU PUPN.
“Kalau dikabulkan, ini bukan hanya kemenangan saya, tapi perlindungan bagi seluruh rakyat agar tidak menjadi korban eksekusi sepihak,” ujarnya.
Kini, publik menanti. Apakah MK akan berdiri tegak sebagai benteng terakhir keadilan, atau membiarkan celah hukum warisan 1960 terus menjerat warga negara tanpa proses peradilan yang layak?
#Bank di Dalam Bank, Kesalahan Fatal Penetapan Utang, dan Putusan MA yang Misterius: Mengapa MK Harus Bertindak?
1. Audit BPK Membongkar “Bank di Dalam Bank”
Audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap Centris International Bank (Nomor 523.551.000) pada tahun 2000, yang diajukan oleh BPPN di Jakarta Selatan, menemukan kejanggalan serius.
Berdasarkan akta 46, sejumlah dana seharusnya dikreditkan ke rekening Bank Centris Internasional dengan nomor 523.551.0016. Namun, Bank Indonesia justru mengkreditkan dana tersebut ke rekening berbeda, yakni 523.551.000.
Temuan ini menunjukkan adanya indikasi “bank di dalam bank” di tubuh Bank Indonesia, sebuah praktik yang berpotensi merugikan dan menimbulkan persoalan hukum besar.
2. Penetapan Utang Berdasarkan Audit yang Keliru
Audit BPK terhadap BPPN terkait Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) tahun 2006 Nomor 34 dijadikan dasar penetapan utang kepada negara atas nama Centris dan Andri Tedjadharma sebesar Rp897 miliar.
Penetapan ini kemudian dituangkan dalam surat Kementerian Keuangan Nomor 589 tahun 2012 dan melahirkan SK 49 serta surat paksa Nomor 216 tahun 2021.
Padahal, dalam audit BPK PKPS 2006 tersebut tidak ada satu kata pun yang menyebut Andri Tedjadharma maupun rekening Bank Centris Internasional Nomor 523.551.0016 sebagai penanggung utang. Kesalahan fatal ini memunculkan dugaan kuat adanya kekeliruan sistemik dalam penetapan piutang negara.
3. Putusan MA Nomor 1688 yang Tidak Terdaftar
Salinan Putusan Mahkamah Agung Nomor 1688 menjadi sorotan karena tidak terdaftar di MA berdasarkan surat resmi dari lembaga tersebut, termasuk tiga surat yang menegaskan bahwa tidak pernah ada permohonan kasasi dari BPPN, terakhir pada 10 Mei 2023.
Selain itu, prosedur dan relaas dari PN Jakarta Selatan yang memakan waktu 20 tahun dinilai tidak lazim. Bagir Manan, mantan Ketua MA yang disebut sebagai ketua majelis perkara tersebut, melalui pernyataan notarial menyatakan bahwa “itu bukan keputusan saya”, sementara hakim Artidjo Alkostar yang terkenal teliti diyakini tidak mungkin membuat putusan serupa.
Saatnya MK Bertindak
Sejak 1998, Bank Centris Internasional Nomor 523.551.0016 tidak pernah menerima bukti pembayaran ataupun rekening koran dari Bank Indonesia, padahal inilah dasar utama untuk menetapkan adanya utang atau piutang.
Bahkan, bank tersebut masih dioperasikan oknum tertentu hingga 2004 meskipun telah resmi dibekukan sejak 4 April 1998, dengan kantor dipindah ke Upindo dan statusnya naik menjadi Bank Devisa, sementara kantor resmi berada di Plaza Centris Kuningan Jakarta.
Kejadian-kejadian ini menunjukkan bagaimana UU PUPN (Perpu 49/1960) dapat berpotensi menzalimi masyarakat karena bersifat absolut dan sulit dilawan. Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi (MK) harus menjadi benteng terakhir untuk memeriksa dan memperbaiki keadaan krusial ini sebelum berimplikasi pada krisis ekonomi yang lebih luas.



















