#  

Berharap Mahkamah Konstitusi Memperbaiki Kesalahan Sistemik

 

TEMPOSIANA.comBerharap Mahkamah Konstitusi Memperbaiki Kesalahan Sistemik

Pemegang saham Bank Centris Internasional (BCI) Andri Tedjadharma mensinyalir adanya skema rekayasa untuk menjerat dirinya sebagai penerima dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Andri pun membongkar fakta-fakta adanya transaksi mencurigakan di rekening atas nama Centris International Bank bernomor 523.551.000.

Oleh sebab itu Andri Tedjadharma berharap Mahkamah Konstitusi (MK) membuat keputusan yang bijak dan adil untuk mengubah Perpu Nomor 49 Tahun 1960 tentang Panitya Urusan Piutang Negara (PUPN). Hal ini untuk memperbaiki kesalahan sistemik.

PUPN Menagih Bank Centris Internasional no 523.551.0016 setelah 20 absen dengan berdasarkan salinan keputusan MA no 1688 yang tidak terdaftar di MA.

Dibuktikan dengan surat resmi dari MA sendiri yang menyatakan MA tidak pernah menerima permohonan kasasi dr BPPN.

Jadi, dasar audit BPK terhadap Centris International Bank no 523.551.000 tahun 2000 di PN Jaksel, audit BPK terhadap BPPN tentang PKPS tahun 2006 dan salinan keputusan MA no 1688 telah menunjukkan bahwa terjadi kekeliruan dengan sengaja, “mengadili suatu kebenaran adalah kejahatan ”

“Kita harapkan apa pun keputusan MK adalah yang terbaik bagi kita, sebab dalam uji materi ini juga untuk membuka kotak pandora yakni kasus bank di dalam bank di Bank Indonesia adalah rawan,” ujar Andri dalam keterangannya di Jakarta.

“Kita harapkan apa pun keputusan MK adalah yang terbaik bagi kita, sebab dalam uji materi ini juga untuk membuka kotak pandora yakni kasus bank di dalam bank di Bank Indonesia adalah rawan,” katanya.

Andri menegaskan bahwa di fakta persidangan MK telah membuktikan bahwa hasil audit BPK dan dokumen hukum justru merujuk adanya aliran dana BLBI masuk ke rekening Centris Internasional Bank (CIB).

Rekening misterius entah milik siapa?

“Bukan di Bank Centris Internasional (BCI) yang saya pimpin, tidak ada sepeserpun uang yang mengalir ke saya maupun ke Bank Centris yang saya kelola tapi kenapa Satgas BLBI menuduh saya, PUPN merampas harta pribadi dan rumah saya, keadilannya dimana,” tegas Andri.

Menurut Andri Tedjadharma, kini memunculkan pertanyaan besar: Mengapa DJKN dan KPKNL sampai hari ini masih terus mengejar dirinya. Bahkan menyita harta pribadinya?

“Apakah tuduhan saya menerima BLBI ini untuk menutupi kesalahan besar BPPN dan BI di masa lalu? Ataukah ada kepentingan lain untuk merampas harta pribadi Andri?,” katanya.

Audit BPK yang diajukan sebagai bukti di pengadilan telah membuka secara terang benderang kronologi BLBI, mulai dari aliran uang, mutasi transaksi, rekening koran, lalu lintas giro (LLG), dan surat-surat dari BI. Semua itu menunjukkan secara gamblang bahwa dana BLBI tidak pernah masuk ke rekening resmi BCI.

“Termasuk pula uang hasil penjualan promes nasabah sebesar Rp490 miliar—yang seharusnya menjadi hak BCI—justru disalurkan ke rekening CIB oleh BI,” sebut Andri.

Lebih jauh, dana-dana yang masuk ke rekening CIB kemudian digunakan dalam transaksi jual-beli uang antarbank, memanfaatkan nama Bank Centris Internasional yang dikelola Andri.

Bukan bank misterius mengaku bernama Centris International Bank (CIB) yang entah kantornya dimana. Namun rekening mereka digunakan BI untuk menampung dana aliran BLBI dan sekarang kesalahan justru ditimpakan ke Andri.

Salah satu modus yang terbongkar adalah skema “call money overnight”, di mana pada malam hari, tiga bank swasta mendebet rekening CIB, lalu keesokan paginya menerima pengembalian pokok plus bunga dari rekening BCI.

“Artinya, tiga bank itu tidak pernah mengeluarkan uang untuk BCI, tetapi justru menerima uang dari BCI,” jelas Andri.

Transaksi ini didokumentasikan dalam LLG BPK tertanggal 2 April 1998. Rekening CIB didebet oleh tiga bank swasta tersebut, lalu rekening BCI dipotong keesokan harinya untuk membayar kembali, lengkap dengan bunga.

“BCI dimanfaatkan dan dimanipulasi BI untuk menggelapkan uang negara,” ujar Andri.

Dalam sistem penegakan hukum audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) merupakan instrumen resmi negara yang menjadi acuan utama dalam menentukan ada atau tidaknya kerugian keuangan negara. Namun, dalam kasus Bank Centris Internasional (BCI), justru audit inilah yang membongkar penyimpangan prosedural oleh institusi negara itu sendiri.

Menurut Andri, audit BPK yang dijadikan bukti oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), melalui Jaksa Pengacara Negara, untuk menggugat Bank Centris Internasional di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada tahun 2000.

“Dan ternyata merupakan audit atas rekening rekayasa milik Centris Internasional Bank (CIB) di Bank Indonesia (BI), bukan audit atas rekening Bank Centris Internasional (BCI),” tegas Andri Tedjadharma, pemegang saham BCI, berulang kali dalam berbagai kesempatan.

“Rekening BCI adalah 523.551.0016. Sedangkan rekening CIB adalah 523.551.000,” tambahnya.

Perjanjian BPPN dan Bank Indonesia

Audit BPK yang telah disahkan majelis hakim PN Jaksel menggambarkan adanya rekayasa sistematis untuk menjebak BCI. Namun, upaya tersebut justru menjadi bumerang bagi BPPN dan BI.

Pasalnya, BPPN telah menguasai seluruh dokumen asli BCI sejak 4 April 1998.

Artinya, kekeliruan dalam penggunaan audit tidak dapat dianggap sebagai ketidaktahuan, melainkan indikasi adanya kesengajaan atau pembiaran terhadap rekayasa sistemik.

Dasar hukum gugatan terhadap BCI adalah Akte 39, perjanjian antara BI dan BPPN tentang pengalihan hak tagih atas nama BCI. Namun, fakta hukum yang terungkap di pengadilan menunjukkan bahwa isi Akte 39 justru merujuk pada entitas lain, yakni CIB, bukan BCI.

Lebih jauh, Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) melalui PUPN dan KPKNL Jakarta, bahkan telah menyatakan tidak pernah menerima barang jaminan. Ini semakin memperkuat. Karena, BCI dan BI terikat dalam perjanjian jual-beli promes nasabah dengan jaminan seluas 452 hektare (Akte 46).

Indonesia Negara Hukum

Kasus ini menjadi sinyal keras bagi sistem hukum Indonesia. Ketika audit BPK—alat resmi negara—menunjukkan bahwa seseorang tidak menerima dana BLBI, bahkan justru menjadi korban skema manipulasi, mengapa fakta ini justru dikesampingkan?

Jika pemerintah masa lalu—yakni BI dan BPPN—terbukti melakukan kesalahan fatal, bahkan kejahatan hukum, maka pemerintah sekarang wajib memperbaikinya. Bukan malah meneruskan kekeliruan yang sama.

Ini bukan sekadar pelanggaran keadilan, tapi juga bentuk pengkhianatan terhadap kepercayaan publik.

Lebih penting lagi, seluruh institusi negara—termasuk kepolisian, kejaksaan, pengadilan, hingga DJKN dan Satgas BLBI—harus berani membuka fakta dan memperbaiki kekeliruan.

Bukan mencari kambing hitam, melainkan memulihkan martabat hukum dan melindungi warga negara dari penyalahgunaan kewenangan.

Audit BPK, dokumen hukum, dan catatan transaksi bank jelas menunjukkan bahwa BCI tidak pernah menerima dana BLBI, termasuk dana promes nasabah, maka BCI bukan obligor BLBI dan Andri bukan penanggung utang.

Selain itu, penyitaan aset pribadi berdasarkan dasar yang salah adalah pelanggaran hukum yang sangat serius.

Negara tidak boleh membiarkan rekayasa ini terus berlangsung. Uji materi UU 49 (PRP) tahun 1960 tentang PUPN di Mahkamah Konstitusi, momentum untuk menghentikan dan memperbaiki segala kesalahan secara sistemik.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *