#  

Berpikir Kritis di Dunia Digital Agar Tidak Kena Hoax

[ad_1]

JAKARTA,- Pandemi Covid-19 telah memaksa masyarakat dunia dan Indonesia mengadaptasi gaya hidup baru yang mengandalkan teknologi internet. Di balik itu, pandemi ikut membuka kesempatan luas untuk melakukan transformasi digital secara besar-besaran.

Presiden Joko Widodo saat meluncurkan Gerakan Literasi Digital mengungkapkan pemerintah menargetkan pada akhir tahun 2022, sebanyak 12.548 desa/kelurahan akan terjangkau sinyal. Percepatan dilakukan 10 tahun lebih maju dari rencana sebelumnya yang selesai pada tahun 2032.
“Infrastruktur digital tidak berdiri sendiri, ketika jaringan internet tersedia harus diikuti kesiapan penggunanya agar manfaat positif internet dapat dimanfaatkan masyarakat lebih kreatif dan produktif,” tutur Jokowi.

Mendasari hal itu, Kementerian Komunikasi dan Informatika bekerja sama dengan Siberkreasi menggelar acara webinar Literasi Digital wilayah Jawa Barat untuk Kabupaten Bogor pada Kamis (9/6/2021). Pada webinar kali ini hadir nara sumber Meylani Pratiwi, dari Divisi Administrasi RTIK yang berbagi pengetahuan bertema “Sering Saring Berita Palsu”. Dengan pemaparan singkat penyebaran akibat buruk berita palsu (hoax) untuk hubungan sosial kemasyarakatan.

Di masa pandemi teknologi tidak bisa ditawar, semua harus memanfaatkan teknologi mulai dari mereka yang bekerja, sekolah, dan berkomunikasi. Namun yang jadi pertanyaan siapa yang bisa mengawal agar teknologi tidak digunakan untuk hal negatif, salah satunya untuk penyebaran hoax atau berita bohong.

Dari survey, media sosial masih jadi sumber informasi yang teratas yaitu sebesar 76%, diikuti televise sebanyak 59,5%. Nah, dari survey tersebut ternyata 49% lebih orang percaya kepada sumber informasi yang didapat dari televisi. Selain itu untuk sosial media yang ternyata paling banyak diakses, terdapat urutan penyebaran informasi palsu. Sebanyak 55,2% berasal dari What’sApp yang merupakan tertinggi, di bawahnya ada Facebook dengan persentase 27% diikuti Instagram, YouTube, serta Twitter.

Nah, biasanya alasan orang menyebarkan informasi palsu karena hanya meneruskan berita tanpa memikirkan hoax, tidak menyadari bahwa itu hoax, hingga tidak paham sumber berita. Diperlukan berpikir kritis di dunia digital dengan mencari tahu kebenaran informasi pada website. Kemudian membandingkan informasi dari berbagai sumber untuk memutuskan apaah informasi benar.

“Pahami memeriksa identitas penyampai informasi dan paham untuk menentukan penting tidaknya sebuah informasi untuk disebarluaskan,” kata Meylani.

Sementara itu, Meylani juga mengungkapkan dampak berita bohong yang bisa sangat merugikan. Di antaranya memicu kepanikan, memecah belah persatuan dan kesatuan, bahkan abai akan protocol kesehatan Covid-19 karena semakin ke sini semakin kabur berita yang tersebar.

“Misalnya sampai ada orang tidak mau divasinasi Covid-19, ada penyebarluasan berita yang dari mulut ke mulut yang tersebar cepat. Menyepelekan Covid-19, yang mengancam keselamatan diri, keluarga dan lingkungan,” tuturnya.

Diketahui berita palsu menyebar lebih cepat karena klarifikasi perlu sekitar 20 kali lebih lama dari hoax. Sementara hoax bisa menyebar lebih jauh hingga level 19 dengan waktu 10 kali lebih cepat daripada klarifikasinya. Oleh karena bahayanya hoax ini setiap individu sebaiknya saring dulu informasinya.

“Saat menerima berita atau informasi jangan buru-buru men-share hanya karena isinya sesuai dengan keinginan kita,” katanya lagi

Oleh karena itu pastikan untuk berpikir dulu sebelum posting, apakah omongan atau sesuatu yang diposting tersebut bisa disalahartikan. Lalu pastikan juga apakah sedang dalam keadaan marah saat akan memposting, karena biasanya sangat tidak bijak saat emosi. Jangan sampai menyesal karena ternyata hal yang kita unggah ternyata malah mempermalukan diri sendiri.

Webinar Literasi Digital merupakan bagian dari sosialisasi Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 yang diselenggarakan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika. Pada webinar kali ini hadir juga nara sumber lainnya seperti Dino Hamid, Ketua Asosiasi Promotor Musik Indonesia dan Desi Purnama, Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum SMAN 70 Jakarta. Kegiatan ini merupakan bagian dari program Literasi Digital di 34 Provinsi dan 514 Kabupaten dengan 4 pilar utama. Di antaranya digital skills, digital ethics, digital safety dan digital culture untuk membuat masyarakat Indonesia semakin cakap digital.

 18 kali dilihat,  18 kali dilihat hari ini

[ad_2]

Sumber Berita

Exit mobile version