[ad_1]
Jakarta, Gatra.com – Rektor Universitas Paramadina, Didik J Rachbini, menilai bahwa anggaran sejumlah Rp1.700 triliun yang diajukan Kementerian Pertahanan (Kemhan) untuk memodernisasi alat utama sistem persenjataan (alutsista) sudah di luar kepantasan.
“Menurut saya, rencana anggaran pertahanan dan keamanan sampai Rp1.700 triliun sudah di luar kepantasan,” ujar Didik di Jakarta, Kamis (3/6).
Ekonom INDEF tersebut berpendapat demikan, karena selain jumlahnya sangat besar, momentumnya pun tidak tepat, alias salah karena saat ini sedang krisis Covid-19. Menurutnya, ini tidak layak karena APBN dalam kondisi sekarat dan syarat utangnya pun tidak masuk akal sehat.
Pandemi covid-19 ini meruntuhkan banyak pilar-pilar sosial kemasyarakatan dan sangat memprihatinkan, sehingga lebih memerlukan dukungan dibandingkan dengan melipatgandakan anggaran untuk pertahanan dan keamanan.
“Tingkat kemiskinan naik sangat tinggi akibat Covid-19 karena sistem produksi runtuh, pengangguran terbuka meningkat dari 5% menjadi sekitar 8%,” ujarnya.
Didik melanjutkan, pengangguran terselubung juga sangat besar mengingat tingkat pertumbuhan ekonomi masih negatif. Kemudian, yang bekerja penuh turun dari 71% menjadi 64% sehingga sisanya menjadi penganggur terbuka dan terselubung.
“Dalam keadaan seperti ini, tidak pantas anggaran yang besar tersebut diajukan dalam jumlah yang sangat besar dan menguras anggaran sosial, pendidikan, kesehatan, daerah, dan sebagainya,” kata Didik.
Menurutnya, jika Komisi I DPR menyetujui anggaran sejumlah itu, maka wakil rakyat pun tidak tahu diri dan kurang mengukur kepantasan dengan kondisi prihatin saat ini. Sebagai catatan, sampai tahun 2022, DPR tidak memiliki hak budget lagi sesuai Perpu dan undang-undang sehingga tidak bisa mengubah angka satu rupiah pun dari yang sudah diusulkan pemerintah.
“Ini masalah salah kaprah lain yang melanggar undang-undang dasar di mana hak budget DPR diamputasi,” ujarnya.
Lebih lanjut Didik menyampaikan bahwa rencana anggaran tersebut juga kurang memperhatikan kondisi APBN yang sekarat dengan utang. Jumlah utang APBN sudah mencapai Rp6.361 triliun. Utang BUMN perbankan dan nonperbankan yang pasti akan ditanggung negara jika gagal bayar mencapai tidak kurang dari Rp2.143 triliun.
“Total utang publik sekarang mencapai 8504 triliun rupiah. Saya memperkirakan di akhir periode, pemerintahan ini akan meweariskan lebih dari Rp10 ribu triliun kepada presiden berikutnya,” kata dia.
Pada tahun 2019, utang yang diputuskan di APBN mencapai Rp921,5 triliun. Keperluan utang tersebut untuk membayar bunga, pokok, dan sisanya untuk menambal kebutuhan defisit. Tahun 2020, rencana utang ingin ditekan menjadi Rp651,1 triliun agar wajah APBN kelihatan apik. Tetapi krisis dan pandemi kemudian mengharuskan utang tahun 2020 dinaikkan pesat menjadi Rp1.226 triliun.
“Perubahan-perubahan seperti ini mencerminkan perilaku labil dan semau gue dari penguasa, obrak-abrik merusak APBN, dan cerminan DPR yang telat mikir dan lemah kuasa,” ujarnya.
Sebagai akibatnya, lanjut Didik, setiap tahun kewajiban pembayaran utang pokok dan bunga plus cicilan utang luar negeri pemerintah atau tidak termasuk swasta, sudah sangat tainggi dan di luar kewajaran, yakni mencapai Rp772 triliun pada tahun 2020.
“Pembayaran utang dari kantong APBN ini ke depan bisa bergerak cepat menuju Rp1.000 triliun dalam waktu tidak terlalu lama,” katanya.
Didik mengaku iba melihat APBN Indonesia yang diobrak-abrik oleh penguasa sehingga wajah dan strukturnya rusak berat. Tidak ada kepemimpinan ekonomi (economic leadership) pada saat ini, sehingga bisa berbuat apa saja terhadap APBN.
“Ekonomi kita menanggung beban berat karena anggaran kondisinya berat. Kemungkinan terjadinya krisis bisa lewat pintu APBN ini. Saya hanya mengingatkan, gabungan dari masalah APBN ini ditambah kepercayaan publik merosot, maka krisis bisa terjadi,” ujarnya.
Menurut Didik, karena itu, kemungkinan krisis harus dicegah dengan menguatkan kembali APBN agar hati-hati dalam perencanaannya dan mengembalikan lagi pertumbuhan di atas tingkat moderat.
[ad_2]
Sumber Berita