TEMPOSIANA – Nasaruddin Umar, sosok ulama kharismatik dari Sulawesi Selatan, tak menyangka dirinya mendapat panggilan langsung dari Presiden terpilih Prabowo Subianto di tengah proses pembentukan kabinet baru. Sebuah undangan yang datang dengan penuh kejutan, namun sekaligus membuka babak baru dalam perjalanannya.
“Saya benar-benar sangat terkejut, tidak pernah terbayang akan mendapat undangan dari presiden terpilih, Pak Prabowo,” ujar Nasaruddin, menggambarkan rasa tak percaya saat dirinya dipanggil ke kediaman Prabowo di Jalan Kertanegara, Jakarta Selatan.
Meski undangan itu memberikan sinyal kuat soal posisi yang mungkin akan diembannya, Nasaruddin memilih merendah. Ia belum bisa memastikan peran apa yang kelak akan dipercayakan padanya. “Saya kira tidak jauh dari keseharian saya, tapi nanti biar beliau yang menjelaskan,” tambahnya singkat.
Pada hari itu, tak hanya Nasaruddin yang datang. Prabowo juga mengundang berbagai tokoh lintas disiplin—dari politik, akademisi, hingga tokoh agama. Semua duduk bersama membahas calon-calon menteri yang akan mengisi kabinet pemerintahan Prabowo-Gibran. Nama Nasaruddin pun mengemuka di tengah obrolan ini.
Nasaruddin Umar: Ulama Berwawasan Dunia
Nasaruddin Umar bukanlah sosok biasa. Lahir di Ujung-Bone, Sulawesi Selatan pada 23 Juni 1959, perjalanan hidupnya penuh dengan dedikasi pada ilmu dan agama. Gelar S1 di IAIN Alauddin Makassar hanyalah awal dari petualangan intelektualnya. Ia melanjutkan studi hingga jenjang S3 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Tak berhenti di situ, langkah Nasaruddin merambah hingga ke berbagai belahan dunia: dari McGill University di Kanada hingga Universitas Leiden di Belanda.
Wawasan globalnya semakin diperkaya dengan pengalamannya menjadi sarjana tamu di berbagai universitas ternama dunia seperti Sophia University, Tokyo; SOAS University of London; dan Georgetown University di Washington DC. Pengalaman internasional inilah yang memberinya perspektif luas tentang Islam sebagai agama yang penuh cinta dan kemanusiaan.
Sebagai seorang pemikir progresif, Nasaruddin tak ragu membahas isu-isu yang kerap dianggap tabu dalam masyarakat. Ia konsisten membicarakan kesetaraan gender dalam Islam, moderasi beragama, hingga memperjuangkan hak-hak perempuan. Tak kurang dari 12 buku telah ia tulis, semuanya mencerminkan komitmen pada dialog dan pemahaman yang lebih inklusif.
Dari Akademisi ke Politik: Pengabdian Tanpa Batas
Peran Nasaruddin tidak hanya di ranah akademis. Sebagai Wakil Menteri Agama dalam Kabinet Indonesia Bersatu II pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Nasaruddin menunjukkan bahwa ilmu yang ia kuasai bisa diterjemahkan menjadi kebijakan publik yang nyata. Selain itu, ia juga merupakan pendiri Pusat Studi Islam dan Gender di UIN Jakarta, sebuah lembaga yang memperjuangkan peran perempuan dalam Islam dan menciptakan ruang dialog antaragama.
Namun, satu hal yang mungkin paling membekas di benak publik adalah kiprahnya sebagai Imam Besar Masjid Istiqlal sejak 2016. Di bawah kepemimpinannya, Masjid Istiqlal, yang merupakan masjid terbesar di Asia Tenggara, mengalami transformasi besar-besaran. Renovasi masjid bukan hanya soal infrastruktur fisik, tetapi juga tentang modernisasi cara pandang—mengajak umat untuk lebih terbuka, toleran, dan inklusif.
Memperjuangkan Islam yang Rahmatan Lil ‘Alamin
Nasaruddin Umar bukan hanya ulama yang bicara tentang ibadah. Lebih dari itu, ia seorang pemimpin yang terus menyuarakan pentingnya moderasi dalam beragama. Sebagai Imam Besar, ia tak pernah lelah mengajak umat Islam untuk hidup dalam semangat toleransi dan kebersamaan. Bagi Nasaruddin, Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin—rahmat bagi semesta alam. Pesan-pesan ini disampaikannya dengan penuh kelembutan, namun tetap tegas.
Di berbagai forum internasional, suara Nasaruddin kerap menggema. Ia sering diundang untuk berbicara tentang Islam moderat dan bagaimana agama bisa menjadi kekuatan positif dalam menciptakan perdamaian dunia. Pengaruhnya tak hanya terbatas di dalam negeri, tetapi juga diakui secara global.
Figur Pemersatu di Tengah Perbedaan
Sebagai tokoh agama, Nasaruddin Umar adalah simbol keterbukaan. Ia mampu menjembatani berbagai perbedaan pandangan di kalangan umat Islam Indonesia, serta menjadi sosok yang dihormati dalam berbagai dialog lintas agama. Pemikirannya yang moderat dan sikapnya yang inklusif menjadikannya ulama yang mampu merawat persatuan di tengah keberagaman.
Maka tak heran, ketika Nasaruddin mendapat panggilan dari Prabowo, publik merespons dengan penuh harapan. Apapun peran yang akan diembannya, satu hal yang pasti: kehadiran Nasaruddin Umar dalam pemerintahan mendatang adalah sebuah sinyal positif. Sebuah janji bahwa suara moderasi dan toleransi akan terus menggema di Indonesia yang majemuk ini.
Di tengah kejutan yang ia rasakan, Nasaruddin Umar tetap berjalan tegap. Pengabdian untuk agama dan negara, itulah panggilan hidup yang tak pernah surut.