#  

Kronologi Mencuatnya Dugaan Pemerasan Kades di Banyumas

[ad_1]

Banyumas, Gatra.com – Polresta Banyumas, Jawa Tengah menetapkan Subroto alias SS, Ketua Gerakan Nasional Pemberantasan Korupsi (GNPK) Jawa Tengah sebagai tersangka dan menahan yang bersangkutan awal pekan ini. Subroto diduga memeras sejumlah kepala desa di Banyumas, ratusan juta rupiah.

Semula, kasus ini mencuat dari aduan dua kepala desa di sebuah kecamatan di Banyumas ke Polresta Banyumas, dan Kejaksaan Negeri Banyumas. Aduan itu lantas ditindaklanjuti oleh Satreskrim Polresta Banyumas. Di sisi lain, aduan tersebut viral dan menjadi perhatian serius masyarakat Banyumas.

Ternyata, aduan dugaan pemerasan itu juga terjadi di Kecamatan Kemranjen Banyumas. Total, ada lima kepala desa diduga menjadi korban pemerasan dengan nilai total mencapai Rp375 juta. Dari fakta ini, kemudian Wagiyah, salah satu kepala desa, secara resmi melaporkan Subroto kepada Polresta Banyumas.

“Berdasar aduan tersebut, kemudian Polresta Banyumas melakukan penyelidikan,” kata Kuasa Hukum pelapor, Happy Sunaryanto, Kamis malam (20/5).

Happy menjelaskan, dugaan pemerasan ini semula terjadi saat tersangka Subroto, atas nama Ketua GNPK Jateng, melayangkan surat permintaan Laporan Pertanggungjawaban Keuangan (LPJ) tahun 2018-2020 kepada lima kepala desa. Lima kepala desa ini, entah kebetulan atau tidak, adalah kades yang menjabat di periode kedua, termasuk Wagiyah.

Lantaran pengelolaan keuangan sudah dilaporkan kepada Bupati dan Inspektorat Banyumas, para kades menolak permintaan GNPK. Mendapat penolakan itu, lantas Subroto mengintimidasi kelima kades, dengan berbagai embel-embel.

“Yang bersangkutan mengintimidasi. Menakut-nakuti, misalnya cerita Kepala Desa Plana yang masuk penjara karena laporan dia. Kemudian ada juga cerita kepala dinas yang juga masuk. Ya seperti itu, entah benar-entah tidak,” ungkap Happy.

Lantaran takut, akhirnya kelima kades tersebut akhirnya menyerahkan LPJ keuangan. GNPK lantas melakukan audit secara mandiri. Dari audit itu, seolah-seolah ditemukan kerugian negara, yang nilai per desanya berbeda. Angkanya berkisar ratusan juta hingga mencapa miliaran.

Dari angka kerugian itu, Subroto dan rekannya kemudian mulai melakukan negosiasi agar potensi kerugian itu tak dilaporkan kepada penegak hukum. Permintaannya disesuaikan dengan ‘nilai kerugian negara’ versi GNPK. GNPK meminta 10 persen dari nilai total kerugian negara versi mereka.

“Saat mengancam itu, yang bersangkutan membawa-bawa nama penegak hukum. Kepala desa jadi takut,” ujarnya.

Khawatir ‘dikandangkan’, lima kepala desa di Kecamatan Kemranjen itu akhirnya memberi uang kepada Subroto. Nilainya bervariasi, berkisar puluhan juta per kades. “Jadi yang kerugiannya RP650 juta diminta Rp65 juta, yang Rp850 juta diminta Rp85 juta, bahkan ada yang Rp1 miliar, ya diminta Rp100 juta, total nilainya Rp375 juta,” jelasnya.

Di sisi lain, kasus ini kemudian mencuat dari kecamatan lainnya. Polisi juga mulai menyelidiki kasus ini. Viralnya kasus ini rupanya bikin Subroto CS takut. Subroto lantas membuat skenario, seolah-olah uang yang diberikan oleh para kades itu adalah piutang dan sudah dikembalikan.

Empat kades menandatangani pengembalian, tapi Wagiyah menolak. Sebab ia merasa yang dia berikan bukan lah piutang dan dia belum menerima kembalian senilai Rp75 juta. Pada awal Mei 2021, secara resmi, Wagiyah melaporkan Subroto kepada kepolisian, atas dugaan pemerasan.

“Kemudian konsultasi dan memutuskan untuk melaporkan agar ditindaklanjuti kepolisian,” kata Happy.

Melalui pemerkisaan saksi-saksi, sepak terjang Subroto ternyata juga terkuak di desa-desa lain. Atas dasar bukti dan alat bukti yang lebih dari cukup, kepolisian meningkatkan status Subroto dari semula saksi terlapor menjadi tersangka. Mulai awal pekan ini, Subroto ditahan di Mapolresta Banyumas.



Reporter: Ridlo Susanto


Editor: MS Widodo


    


[ad_2]

Sumber Berita

Exit mobile version