#  

Pembelajaran Tatap Muka DKI Berjalan Januari?

[ad_1]

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sendiri belum memastikan apakah akan mengikuti kebijakan belajar tatap muka. Banyak pertimbangan untuk mengikuti kebijakan itu salah satunya angka kasus positif di DKI Jakarta yang belum menunjukkan tanda-tanda penurunan.

Gubernur DKI Anies Baswedan akan mempelajari kegiatan belajar tatap muka di Jakarta.

Salah satu alasan Anies untuk belum memutuskan akan ikut kegiatan belajar tatap muka atau tidak karena kondisi daerah yang berbeda-beda. Gubernur berpesan untuk mengonsultasikan terlebih dahulu dengan para pemangku kepentingan.

Meskipun berbeda dengan daerah lain di Indonesia. Program belajar jarak jauh yang diterapkan Provinsi DKI Jakarta jauh lebih memungkinkan karena dukungan infrastruktur yang memadai. Berbeda dengan daerah lain yang jaringan internetnya masih sulit.

Pemprov DKI Jakarta juga telah menyediakan layanan wifi gratis yang dapat diakses siswa tanpa harus ke sekolah.

Dengan demikian untuk penerapan belajar tatap muka ini memang harus melalui pertimbangan yang sangat matang. Harus melihat laju penularan COVID-19 di daerah tersebut, termasuk tingkat kepatuhan masyarakat dalam menerapkan 3M.

Hal lain yang juga menjadi pertimbangan adalah ketersediaan rumah sakit dan ruang isolasi. Apabila kondisinya masih penuh maka kebijakan yang paling tepat menunda dulu penerapan belajar tatap muka agar terhindar munculnya klaster baru.

Kasus MAN 22 salah satu bukti bahwa masih ada masyarakat yang belum patuh dalam pelaksanaan protokol kesehatan. Padahal dalam kasus itu mereka merupakan guru yang seharusnya menjadi panutan.

Sehingga menjadi hal wajar apabila semua itu diserahkan kembali kepada orang tua siswa. Apabila melihat kondisinya memang belum aman sebaiknya tidak perlu mengizinkan anaknya pergi ke sekolah, cukup belajar dari rumah seperti biasa.

“Pendidikan yang berjalan kala pagebluk berpotensi melahirkan dan meningkatkan stres, kecemasan dan gangguan psikologis lain bagi pelajar,” kata Direktur Eksekutif Gerbang Betawi Ashari di Jakarta, Selasa.

Bagi Gerbang Betawi, kata Ashari, kaum terdidik tidak hanya cerdas secara intelektual, tapi kaum terdidik haruslah mempunyai nurani untuk memperbaiki kehidupan berbangsa dan bernegara yang damai dan aman.

“Jadi, moralitas dan intelektualitas bagaikan dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan sebagai tujuan utama penyelenggaraan pendidikan,” katanya.

Gerbang Betawi berharap seluruh pihak dapat menghasilkan sebuah rekomendasi dan solusi yang perlu dilakukan untuk menjadi diri yang kreatif dan inovatif.

Antara lain dengan membuat ide-ide baru sehingga lebih kreatif dan tercipta program baru yang lebih inovatif, melawan ketakutan dalam melakukan perubahan, dan tidak takut terhadap kegagalan.

Dosen Universitas Negeri Jakarta Tuti Tarwiyah Adi mengatakan pembelajaran tatap muka, bila diizinkan kelak, mesti berlangsung secara interaktif dan inspiratif.

Para guru harus mampu memberikan kegiatan sekolah yang menyenangkan di tengah kondisi menantang masa pandemi.

Tuti menyarankan kegiatan pembelajaran dilakukan dengan menggunakan kearifan lokal berbasis bahasa dan musik.

Dasar hukumnya adalah UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Kearifan Lokal. “Jadi misalnya para siswa diajak memulai pembelajaran dengan menggunakan lagu-lagu daerah atau pantun atau pepatah. Sehingga para siswa juga lebih mengenal nilai-nilai tradisi dan kebudayaan bangsanya,” katanya.

Dikatakan Tuti, kegiatan pembelajaran makin menarik minat siswa bila menggunakan musik atau lagu, karena banyak penelitian sudah membuktikan bahwa belajar dengan musik bisa mendorong kecerdasan anak-anak.

“Fitzgerald mengatakan meski banyak guru bukan musisi, dia mendorong para guru untuk mempergunakan musik sebagai strategi instruksional,” kata Tuti.

Pada kesempatan itu, Tuti juga memaparkan cara pembelajaran tatap muka yang menyenangkan dengan menggunakan permainan tradisional Betawi, seperti congklak, cutik, lidi dan bekel.

Pada intinya, bagaimana kegiatan belajar kala pandemi lebih menyenangkan dan berkarakter bagi anak, sambil melestarikan kebudayaan bangsa.

Sementara itu, Syarief Rohimi selaku dokter spesialis anak menjelaskan, kondisi pandemi di Indonesia saat ini belum “new normal” karena angka kematiannya masih tinggi dari rata-rata WHO.

Karena itu, rencana pembelajaran tatap muka harus disikapi secara sungguh-sungguh. Data di dunia dan Indonesia, tidak sedikit anak-anak yang menjadi korban COVID-19, meski sebagian besar kasusnya tanpa gejala.

Ini dimungkinkan karena reseptor pada anak masih sedikit sehingga tidak menunjukkan gejala seperti orang dewasa bila terpapar virus COVID-19.

Kasus COVID-19 anak Indonesia, kata Syarif, adalah satu dari sembilan kasus positif COVID-19 anak berumur 0-1 tahun. Tingkat kematian anak per akhir November lalu mencapai 3,2 persen, tertinggi di Asia Pasifik.

“Jadi selain menerapkan protokol 3M, anak-anak kita mesti diajarkan cara mencuci tangan secara rutin dan benar,” ujar anggota Dewan Pakar Gerbang Betawi ini.

Rencana pembelajaran tatap muka di DKI Jakarta pada Januari 2021 sebelumnya disampaikan Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta Nahdiana.

Namun wacana itu masih mempertimbangkan situasi pandemi COVID-19 serta kesiapan sarana dan prasarana pendukung di sekolah. 

[ad_2]

Sumber Berita

Exit mobile version