[ad_1]
INFO NASIONAL — Sampai saat ini 70 persen kebutuhan LPG Indonesia sebesar 7 juta metrik ton per tahun dipenuhi dengan impor. Alokasi APBN untuk kebutuhan LPG ini naik sebesar 16 persen menjadi Rp 49,4 Triliun dari tahun sebelumnya. Namun, hanya 32 persen saja kelompok masyarakat dengan status ekonomi terendah yang menikmati subsidi LPG, sisanya 68 persen dinikmati masyarakat yang tingkat kesejahteraannya lebih tinggi.
Berdasarkan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) 2019, sekitar 12,27 juta Rumah Tangga miskin dan rentan tidak mendapatkan akses subsidi LPG. Jumlah tersebut mencakup 2,7 juta perempuan Kepala Keluarga, 0,76 juta penyandang disabilitas, 4,06 juta lansia dan sisanya KK pria.
Untuk itu diperlukan kebijakan reformasi kebijakan subsidi LPG yang tepat sasaran sehingga dapat mengurangi alokasi APBN di sektor energi sekaligus berdampak pada pengentasan kemiskinan. Diskusi ini mengemuka dalam webinar yang digelar TNP2K, MAHKOTA dan Tempo Media Group, Senin, 21 Desember 2020.
Beberapa narasumber yang hadir antara lain, Titi Eko Rahayu, Staf Ahli Menteri Bidang Penanggulangan Kemiskinan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) dan Kristen Bishop, Minister Counsellor for Governance and Human Development Kedutaan Besar Australia di Jakarta.
Berikutnya Bambang Widianto, Staf Khusus Wakil Presiden dan Sekretaris Eksekutif Ad Interim TNP2K, Soerjaningsih, Plt Direktur Pembinaan Usaha Hilir Migas Kementerian ESDM, dan Masud Khamid, Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga.
Sebagai penanggap antara lain Penasehat GESI Senior, Program MAHKOTA Sinta Dewi, Direktur Yayasan Program Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA) Nani Zulminarni, Direktur Operasi dan Kemitraan Kopernik Indonesia Arvin Dwiarrahman, dan Ruddy Gobel, Kepala Unit Komunikasi dan Kerjasama atau PIC Kebijakan Energi, Sekretariat TNP2K.
Titi Eko Rahayu memberikan detail strategi peningkatan kapasitas dan partisipasi publik. “Termasuk perempuan, anak, generasi muda, dan penyandang disabilitas, sehingga no one left behind,“ ujarnya dalam pembukaan webinar ini.
Kristen Bishop mengapresiasi kerjasama TNP2K dan MAHKOTA, Program Kemitraan Indonesia dan Australia sejak 2014. “Rekomendasi kebijakan dan pengawasan subsidi energi yang tepat sasaran, berdampak positif pada keluarga miskin, terutama perempuan di Timor Tengah Selatan, NTT yang dapat meningkatkan perekonomian keluarga,” katanya.
LPG merupakan bahan bakar yang lebih bersih dari biomassa dan minyak tanah tradisional, sehingga mengurangi dampak negatif polusi udara dalam ruangan. Dengan beralih dari kayu bakarke LPG, perempuan dapat menghemat waktu mencari kayu bakar dan memasak. “Ini membuka peluang untuk menjalankan kegiatan usaha kecil/mikro dan bisa memasuki pasar tenaga kerja,” ujar Sinta Dewi.
Ada beberapa entry barrier masyarakat miskin untuk mendapatkan LPG yaitu tidak memiliki uang untuk membeli tabung gas LPG dan kompor. “Saya berharap data yang bersumber dari DTKS dapat memetakan secara akurat dan akuntabel keluarga penerima manfaat (kpm),” ujar Nani Zulminarni.
Sementara itu, Bambang Widianto, memaparkan TNP2K mengusulkan reformasi kebijakan subsidi komoditas menjadi bantuan langsung dalam bentuk cash transfer dengan utilisasi DTKS dengan keluarga yang memiliki NIK sebagai target penerima subsidi. Selain itu, perlu dipastikan distribusi dan ketersediaan LPG di wilayah-wilayah terpencil dan sulit diakses. “Jika tidak ada LPG di wilayah tersebut, mereka dapat membeli sumber energi alternatif misalnya biogas, biomassa dan lainnya,” katanya.
Menurut Ruddy Gobel, potensi penghematan APBN dari kebijakan subsidi yang tepat sasaran sebesar Rp 20,7 Triliun dengan besaran subsidi Rp 45 ribu per bulan. “Jika subsidi ditambah menjadi 60 ribu per bulan, penghematan APBN mencapai Rp 11,1 Triliun.“ ujarnya.(*)
[ad_2]
Sumber Berita