[ad_1]
Telegraf – Haox terkait vaksin masih bermunculan sehingga banyak masyarakat yang awam dan menelan bulat bulat berita hoaks tersebut yang akan mengakibatkan berita hoaks di terima oleh masyarakat. Untuk memerangi hoaks masyarakat dan pemerintah perlu kolaborasi dalam mencegah pemberitaan hoaks.
Penolakan terhadap vaksin di tanah air ini bahkan pernah dipublikasikan dalam jurnal bergengsi The Lancet dan Elsevier. “Bagi masyarakat menengah ke bawah mudah mempercayai [hoaks] apalagi kalau berita disampaikan oleh tokoh pemuka,” kata Sekretaris Eksekutif Indonesian Technical Advisory Group on Immunization (ITAGI), dr. Julitasari Sundoro, dalam talkshow bertajuk “Tolak dan Tangkal Hoax” yang digelar Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPC PEN.
Sejumlah mitos bertebaran misalnya vaksin berbahaya. Ada juga klaim dokter ahli gizi menyatakan jika kuman disuntikkan kepada anak dengan daya tahan tubuh menurun, maka kuman akan menjadi aktif bahkan menginfeksi tubuh resipien.
Lanjut Julitasari klaim lain juga menyebutkan menangani Covid-19 tidak perlu vaksin lantaran hanya menghambur-hamburkan anggaran. Uang lebih baik dipakai untuk pengadaan tes PCR. Faktanya, PCR dibutuhkan untuk skrining penemuan kasus baru. Sedangkan, vaksin dipakai untuk pencegahan. Hoaks lain seputar vaksin Covid-19 yakni tudingan bahwa uji klinis yang digelar di Bandung bersifat ecek-ecek lantaran jumlahnya terlalu sedikit hanya 1.620 orang. Faktanya, uji klinis vaksin dilakukan secara multisenter di beberapa negara lain dengan jumlah total 30.490 orang.
Ketua Presidium Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), Septiaji Eko Nugroho, mengatakan selama pandemi Manfindo mencatat jumlah hoaks Covid-19 sangat masif. Data Mafindo menunjukkan pada 2018, ditemukan 997 hoaks. Jumlah ini meningkat pada 2019 menjadi 1.221 hoaks seiring digelarnya Pemilu.
Namun, pada 2020, hingga 16 November, Mafindo mencatat ada 2.024 hoaks beredar di masyarakat. Bahkan, pada Januari-November ditemukan ada 712 hoaks seputar Covid-19. Kondisi ini menempatkan Indonesia sebagai ranking kelima dunia persebaran rumor, stigma, dan teori konspirasi seputar Covid-19.
Rumor ini disebarkan oleh orang-orang yang kadang berprofesi sebagai dokter atau menjabat sebagai profesor.Kondisi ini terlihat di media sosial yang melahirkan kelompok-kelompok baru yang gemar menyebarkan hoaks Covid-19.
Hoaks perihal vaksin Covid-19 itu misalnya hoaks adanya warga Korea Selatan yang meninggal dunia seusai vaksinasi atau vaksin Covid-19 menyebabkan kemandulan. Ada juga tudingan menyebutkan MUI melarang penggunaan vaksin yang didatangkan dari Tiongkok. Padahal, MUI tidak pernah menyampaikan pernyataan itu.
Photo Credit : Ilustrasi /Dok/kominfo.go.id
[ad_2]
Sumber Berita