#  

PFI Desak MA Cabut Perma Protokol Sidang Kekang Kerja Pers

[ad_1]

Jakarta, Gatra.com – Pewarta Foto Indonesia (PFI) mendesak Mahkamah Agung (MA) mencabut Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 5 Tahun 2020 tentang Protokol Persidangan dan Keamanan dalam Lingkup Pengadilan.

Ketua Umum (Ketum) PFI, Reno Esnir, dalam keterangan pers, Senin (21/12), menyampaikan, pihaknya mendesak MA mencabut Perma tersbut karena dapat menghambat atau mengekang hak pers dalam mencari, mengelola, serta menyebarluaskan gagasan dan informasi.

Selain itu, PFI juga meminta MA agar memperhatikan peran jurnalis sebagai perwakilan mata dan telinga publik. “Jika semua dibatasi dan ditutupi, publik akan bisa membuat opini-opini liar terkait peraturan ini,” ujarnya.

PFI menyampaikan desakan tersebut karena Perma Nomor 5 Tahun 2020 tertangal 4 Desember ini, kembali mengatur soal izin kewajiban adanya izin hakim atau ketua majelis hakim untuk dapat mengambil foto, rekaman audio, dan atau rekaman audio visual dalam proses persidangan, dan harus dilakukan sebelum dimulainya persidangan sebagaimana diatur Pasal 4 Ayat (6).

Selain itu, pada Pasal 7 Perma No. 5 Tahun 2020 ini, juga mengualasifikasikan pelanggaran pada Pasal 4 ayat (6) itu sebagai contempt of court atau penghinaan terhadap pengadilan.

PFI menilai ketentuan tersebut akan menghambat fungsi dan peran pers dalam mencari dan menyiarkan informasi kepada publik. Kehadiran jurnalis dalam proses persidangan merupakan bagian dari keterbukaan informasi publik dan jaminan atas akses terhadap keadilan.

Menurut Reno, UU Pers Nomor 40 Tahun 1999, khususnya BAB II Pasal 4 Ayat (3) menjamin kemerdekaan pers dengan memberi hak kepada pers nasional dalam hak untuk mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. Sehingga semestinya MA tidak menghalangi kerja jurnalistik melalui Perma.

MA tidak semestinya menganggap kehadiran jurnalis yang mengambil foto, rekaman audio, dan atau rekaman audio visual sebagai gangguan terhadap peradilan. PFI menilai bahwa peran dan fungsi jurnalis dapat meminimalisir praktik mafia peradilan yang dapat mengganggu independensi hakim dalam memutus perkara.

Keberadaan jurnalis di ruang persidangan penting untuk menjamin proses peradilan berjalan sesuai peraturan yang berlaku dan terpenuhinya akses untuk keadilan. Sebab, dengan terbatasnya akses di ruang persidangan, diyakini akan membuat mafia peradilan makin bebas bergerak tanpa pengawasan jurnalis.

Larangan mengambil foto, rekaman audio, dan atau rekaman audio visual hanya boleh pada kasus kesusilaan atau anak. Sementara pada persidangan terbuka untuk umum sebagaimana diatur Pasal 153 Ayat (3) KUHAP dan Pasal 13 UU Kekuasaan Kehakiman, sehingga pengambilan foto, rekaman audio dan atau rekaman audio visual merupakan bagian dari prinsip keterbukaan informasi publik tidak relevan harus didahului izin hakim atau ketua majelis hakim.

“Sebagai konsekuensi jika proses persidangan tidak dibuka untuk umum maka putusan pengadilan bisa batal demi hukum,” ujarnya.

Peratuan MA ini bukanlah hal yang pertama. Pada 7 Februari 2020 lalu, MA melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum MA Nomor 2 Tahun 2020 tentang Tata Tertib Menghadiri Persidangan, yang isinya tak jauh berbeda, salah satunya mengatur ketentuan ‘Pengambilan Foto, rekaman suara, rekaman TV harus seizin Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan’. Walaupun pada akhirnya surat edaran ini dicabut dengan banyaknya penolakan dari berbagai kalangan.


Editor: Iwan Sutiawan


[ad_2]

Sumber Berita

Exit mobile version