[ad_1]
Jakarta, Gatra.com – Pengurus Pusat Perhimpunan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (PP POGI) pada peringatan Hari Bakti Dokter Indonesia, Kamis (20/5), menegaskan komitmen untuk terus menekan angka kematian ibu hamil.
Jelang peringatan Hari Preeklampsia Sedunia 22 Mei 2021, PP POGI juga menyatakan bahwa penurunan angka kematian ibu dan bayi juga menjadi bagian dari tujuan pembangunan berkelanjutan serta menjadi parameter bagi kemajuan suatu negara.
POGI terus berkomitmen meningkatkan kualitas layanan kesehatan reproduksi di Indonesia yang tercermin dari parameter angka kematian ibu bayi serta kejadian stunting atau masalah gizi kronis.
Ketua Umum PP POGI, dr. Ari Kusuma Januarto, SpOG(K), mengungkapkan bahwa menurut Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2015 lalu, tercatat angka kematian ibu di Tanah Air sekitar 305 per 100 ribu kelahiran hidup.
Sedangkan, angka kematian bayi yakni 24 per 1.000 kelahiran bayi pada tahun 2017. Menurutnya, angka-angka itu menunjukkan bahwa setiap tahun tercatat kurang lebih 15 ribu kematian ibu dari kurang lebih 5 juta kelahiran hidup.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) dan POGI menyorot isu ini secara khusus, dengan membentuk Kelompok Kerja Penurunan Angka Kematian Ibu (Pokja PAKI) yang diketuai oleh Prof. Dr. dr. Dwiana Ocviyanti, SpOG(K). Hingga kini, Pokja PAKI ini berfokus untuk menurunkan angka kematian ibu di 120 kabupaten atau kota di seluruh Indonesia.
“Kami mengevaluasi semua faktor penyebab tingginya angka kematian ibu yang kurang lebih 60% terjadi di RS rujukan. Oleh karena itu, kesiapan RS dalam hal PONEK [Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Komprehensif] dan pelatihan tenaga kesehatan menjadi agenda utama dalam pelatihan serentak yang sudah kami susun dan laksanakan,” kata Dwiana.
Terkait tingginya angka operasi cesar (seksio sesarea), Sekretaris Jenderal (Sekjen) PP POGI, Prof. Budi Wiweko, menjelaskan bahwa data ini menjadi instropeksi bagi para dokter obgyn atau dokter kandungan untuk melihat lagi bagaimana kenyataan yang ada di lapangan.
“Pada tahun 2018, kami [POGI dan Kemenkes RI] membentuk tim yang dipimpin oleh Dr. dr. Andon Hestiantoro, SpOG selaku Ketua Bidang Ilmiah POGI, melakukan audit klinik pada 159 RS yang melakukan tindakan seksio sesarea lebih dari 1,000 kasus per tahun,” katanya.
Menurutnya, dari data 66 RS dan 1.920 rekam medik yang ditelusuri, indikasi janin terbanyak pada seksio sesarea adalah ketuban pecah dini, ketidaksesuaian ukuran bayi dan rongga panggul (disproporsi sefalo pelvik), air ketuban sedikit (oligohidramnion), persalinan tidak maju, dan kelainan posisi atau presentasi bayi di jalan lahir.
“Sementara untuk indikasi ibu, terbanyak pada seksio sesarea adalah riwayat operasi seksio sesarea sebelumnya dan pre eklampsia berat [hipertensi dalam kehamilan],” ungkapnya.
Sementara itu, untuk luaran ibu dan bayi pascaoperasi cesar, hasil audit menunjukkan bahwa 96% ibu dirawat biasa, 2% masuk Intensive Care Unit (ICU), 2% mengalami penyulit, dan tak ada yang meninggal dunia. Rata-rata ibu dirawat selama 3,41 hari.
Kemudian, mutu luaran bayi juga menunjukkan hasil yang baik, yakni 94% bayi dirawat biasa atau rawat gabung, 6% masuk Neonatal Intensive Care Unit (NICU), 4% mengalami komplikasi, serta 1% meninggal. Rata-rata lama rawat bayi selama 3,18 hari. Hal ini menekankan bahwa luaran seksio sesarea pada uji petik ini selaras dengan luaran ibu dan bayi yang baik.
Budi kembali menjelaskan bahwa menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Indonesia tahun 2018, terdapat kurang lebih 4,8 juta persalinan yang 19% atau kurang lebih 1 juta persalinan di antaranya ditolong melalui operasi sesar.
Dari kelompok yang menjalani seksio sesarea ini, kurang lebih 58% pembiayaannya dilakukan lewat program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan 42% sisanya dibiayai melalui skema pembiayaan yang lain.
Menurut Budi, data tersebut menjelaskan, proporsi persalinan operasi sesar di populasi Indonesia masih tergolong rasional dan pemerintah yang membiayai sekitar 58% dari seluruh persalinan seksio sesarea, kurang lebih 600 ribu dari 1 juta seksio sesarea yang ada di Tanah Air.
“Untuk data klaim JKN di RS, proporsi seksio sesarea kurang lebih sebesar 57% yang terdiri dari tingkat keparahan 1, 2, dan 3 sesuai dengan INA CBGs [Indonesia Case Base Groups],” katanya.
Proporsi ini tentu sesuai dengan proses dan sistem rujukan layanan kesehatan di Indonesia yang menempatkan tindakan seksio sesarea hanya bisa dilakukan di Fasilitas pelayanan Kesehatan dan Rawat Tingkat Lanjut [FKRTL]. Namun demikian, pihaknya terus melakukan instropeksi dan evaluasi untuk meningkatkan etik dan profesionalisme seluruh dokter spesialis kandungan di Indonesia.
“Kami mengajak semua pihak yang berkepentingan untuk duduk dan diskusi bersama mengkaji data yang ada sebelum mengeluarkan kebijakan penting bagi peningkatan kualitas layanan kesehatan ibu dan anak di Indonesia,” ujar Ari.
Reporter: Farid Nurhakim
Editor: Iwan Sutiawan
[ad_2]
Sumber Berita