[ad_1]
Sore ini LP3ES dan Komnas HAM berkolaborasi dalam rangka merespons isu yang tengah diperbincangkan oleh masyarakat, topik menarik yang meliputi revisi UU ITE, kebijakan digital dan Demokrasi.
Diskusi publik tersebut mengulik dari berbagai perspektif mengenai hak-hak digital masyarakat yang semakin terancam dengan kebijakan digital yang dianggap masih bermasalah, serta membahas bagaimana problematika regulasi dunia maya juga berdampak pada tren kemunduran demokrasi.
Untuk itu, empat pakar hadir dalam ruang kajian kali ini. Mereka adalah Mimin Dwi Hartono, Herlambang P. Wiratraman, Wijayanto, dan Ika Ningtyas.
Paparan pertama disampaikan oleh Mimin Dwi Hartono yang menyampaikan urgensi Standar Norma dan Pengaturan (SNP) Hak Berpendapat dan Berekspresi sebagai acuan dalam merevisi UU ITE.
Sebenarnya, sebagaimana kita ketahui, hak berpendapat dan berekspresi telah dijamin dalam UUD RI 1945 (sebelum amandemen) di Pasal 28 sehingga menjadi cita-cita, visi, dan warisan para pendiri bangsa.
Segala bentuk regulasi dan kebijakan yang sewenang-wenang membatasi hak ini adalah kemunduran besar peradaban dan demokrasi.
Komnas HAM mendukung revisi UU ITE serta meminta Menkominfo mengkaji ulang Permenkominfo 5/2020 untuk menghormati dan melindungi hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi.
Partisipasi Lembaga Negara Independen serta koalisi masyarakat sipil dan akademisi diperlukan guna memastikan proses revisi UU ITE dan Permenkominfo berjalan partisipatif sehingga tidak ada lagi pasal-pasal yang merugikan hak-hak konstitusional warga negara.
Herlambang P. Wiratraman pun merespon paparan Mimin dengan menyampaikan tiga poin penting yang harus diperhatikan terkait dengan kebijakan digital di Indonesia.
Pertama, tentang arah kebijakan. Dengan kata lain, kebijakan digital fundamental di Indonesia, menurut Rencana Strategis 2020-2024 Kementerian Komunikasi dan Informatika, berdasarkan pada tiga tujuan strategis.
Dalam hal penyediaan dan pemerataan teknologi digital, kemudian percepatan transformasi digital dan transparansi informasi dan pengelolaan komunikasi publik.
Tetapi rencana mulia itu dihalangi oleh semakin maraknya serangan digital yang menjadi poin kedua dalam sorotan Herlambang.
Ironisnya, serangan digital tersebut ditujukan kepada kelompok masyarakat kritis yang kontra terhadap kepentingan elite. Hal ini disebabkan regulasi digital yang disusun dan HAM yang seakan terpisah.
Ketiga, menyangkut bagaimana kebijakan digital yang dibiarkan dalam kondisi tersebut akan berimplikasi pada semakin terancamnya hak digital masyarakat sipil.
Terlebih ketika tafsir atas UU ITE tidak dilakukan dengan perspektif HAM serta penegakan hukum dibiarkan tidak serius dalam menangani pelanggaran HAM di ranah digital.
Oleh karena itu, dukungan politik institusi yang lebih terbuka, bertanggungjawab dan independen sangat lah krusial dalam konteks kebijakan digital.
Selanjutnya, Ika Ningtyas memberikan perspektif dari sisi kebebasan pers yang menjadi salah satu pilar dalam demokrasi.
UU ITE disusun pada masa awal perkembangan media digital, sehingga tidak mampu adaptif dengan pesatnya perkembangan yang terjadi.
Bahkan setelah direvisi untuk pertama kalinya pada tahun 2016, UU ITE justru menjaring lebih banyak jurnalis dalam skenario kriminalisasi.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat setidaknya selama tahun 2020 ada enam kasus jurnalis yang dilaporkan dengan UU ITE, paling banyak menyangkut pasal 27 ayat 3 tentang Defamasi dan pasal 28 ayat 2 tentang Ujaran Kebencian.
Terutamanya, menyangkut jurnalis yang memberitakan isu-isu krusial yang tidak sejalan dengan kepentingan penguasa.
Selain UU ITE, PM Kominfo 5 tahun 2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat. Terdapat tiga pasal bermasalah yang menyangkut untuk pertama kewajiban bagi PSE lingkup privat mendaftar ke Kominfo sebelum menyelenggarakan sistem elektronik, berdampak pada media online dan media alternatif sekaligus membawa kembali nuansa orde baru dalam pers.
Pemutusan akses karena konten yang meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum, berpotensi menjadi aturan karet yang dapat diinterpretasikan secara serampangan.
Untuk kewajiban memberikan akses informasi kepada kementerian, lembaga dan penegak hukum tanpa melalui mekanisme peradilan, berpotensi melahirkan penilaian yang kabur dan bias kepentingan dan mengancam kebebasan pers.
Terakhir, Wijayanto menutup rangkaian paparan materi dengan memberikan perspektif yang lebih luas terkait implikasi kebijakan digital yang bermasalah dengan terhadap kemunduran demokrasi.
Realita yang terjadi di Indonesia belakangan ini, semakin terang sejak era Pandemi 2020 silam, menunjukan fenomena yang bertolak belakang dari ekspektasi optimisme penggunaan teknologi digital, terutama dalam konteks politik.
Ketika UU ITE seharusnya memberikan perlindungan atas hak sipil, negeri ini malah diperhadapkan dengan kebebasan sipil yang tidak kunjung membaik kualitasnya.
Laporan dari Economist Intelligence Unit mengilustrasikan bagaimana skor kebebasan sipil di Indonesia terjun bebas pada tahun 2017, turun dari 7,06 pada tahun 2016 hingga menjadi 5,59 di tahun selanjutnya.
Parahnya, pemerintah seperti tidak punya niatan untuk meningkatkan kebebasan sipil. Pasalnya, angka 5,59 itu terus bertahan hingga tahun 2020. Tetapi, walau pun angkanya stagnan, bukan berarti tidak ada peningkatan dalam usaha penyempitan kebebasan sipil.
Pada 2020, berdasarkan publikasi SafeNet, pemidanaan atas kasal karet meningkat secara drastis, mayoritas dilakukan terhadap masyarakat sipil.
Tidak hanya itu, serangan digital pun juga meningkat, terutama saat kebijakan bermasalah sedang menjadi perbincangan publik.
Wijayanto juga menegaskan bahwa permasalahan yang muncul dalam ranah siber juga terjadi di tingkat antar-negara.
Perusahaan trans-nasional yang bermain sebagai aktor penyedia layanan sosial media seperti terbebas dari jerat hukum. Pada akhirnya, hak sipil harus dilindungi dari ancaman negara dan kapitalis.
[ad_2]
Sumber Berita