[ad_1]
Jakarta, Gatra.com – Meski sudah berumur 16 tahun, berkas Peraturan Pemerintah nomor 44 tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan itu masih teramat mudah diunduh di dunia maya.
Walau cuma berisi 50 pasal, berkas yang diteken oleh Presiden Megawati Soekarnoputri pada 18 Oktober 2004, teramat cukup menjadi bekal penyelenggara negara untuk memisahkan hak rakyat saat Negara memerlukan hamparan tertentu untuk dijadikan kawasan hutan.
Dan yang paling penting digarisbawahi adalah bahwa penyusunan peraturan itu sangat mengormati hak-hak masyarakat, termasuk juga kewenangan gubernur, bupati maupun walikota terkait panitia tata batas.
Lalu tugas panitia tata batas pun dibikin jelas; menyelesaikan masalah hak atas lahan disepanjang trayek batas dan hak-hak atas lahan di dalam kawasan hutan
Puncak penghormatan Negara terhadap hak-hak masyarakat itu nampak di Pasal 22 ayat 2; Dalam hal penataan batas kawasan hutan temu gelang tetapi masih terdapat hak-hak pihak ketiga yang belum diselesaikan, maka kawasan hutan tersebut ditetapkan oleh Menteri dengan memuat penjelasan hak-hak yang ada didalamnya untuk diselesaikan oleh Panitia Tata Batas yang bersangkutan.
Sayang, seiring waktu, aturan ini tinggal aturan. Penyelenggara kehutanan ditengarai hanya serampangan menunjuk hingga menetapkan kawasan hutan itu.
Buktinya, banyak perkampungan rakyat diklaim oleh penyelenggara perhutanan berada dalam kawasan hutan.
Tengok saja sejumlah desa yang ada di Kecamatan Kampar Kiri Hulu Kabupaten Kampar Provinsi Riau yang diklaim menjadi kawasan Suaka Marga Satwa Bukit Rimbang Bukit Baling. Celakanya lagi, di Kalimantan Tengah malah ada sekitar 700 desa yang dijadikan kawasan hutan.
“Mereka tinggal tunjuk warna, sesuai kode kawasan hutannya. Jujur saya sangat jengkel dengan cara-cara seperti itu. Seolah-olah peta yang mereka bikin itu ‘Tuhan’. Padahal peta dan warna peta itu mereka sendiri yang bikin,” rutuk Ketua DPW Apkasindo Kalteng, JMT Pandiangan saat berbincang dengan Gatra.com di Palangkaraya, dua pekan lalu.
Serampangannya penunjukan dan penetapan kawasan hutan tadi diperparah pula oleh banjirnya izin-izin korporasi perhutanan dan perkebunan yang ditengarai tidak pernah dilakukan penataan batas. Seluas apa lahan yang ditunjuk, itulah yang diklaim.
Soal ada atau tidak hak masyarakat dan pemukiman masyarakat di sana, tinggal selesaikan dengan cara kekerasan. Alasan penyelesaian sederhana saja; ini areal izin perusahaan!
Yang belakangan menjadi unik, banyak pula hak rakyat yang sudah bersertifikat, tiba-tiba berubah jadi kawasan hutan. Imbas dari persoalan yang ada ini, banyak rakyat yang tak bisa memanfaatkan nilai ekonomis lahannya lantaran klaim kawasan hutan tadi.
Dan banyak rakyat yang menjadi korban dan bahkan stres setelah diuber-uber oleh perusahaan yang mengklaim lahannya.
Pakar perhutanan IPB, Sudarsono Soedomo malah menyebut kalau penunjukan kawasan hutan memang sangat serampangan.
“Kasus semacam ini di luar Pulau Jawa sangat banyak. Proses pengukuhan kawasan umumnya dimulai dengan penataan batas luar yang mencaplok pemukiman masyarakat yang ada. Tatabatas batas luar umumnya juga belum ketemu gelang. Tatabatas batas dalam tidak jelas berapa lama dapat diselesaikan. Akibatnya rakyat terpenjara tanpa kejelasan kapan selesainya,” urai lelaki 64 tahun ini.
Anehnya, sengkarut yang sudah berlangsung lama ini seolah-olah sah di mata hukum. Bisa jadi gara-gara fenomena ini pula, oknum-oknum kemudian memanfaatkan klaim kawasan hutan jadi-jadian ini untuk mendulang duit, khususnya dari petani kelapa sawit yang diklaim dalam kawasan hutan itu.
Masalah makin runyam, muncullah yang namanya Peraturan Presiden nomor 88 tahun 2017 tentang Penyelesaian Persoalan Tanah di kawasan hutan. Sayang, peraturan ini nyaris mandul.
Sudahlah nyaris mandul, muncul pula aturan lain yang menggiring hak-hak rakyat ini untuk menjadi perhutanan sosial, bukan malah menyelesaikan hak-hak rakyat yang sudah lama dikebiri.
Belakangan, muncullah Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) nomor 11 tahun 2020. Tak terhitung senangnya rakyat atas aturan baru ini meski di pasal yang ada, belum ada kepastian tentang hak rakyat yang sebenarnya.
Tapi rasa senang itu ternyata hanya sebentar. Sebab Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) UUCK terkait perkebunan yang beberapa hari belakangan dimintai aspirasi rakyat, justru membikin rakyat terbelalak.
Dibilang terbelalak lantaran klaim kawasan hutan teramat menonjol. Hak rakyat yang katanya berada dalam klaim kawasan hutan, dibilang keterlanjuran dan musti didenda dengan jumlah yang tak masuk akal jika lebih dari 5 hektar.
Tim serap aspirasi, Prof. Budi Mulyanto yang menjadi host dalam webinar Institut Pertanian Bogor (IPB) kemarin, langsung bilang tegas bahwa yang terlanjur itu pemerintah, bukan rakyat.
Banyak orang kemudian menilai bahwa RPP itu seolah-olah menjadi ajang bagi penyelenggara perhutanan untuk mengubur dalam-dalam kesalahan masa lalunya.
Dibilang kesalahan masa lalu lantaran PP 44 tahun 2004 tadi tidak dijalankan. Sebab kalau dijalankan, tak akan pernah rakyat bermasalah dengan kawasan hutan maupun korporasi.
Hanya saja, dalam webinar yang digelar IPB kemarin itu, Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Sigit Hardwinarto menyebut bahwa beberapa undang-undang sebelumnya belum mengatur secara tegas keberadaan masyarakat terkait kawasan hutan. Itulah makanya penyelesaiannya belum optimal.
Pernyataan Sigit ini tentu bertabrakan dengan apa yang diperintahkan oleh PP 44 tahun 2004 itu. Itu pula yang membikin Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), Gulat Medali Emas Manurung, berang.
“Kok dibilang tak ada aturan yang tegas? PP 44 2004 itu apa? Kalau itu dijalankan sejak 16 tahun lalu, saya yakin persoalan seperti sekarang tidak ada,” ujar lelaki 48 tahun ini.
Asal tahu saja kata Gulat, orang sudah turun temurun di desanya, seolah-olah dianggap satwa langka lantaran dimasukkan dalam hutan suaka marga satwa.
“Pohon kelapa sawit orang sudah tinggi-tinggi, dibilang kawasan hutan. Ini maksudnya apa? Dan perlu saya tegaskan, sedari awal petani sangat mendukung UUCK. Tapi untuk RPP ini, petani menolak. Entah siapalah yang membikin itu, petani tak yakin presiden yang menyuruh seperti itu,” tegasnya.
Oleh sengkarut yang dibikin sendiri oleh penyelenggaran perhutan tadilah kemudian, Apkasindo terang-terangan menolak isi RPP tadi, termasuk urusan denda yang ada di dalamnya. “Mereka yang salah kok jadi rakyat pula yang dipersalahkan dan didenda. Kami enggak terima ini. Kami sudah menyurati presiden terkait RPP itu,” kata Gulat.
Bagi Ketua DPW Apkasindo Papua Barat, Dorteus Paiki, Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) bakal sangat terganggu jika klaim sawit dalam kawasan hutan tidak diselesaikan segera.
Lantaran itu dia meminta supaya Presiden Jokowi tidak jadi pengikut presiden sebelumnya, tapi harus berani menyelesaikan sengkarut lintas rezim presiden.
“Kami di Papua Barat sangat tegas. Kami berani, kompak dan didukung oleh Pemprov Papua. Masyarakat Papua Barat tidak butuh yang bertele-tele, kami butuh untuk hidup, bukan untuk kaya raya, masa untuk rakyat sejahtera saja dihindari? Perlu kita ingat, petani sawit adalah pemersatu NKRI dari Sabang sampai Merauke, jangan dibolak balik,” tegasnya.
Abdul Aziz
Editor: Abdul Aziz
[ad_2]
Sumber Berita