[ad_1]
Sebuah tim ilmuwan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang menyelidiki sumber virus corona, yang pertama kali muncul di provinsi Hubei, China, pada akhir tahun 2019, mengunjungi Pusat Pengendalian Penyakit provinsi itu, Senin (1/2) yang penting dalam pengendalian awal wabah COVID-19.
China tidak merilis rincian apa pun tentang kunjungan tim itu ke Pusat Pengendalian Penyakit Provinsi Hubei. Namun anggota tim Peter Daszak, mengatakan kepada reporter bahwa ini merupakan sebuah “pertemuan sangat baik, benar-benar penting.”
Sejak kedatangan tim WHO bulan lalu, para ilmuwan itu juga telah mengunjungi pasar Ikan Huanan yang dikaitkan dengan satu klaster kasus COVID dan setidaknya satu rumah sakit di Wuhan yang merawat beberapa pasien pertama COVID-19.
Tim ilmuwan WHO ingin mengetahui dari mana virus itu berasal, dari hewan apa, dan bagaimana virus itu menjangkiti manusia, sesuatu yang akan memakan waktu bertahun-tahun untuk mengetahuinya.
Wabah di China menyebabkan pandemi virus COVID-19 di seluruh dunia. John Hopkins Coronavirus Resource Center mengatakan, Senin (1/2) bahwa kasus infeksi COVID-19 hampir mencapai 103 juta di seluruh dunia. Lebih dari dua juta orang telah meninggal, kata John Hopkins.
Amerika terus memiliki kasus lebih banyak daripada negara lainnya dengan catatan lebih dari 26,1 juta. India di bawahnya dengan 10,7 juta kasus infeksi dan Brasil di tempat ketiga dengan 9,2 juta kasus.
Amerika juga memiliki lebih banyak kematian akibat virus corona dibandingkan dengan negara lainnya, dengan catatan lebih dari 441.000, diikuti Brazil dengan lebih dari 224.000 kematian dan Meksiko dengan lebih dari 158.000 kematian.
Seorang ahli epidemiologi AS terkemuka, mengatakan, Minggu (31/1), ia meyakini virus COVID-19 dari Inggris yang lebih mematikan dan sangat menular dapat menjadi jenis dominan di Amerika dalam beberapa minggu mendatang, mengakibatkan lonjakan infeksi “seperti yang belum pernah kita lihat sebelumnya di negara ini.”
Michael Osterholm, yang bertugas di dewan penasihat virus corona masa transisi Presiden Joe Biden, berbicara dalam acara “Meet The Press” di saluran TV NBC, Minggu (31/1), mendesak pemerintahan Biden dan kota-kota di Amerika untuk giat menyuntik warga Amerika dengan vaksin COVID-19 menjelang “badai” varian Inggris.
Di Yerusalem, Minggu (31/1), ribuan warga ultra-Ortodoks Israel yang mengenakan pakaian hitam, mengabaikan larangan negara terkait pertemuan besar-besaran untuk menghadiri acara pemakaman terpisah dua rabi terkemuka. Kerumunan orang yang padat juga mengabaikan perintah mengenakan masker dan jarak sosial. Masing-masing prosesi pemakaman melalui jalan-jalan di kota itu. Israel telah melakukan program vaksinasi yang agresif, namun pihak berwenang khawatir bahwa pertemuan massal di Yerusalem, Minggu, dapat membatalkan kemajuan dan menimbulkan lonjakan kasus COVID-19.
Uni Eropa mengumumkan Minggu (31/1) bahwa perusahaan Inggris, AstraZeneca telah setuju untuk mengirim lebih dari sembilan juta dosis vaksin ke negara-negara Uni Eropa.
AstraZeneca juga akan mengirim dosis tersebut sepekan lebih cepat daripada yang direncanakan, tulis Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen di Twitter, seraya menyebut kabar itu “satu langkah maju ke arah vaksin.”
Di benua Afrika, hanya sedikit negara yang mampu memulai vaksinasi untuk rakyat mereka. Hari Minggu, Ghana mengumumkan rencananya mendapatkan 17,6 juta dosis vaksin selambat-lambatnya musim panas ini, dengan gelombang pertama vaksin tiba pada bulan Maret. “Tujuan kami adalah memvaksinasi seluruh populasi, dengan target awal 20 juta orang,” kata Presiden Nana Akufo-Addo hari Minggu.
Ia juga mengumumkan langkah-langkah yang lebih ketat dalam menghadapi virus, termasuk melarang pertemuan orang dalam jumlah besar, sementara negara itu menghadapi gelombang kedua wabah. [lj/uh]
[ad_2]
Sumber Berita