[ad_1]
Jakarta, Gatra.com – Warga Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) akan menggugat mantan Menteri Sosial (Mensos) Juliari P. Batubara karena merasa dirugikan ulah yang bersangkutan, yakni diduga mengorupsi paket Bantuan Sosial (Bansos) berupa bantuan Sembako.
Tim Advokasi Korban Korupsi Bansos dari berbagai lembaga dalam konferensi pers virtual pada Minggu (13/6), menyampaikan, pihaknya akan mengajukan gugatan terhadap Juliari Batubara ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus).
“Rencananya besok akan kita ajukan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada saat sidang perkara korupsi Juliari Batubara,” kata Nelson Nikodemus Simamora, Kepala Advokasi LBH Jakarta.
Kepala Divisi Hukum KontraS, Andi Muhammad Rezaldi, mengungkapkan, setelah Tim Advokasi dari beberapa lembaga mendirikan Posko Pengaduan Korban Korupsi Bansos, sejak 21 Maret sampai dengan 4 April 2021, setidaknya telah menerima sejumlah aduan dari masyarakat.
“Pos pengaduan ini kita buka bagi masyarakat terdampak korupsi Bansos di Jabodetabek,” ungkapnya.
Tim Advokasi terdiri dari ICW, LBH Jakarta, YLBHI, KontraS, Change.org, dan Visi Integritas Law Office, mendalami dan memverifikasi data-data berbagai aduan masyarakat soal Bansos Sembako di Jabodetabek.
“Berdasarkan hal itu, kami setidak-tidaknya terdapat kurang lebih 18 orang yang akan menjadi penggugat dalam gugatan perbuatan melawan hukum dengan mekanisme gugatan ganti kerugian berdasarkan Pasal 98 KUHAP,” ujarnya.
Adapun ketentuan Pasal 98 KUHAP, Ayat (1); Jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam suatu pemeriksaan perkara pidana oleh pengadilan negeri menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka hakim ketua sidang atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian kepada perkara pidana itu. Pasal 98 Ayat (2) KUHAP; Permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 hanya dapat diajukan selambat-lambatnya sebelum penuntutan umum mengajukan tuntutan pidana. Dalam hal penuntut umum tidak hadir, permintaan diajukan selambat-lambatnya sebelum hakim menjatuhkan putusan.
Berdasarkan pengaduan yang diterima Tim Advokasi, lanjut Andi, pada umumnya para penggugat mendapatkan paket Bansos Sembako yang tidak layak untuk dikonsumsi. Adapun gugatan yang diajukan terhadap Juliari Batubara, yakni ganti kerugian.
“Itu merupakan bentuk upaya bagi para korban untuk merebut hak-hak mereka yang dirampas oleh para pejabat publik yang korup,” ujarnya.
Selain itu, mekanisme ini ditempuh untuk menuntut negara bahwa pertanggungjawabannya tidak boleh hanya berhenti pada memidanakan seseorang karena tindakan kejahatannya, tetapi jauh dari itu, negara juga wajib memulihkan para korban yang terdampak korupsi Bansos Sembako.
“Dalam kasus ini, sebetulnya kami melihat warga yang terdampak korupsi menjadi korban berkali-kali. Pertama, kegagapan pemerintah dalam penanganan Covid-19 yang mengancam keselamatan para warga. Kedua, pembatasan yang serampangan hingga Bansos yang dikorupsi,” ujarnya.
Menurut Andi, kasus dugaan korupsi Bansos ini jelas merupakan tragedi kemanusiaan yang telah menyebabkan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berlipat-lipat, mulai dari hak sipil dan politik maupuan ekonomi, sosial, dan budayanya.
“Padahal sudah 20 tahun Kovenan [Internasional tentang Antikorupsi/UNCAC] itu diratifikasi, namun pemerintah belum juga menjalankan kovenan-kovenan tersebut secara progresif,” ujarnya.
Ia melanjutkan, kasus dugaan korupsi Bansos ini sebetulnya menambah akumulasi kekecewaan masyarakat terhadap pemerintah, yang sebetulnya terkakumulasi dari berbagai kasus masa lalu, mulai HAM berat yang tidak tuntas, penyiksaan yang berulang, hingga aparat keamanan yang mendobrak masuk dalam jabatan sipil.
Situasi semacam ini, lanjut Andi, berdampak pada pembusukan demokrasi. Hal ini terkonfirmasi dari temuan berbagai lembaga dan ahli, seperti temuan Economist Intelligence Unit, yang menyatakan, kualitas demokrasi di Indonesia sebagai demokrasi yang tidak sempurna dan mendapatkan skor terendah dalam 14 tahun trakhir.
Kemudian, peneliti politik dari Australian National University, Edward Aspinall dan Marcus Mietzner, menyebutkan bahwa saat ini demokrasi Indonesia sedang berada di titik terendah.
“Jadi kami ingin menekankan bahwa gugatan yang ingin diajukan nanti merupakan bentuk upaya para korban untuk mendapatkan hak-hak mereka yang dirampas oleh pejabat publik yang korup,” katanya.
Nelson melanjutkan, ganti kerugian ini merupakan mekanisme dalam hukum gugatan yang secara khusus diatur dalam Pasal 98 KUHAP, yaitu penggabungan gugatan ganti kerugian pada saat perkara pidananya sedang diperiksa secara bersama-sama di pengadilan, dalam hal ini Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.
“Jadi pada saat sidang pidana sedang berjalan, kemudian memasukkan gugatan secara perdata yang kemudian diperiksa bersama-sama dengan pemeriksaan perkara pidananya. Nanti diputuskan gugatan kita dan perkara pidananya pada putusan yang sama. Jadi nanti ada 2 putusan, putusan perkara pidananya dan perkara perdatanya, dalam hal ini gugatan ganti rugi,” ujarnya.
Nelson menyampaikan, masyarakat korban korupsi Bansos di Jabodetabek menggugat Juliari Batubara untuk meminta ganti rugi sebagai bentuk reparasi dalam konteks asasi manusia dan antikorupsi. Kemudian, ini adalah bentuk kompensasi bagi korban korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 Kovenan Antikorupsi.
Selain mengajukan gugatan ganti rugi, Tim Avokasi bersama 18 orang korban selaku penggugat, akan menghadiri persidangan perkara dugaan korupsi Bansos terdakwa Juliari Batubara yang akan digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta pada PN Jakpus, pada Senin (14/6).
“Untuk kemudian menyatakan keinginan kita untuk mengajukan penggabungan gugatan ganti kerugian dalam sidang yang terbuka untuk umum. Kalau tidak salah, sidangnya besok,” ujarnya.
Menurut Nelson, ini merupakan pemberitahuan kepada pihak PN Jakpus serta majelis hakim yang memeriksa perkara dugaan korupsi Bansos yang membelit terdakwa Juliari Batubara.
“Kebetulan, informasi yang kami terima juga yang mengadili perkara ini [korupsi Juliari] adalah ketua Pengadilan Jakarta Pusat, sendiri,” katanya.
Tim Advokasi dan korban yang menjadi penggugat mengharapkan PN Jakpus tidak menghambat gugatan ini, melainkan menerimanya dengan tangan terbuka. “Besok akan datang juga ibu-ibu ini dan kemudian yang berhalangan hadir hadir [pada konferensi pers] juga besok akan datang menuntut kedilan,” ujarnya.
[ad_2]
Sumber Berita