Momen Lebaran yang Terlewatkan: Ketegangan di Balik Pintu Rumah Dinas Ketua Mahkamah Agung

TEMPOSIANA.comMomen Lebaran yang Terlewatkan: Ketegangan di Balik Pintu Rumah Dinas Ketua Mahkamah Agung

Lebaran datang dengan segala kemuliaannya, membawa harapan baru bagi setiap jiwa yang merindukan kedamaian.

Sebuah saat yang seharusnya penuh dengan tawa, senyum, dan salam maaf yang tulus. Hari yang penuh dengan janji untuk mempererat silaturahmi dan memperbaiki hubungan yang mungkin sempat retak.

Namun, bagi beberapa orang, terutama bagi mereka yang bekerja di balik layar pemberitaan, Lebaran kali ini terasa berbeda. Ketegangan yang tak terduga mengiringi perayaan tersebut, dan itu berawal dari sebuah pintu rumah dinas yang tak terbuka bagi sebagian orang.

Rumah dinas Ketua Mahkamah Agung (MA), sebuah bangunan yang biasanya berdiri dengan anggun di Jalan Denpasar 20, Kuningan, Jakarta Selatan, dijadikan sebagai tempat pelaksanaan acara halal bihalal yang dihadiri oleh para hakim, pejabat peradilan, hingga sejumlah pengusaha dan pengacara.

Seperti biasa, ini adalah saat yang sangat dinanti, sebuah kesempatan untuk berkumpul, saling bermaaf-maafan, dan mempererat hubungan antar sesama.

Namun, ada yang tidak biasa dalam acara kali ini. Pintu yang seharusnya terbuka lebar, baik untuk membangun hubungan, maupun untuk memberi ruang bagi mereka yang ingin meliput, justru tertutup rapat.

Para jurnalis yang telah terbiasa meliput kegiatan di Mahkamah Agung tiba-tiba dilarang masuk oleh pihak protokoler MA.

Sebuah keputusan yang tak terduga, dan membuat suasana Lebaran yang seharusnya penuh dengan kedamaian berubah menjadi sesuatu yang jauh dari harapan.

Ketegangan yang tercipta bukan sekadar akibat adanya pembatasan fisik, tetapi juga karena adanya sikap yang terasa “paranoid” dari pihak protokoler MA.

Para jurnalis, yang sejatinya hanya ingin berpartisipasi dalam momen penuh berkah ini, malah merasakan penghalang yang tak dapat dijelaskan.

Sebuah penutupan pintu yang tak hanya membatasi fisik, tetapi juga menghalangi niat baik untuk saling berbagi, saling memaafkan, dan memperbaiki hubungan.

Sungguh ironis, momen yang seharusnya menjadi ladang untuk saling memberi maaf dan mempererat hubungan, malah berubah menjadi ajang ketegangan.

Bagi banyak jurnalis, ini terasa seperti sebuah perpecahan kecil yang mengguncang hubungan antara Mahkamah Agung dan wartawan.

Sebuah ironi, mengingat betapa selama ini, Mahkamah Agung di bawah kepemimpinan Ketua MA sebelumnya, Prof. Syarifuddin, dikenal dengan sikap yang ramah dan terbuka.

Prof. Syarifuddin selalu menyambut wartawan dengan senyuman hangat dan tangan terbuka. Beliau tahu betul bahwa dalam dunia jurnalistik, komunikasi yang terbuka adalah jembatan untuk memahami, bukan tembok yang menghalangi.

Apakah kemudian dengan hadirnya Ketua MA yang baru, Prof. Sunarto kebijakan jadi berbeda, yang lebih memilih untuk menutup pintu bagi wartawan.

Banyak yang bertanya-tanya, apakah ini adalah sebuah langkah untuk menjaga jarak, ataukah suatu kebijakan yang menganggap wartawan sebagai ancaman daripada mitra?

Kebijakan yang justru menciptakan dinding pemisah, ketimbang membuka pintu untuk memperbaiki hubungan.

Di tengah kebingungannya, Syamsul Bahri, Ketua Forum Silaturahmi Mahkamah Agung (Forsimema), yang juga mewakili jurnalis yang sering meliput di Mahkamah Agung, mengungkapkan kekecewaannya.

“Kami pun tidak diizinkan untuk ikut serta dalam acara tersebut,” ujarnya dengan nada penuh pilu.

“Jurnalis yang tergabung di Forsimema pun tak bisa masuk,” tambahnya dengan suara yang menggambarkan betapa beratnya momen itu bagi mereka.

Bagi Syamsul, dan tentu saja bagi banyak jurnalis lainnya, momen Lebaran seharusnya menjadi saat untuk mempererat hubungan, memperbaiki yang retak, dan memperkuat ikatan antar sesama, bukan menjadi ajang pembatasan.

Syamsul mengungkapkan harapannya agar momen Lebaran kali ini bisa menjadi kesempatan untuk saling memberi maaf dan memperbaiki hubungan yang sempat terpecah.

“Semoga dengan acara halal bihalal ini kita dapat semakin mendekatkan diri kepada Allah SWT, dan semakin erat dalam menjalin hubungan dengan sesama manusia,” ujarnya dengan penuh harapan.

Harapan agar konsep hablumminallah dan hablumminannaas bisa terwujud, agar kedamaian antara semua pihak dapat tercipta.

Bukankah Lebaran adalah saat yang tepat untuk membuka pintu hati, bukan menutupnya rapat-rapat?

Bukankah tujuan dari setiap pertemuan adalah untuk mempererat silaturahmi, bukan membangun tembok pemisah antara sesama?

Momen Lebaran ini seharusnya menjadi peluang untuk saling memberi maaf dan memperbaiki hubungan, namun yang terjadi malah ketegangan yang meresahkan.

Sebagai umat manusia, kita diajarkan untuk selalu mengedepankan rasa saling pengertian dan kebersamaan, terlebih pada hari yang penuh berkah ini.

Semoga, ke depan, kita dapat kembali merayakan Lebaran dalam suasana yang penuh dengan kebersamaan, saling memaafkan, dan mempererat ikatan yang sempat renggang.

Sebab, dalam kesederhanaan dan kebersamaanlah, kita bisa merasakan kedamaian yang sejati.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *