[ad_1]
: Keberadaan Cerpenis dalam Sistem Pengarang
Djoko Saryono *
Berdasarkan genre (bentuk) sastra yang pada zaman sekarang umumnya dipilah atau diklasifikasikan menjadi genre puisi, fiksi dan lakon drama (sastra dramatik), maka pengarang sastra pun dapat dipilah atau diklasifikasikan men-jadi pengarang puisi (atau penyair), pengarang fiksi dan pengarang lakon dra-ma (sastra dramatik). Pengarang puisi atau penyair adalah orang yang menulis puisi atau berprofesi sebagai penulis puisi; pengarang fiksi adalah orang yang menulis fiksi atau berprofesi sebagai penulis fiksi; dan pengarang lakon drama adalah orang yang menulis lakon drama atau berprofesi sebagai penulis lakon drama. Berhubung fiksi pada umumnya dipilah menjadi cerpen dan novel, maka pengarang fiksi dapat pula dipilah menjadi pengarang cerpen dan pengarang novel. Dalam khazanah peristilahan kesusastraan Indonesia, pengarang cerpen disebut cerpenis, artinya orang yang menulis cerpen atau berprofesi sebagai penulis cerpen; sedangkan pengarang novel disebut novelis, artinya orang yang menulis novel atau berprofesi sebagai penulis novel. Dari sinilah dapat dinya-takan bahwa cerpenis merupakan seorang pengarang sastra yang menulis cerpen atau berprofesi sebagai penulis cerpen.
Pada zaman sekarang keberadaan, kedudukan, fungsi dan peran cerpe-nis pada sangat jelas dan kokoh dalam dinamika sejarah pertumbuhan dan perkembangan sastra. Pernyataan ini didasari oleh tiga pertimbangan sebagai berikut. Pertama, zaman sekarang sangat mengutamakan keringkasan dan kepraktisan sehingga bentuk cerpen lebih banyak diminati dan digemari oleh banyak orang karena bentuknya yang ringkas-pendek dan jalan ceritanya tidak “njelimet” atau praktis. Sebagaimana halnya membaca puisi, membaca cerpen memerlukan waktu lebih ringkas, tidak menyita banyak waktu, dan tidak memerlukan pemahaman kompleks dibandingkan dengan membaca novel dan lakon drama. Tidak mengherankan, banyak orang lebih memilih menulis cerpen daripada menulis novel dan atau lakon drama. Kedua, kebijakan media massa cetak dan juga elektronis lebih banyak menyediakan ruang atau rubrik bagi cerpen daripada novel dan puisi sehingga popuralitas cerpen lebih tinggi dan persebaran cerpen lebih luas. Di media massa cetak, peluang pemuatan cerpen jauh lebih tinggi daripada novel dan puisi, apalagi lakon drama. Tidak mengherankan, banyak orang lebih memilih menulis cerpen daripada novel, lakon drama dan atau puisi sehingga kuantitas cerpenis sangat banyak, melebihi novelis, penyair dan atau penulis lakon drama. Ketiga, cerpen memiliki “gengsi” dan reputasi yang setara – tidak kalah – dengan novel, lakon drama dan atau puisi dalam dunia akademis, dunia kritik sastra dan bahkan masyarakat sastra sehingga cerpen memperoleh pengakuan secara akademis dan sosial yang tinggi. Tidak mengherankan, banyak orang terjun menjadi penulis cerpen atau cerpenis daripada menjadi penulis novel, lakon drama dan puisi. Dalam sejarah kesusastaraan juga telah terbukti banyak cerpenis memperoleh pengakuan dan penghargaan yang bergengsi, misalnya penghargaan Nobel Sastra. Dengan demikian, sekarang tidak ada yang meragukan keberadaan dan kedudukan cerpenis dalam sistem sastra, sistem sosial, bahkan sistem budaya tertentu. Legitimasi cerpenis sangat kuat dalam sistem kepengarangan, bahkan sistem sastra.
Cerpenis dapat diklasifikasikan menjadi cerpenis laki-laki dan cerpenis perempuan berdasarkan identitas seksual sekaligus identitas gender. Pembagian ini didasari oleh dua pertimbangan. Pertama, atas dasar identitas seksual-biologis manusia dibagi menjadi laki-laki dan perempuan sehingga cerpenis pun dapat dibagi menjadi cerpenis laki-laki dan cerpenis perempuan. Kedua, atas dasar identitas sosial-gender diketahui bahwa ada perbedaan signifikan antara tulisan laki-laki dan perempuan sehingga pembedaan cerpenis laki-laki dan cerpenis perempuan bukan sekadar soal identitas seksual (Djajanegara, 2000:40—50). Lebih lanjut, Djajanegara (2000:40-41) menyatakan bahwa sesungguhnya pengarang perempuan termasuk cerpenis perempuan memiliki eksistensi dan karya yang kuat dan khas, tidak kalah dengan pengarang laki-laki, tetapi mereka dilabeli dan distereotipekan secara negatif dalam dunia sastra. Selanjutnya dikatakan bahwa kritik sastra feminis telah berhasil membongkar bentuk-bentuk pelabelan dan penstereotipean secara negatif pengarang-pengarang perempuan beserta karya-karya mereka pada satu pihak dan pada pihak lain berhasil membuktikan betapa pentingnya dan bermaknanya keberadaan, kedudukan, peranan dan sumbangan pengarang-pengarang perempuan beserta karya-karya mereka. Hal tersebut menunjukkan bahwa baik pengarang laki-laki maupun pengarang perempuan sesungguhnya sama-sama memiliki kesetaraan kedudukan, peranan, fungsi serta sumbangan yang berarti dalam dunia sastra khususnya dalam dinamika sejarah pertumbuhan dan perkembangan sastra. Dalam hubungan ini juga dapat disimpulkan bahwa keberadaan, kedudukan, peranan, fungsi dan sumbangan cerpenis perempuan setara dengan cerpenis laki-laki dalam sistem sastra khususnya sistem kepengarangan.
Sehubungan dengan itu, di samping penting diketahui profil cerpenis laki-laki, penting juga diketahui profil cerpenis perempuan dalam sistem sastra agar dapat diketahui gambaran komprehensif tentang sistem kepengarangan, sistem sejarah sastra, sistem kritik sastra, bahkan sistem penerbitan karya sastra. Berlandasakan pikiran Djoko Damono (1993), Mahayana (2003), dan Tanaka (dalam Widati, 1990), profil cerpenis perempuan yang dimaksud dapat diperinci menjadi aspek (a) indentitas sosial budaya cerpenis perempuan yang hadir, berpartisipasi aktif dan terlibat intensif dalam sistem kepengarangan, sistem sejarah sastra dan sistem kritik sastra, (b) peranan kepengarangan atau kesastrawanan yang telah dipilih, dijalankan dan atau “dimainkan” oleh cerpenis perempuan dalam sistem kepengarangan, sistem sejarah sastra dan sistem kritik sastra, dan (c) sumbangan atau kontribusi literer yang diberikan oleh cerpenis perempuan bagi sistem sastra, sistem sejarah sastra, dan sistem kritik sastra. Dengan demikian, dapat diketahui gambaran komprehensif tentang profil cerpenis perempuan dalam sistem sastra terutama dalam sistem kepengarangan, sistem sejarah sastra dan sistem kritik sastra. Lebih lanjut, dapat pula diketahui kondisi sistem kepengarangan, sistem sejarah sastra dan sistem kritik sastra.
***
*) Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd., Guru Besar Jurusan Sastra Indonesia di Fakultas Sastra pada kampus UNM (Universitas Negeri Malang). Telah banyak menghasilkan buku, artikel apresiasi sastra, serta budaya. Dan aktif menjadi pembicara utama di berbagai forum ilmiah kesusatraan tingkat Nasional juga Internasional.
[ad_2]
Sumber Berita