[ad_1]
Imunisasi akan membuat tubuh seseorang mengenali bakteri/virus penyebab penyakit tertentu, sehingga bila terpapar bakteri/virus tersebut menjadi lebih kebal
Pandemi COVID-19 meluluhlantakkan sendi-sendi kehidupan, baik sosial, maupun ekonomi dan lainnya di Indonesia.
Berbagai upaya sudah dan sedang ditempuh oleh berbagai negara di dunia. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pun sejak awal pandemi ini, sudah berkoordinasi, mengupayakan segala cara, menganalisis data, memanggil para ahli untuk berkontribusi dan sebagainya.
Pemerintah Indonesia pun, tak luput dari arahan dan saran dari WHO, terkait dengan penanganan dan sebagainya.
Saat awal-awal pandemi menggempur negeri berpenduduk 260 juta lebih dan bercirikan kepulauan ini, setidaknya pemerintah punya dua opsi sikap untuk melawan dan mengatasinya.
Opsi pertama adalah menutup seluruh akses (lock down) penyebaran virus dengan masa inkubasi 14 hari itu, sehingga harapannya virus tak sempat berkembang dan mati di udara. Opsi kedua adalah pembatasan sosial berskala besar (PSBB).
Memang setiap pilihan ada risikonya. Jika pilihan jatuh pada opsi pertama, maka maka seluruh sektor harus siap untuk berhenti total, tetapi kehidupan tetap ada. Artinya, tidak berkegiatan, kecuali sektor strategis, segala kebutuhan tetap terpenuhi dan tidak berdampak serius.
Sedangkan jika opsi yang kedua dipilih maka bangsa ini harus siap bahwa virus itu akan ada di kehidupan sehari-hari. Penularan akan tetap terjadi karena masih ada interaksi. Interaksi menghasilkan transmisi virus, itu tak bisa dihindari.
Namun, kelebihannya adalah kehidupan ekonomi tetap berjalan dan inilah yang dipilih Presiden Joko Widodo beserta jajarannya.
Grafik meninggi
Laporan Satuan Tugas (Satgas) Penanganan COVID-19 menyebutkan hingga Ahad (6/12) pukul 12.00 WIB total kasus terkonfirmasi positif sebanyak 6.089, sedangkan pasien sembuh dari penyakit COVID-19 tercatat bertambah sebanyak 4.322 orang.
Kemudian, total pasien sembuh menjadi 474.771 orang dari pasien positif 575.796 orang. Adapun korban meninggal akibat COVID-19 tercatat bertambah 151 orang menjadi total 17.740 orang.
Sementara itu, berdasarkan distribusi jumlah kasus, Jawa Barat mencatatkan penambahan jumlah pasien sembuh paling banyak, yaitu 1.125 orang dengan kasus positif sebanyak 1.388 orang dan kasus meninggal tujuh orang.
Kemudian, DKI Jakarta melaporkan kasus sembuh baru sebanyak 1.055 orang dengan kasus positif 1.331 dan meninggal 23 orang, Jawa Timur 383 orang sembuh dengan 572 orang positif dan 34 orang meninggal, Sumatera Barat mencatat 334 kasus sembuh baru dan kasus positif sebanyak 139 orang, dengan kasus meninggal sebanyak 6 orang.
Berikutnya, Riau mencatat 192 kasus sembuh dengan 225 orang terkonfirmasi positif dan 3 kasus meninggal, Jawa Tengah 142 orang sembuh dengan 528 orang positif dan 38 kasus meninggal, sementara Aceh mencatat 118 orang sembuh dengan 38 kasus positif dan tidak ada orang yang dilaporkan meninggal akibat COVID-19.
Lebih lanjut, Satgas mencatat tiga provinsi yang melaporkan kasus baru di bawah 10, sementara dua provinsi pada Ahad ini melaporkan tidak ada penambahan kasus, yaitu Kalimantan Barat (Kalbar) dan Kalimantan Tengah (Kalteng).
Kemudian, Satgas COVID-19 juga mencatat kasus suspek sebanyak 70.091 orang di 508 kabupaten/kota yang tersebar di 34 provinsi seluruh Indonesia.
Angka pertambahan 6000 lebih kasus positif COVID-19 itu, secara kasat, grafiknya terus meninggi bila dibandingkan dengan awal pandemi pada Maret 2020 yang hanya dua kasus.
Bahkan, bisa dikatakan, kasus konfirmasi positif COVID-19 di Indonesia, makin lama, makin memburuk. Terbukti, grafiknya tidak pernah turun. Kondisi ini pun secara gamblang diakui oleh orang nomor satu di Indonesia di penghujung November 2020.
Metode monoton
Indonesia dan negara lainnya di dunia ini, belum menemukan metode jitu untuk menghentikan laju pertambahan kasus positif dan aktif COVID-19 pada pola membiasakan virus hadir dalam kehidupan sehari-hari melalui PSBB.
Dalam metode PSBB itu, baik dari yang ketat di sana-sini, hingga pelonggaran berupa transisi menuju kebiasaan baru, publik sepertinya sudah hafal bahwa siapa pun harus menerapkan pola hidup bersih dan sehat (PHBS) serta selalu mengedepankan protokol kesehatan 3 M yaitu rajin mencuci tangan, memakai masker dan menjaga jarak.
Sementara, dari sisi pemerintah sebagai pelayan publik, melalui tenaga dan fasilitas kesehatan dengan 3T yakni pelaksanaan pencarian kasus aktif dengan tes (testing) cepat maupun usap (swab test), kedua pelacakan (tracing) kasus-kasus baru di sekitar kasus aktif dan perawatan atau pengobatan (treatment).
Berbagai instrumen penegakan hukum untuk mendukung upaya di atas, antara lain melalui aneka peraturan daerah, memang disiapkan oleh pemerintah. Dampaknya aneka nama operasi digelar, mulai dari operasi yustisi tertib masker hingga pembentukan pasukan pemburu COVID-19 dan lainnya.
Efektifkah? Berhasilkah? Agaknya itu pertanyaan sulit dijawab, tetapi jika melihat data, belum menunjukkan hasil signifikan. Grafik terus naik, jumlah kasus aktif baru sudah rata-rata sudah di atas 5000-an per hari dalam hampir tiga pekan terakhir.
Melihat angka yang terus naik itu, tampaknya masyarakat juga sudah mulai jenuh. Di sela-sela aktivitas keseharian, mereka sudah tak serius untuk menerapkan protokol kesehatan.
Pada beberapa tempat di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek), masyarakat sudah mulai kendor.
Kerumunan ribuan orang seperti penjemputan pimpinan Front Pembela Islam (FPI) Muhammad Rizieq Shihab (MRS) pada 10 November dan diikuti sejumlah kegiatan kerumunan lainnya adalah salah satu bukti bahwa masyarakat sudah tidak peduli dengan imbauan protokol 3M.
Belum lagi, kalau diamati beberapa belakangan ini, sudah tidak lagi sejumlah pertokoan di lingkungan kompleks perumahan, atau perkampungan menyediakan tempat cuci tangan dan air sabun.
Itu kondisi di Jabodetabek yang dekat dengan pusat kekuasaan Jakarta, Ibu Kota republik ini, bagaimana dengan di daerah yang jauh dengan Jakarta?
Publik tampak sudah mulai bosan dan jenuh terhadap situasi ini, termasuk merasakan hidup monoton dengan protokol kesehatan yang itu-itu saja?
Kekebalan kelompok
Pilihan pemerintah untuk tidak menerapkan kebijakan menutup total segala akses (lock down) pada awal pandemi membuat masyarakat memiliki penilaiannya sendiri.
Mereka boleh jadi beranggapan, situasi ini dibiarkan seperti ini agar mereka yang sudah terpapar COVID-19 dan sembuh, akan membentuk kekebalan kelompok.
Secara statistik, dari total pasien positif 575.796 orang per Ahad (6/12) ini, ternyata yang sembuh sudah di angka 474.771 orang. Artinya, hampir 90 persen.
Mereka yang sudah sembuh ini adalah mereka tak kan lagi bisa menularkan virus karena secara pribadi dia sudah kebal secara alami.
Artinya, setiap pasien sembuh tersebut sudah berkontribusi terhadap penciptaan kekebalan kelompok (herd immunity), minimal pada kelompok keluarga.
Sementara itu, menurut Satgas Penanganan COVID-119, kekebalan kelompok adalah upaya untuk menciptakan masyarakat kebal dari penyakit menular tertentu dan terhindar dari wabah. Caranya adalah dengan memastikan sebagian besar populasi (sekitar 60-70 persen) kebal terhadap penyakit menular itu.
Kekebalan kelompok akan memberikan perlindungan tidak langsung bagi orang-orang yang tidak kebal terhadap penyakit menular tersebut.
Jadi, ada dua cara pembentukan kekebalan tubuh manusia terhadap penyakit infeksi, yakni dilakukan secara alamiah melalui menderita langsung penyakit tersebut atau secara buatan melalui imunisasi.
Imunisasi akan membuat tubuh seseorang mengenali bakteri/virus penyebab penyakit tertentu, sehingga bila terpapar bakteri/virus tersebut menjadi lebih kebal. Ini bertujuan mencegah penularan maupun keparahan suatu penyakit.
Namun, bagi Ketua Tim Pakar Gugus Tugas Nasional Prof. Wiku Adisasmito, kekebalan kelompok secara alami tidak mungkin terjadi dalam konteks Indonesia.
Menurutnya, Indonesia merupakan negara dengan populasi yang besar. Populasi yang ada juga menghuni pulau, yang terpisah laut maupun daratan sehingga transmisi virus pun akan terhambat.
Dosen sekaligus peneliti virus Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FKKMK) UGM Mohamad Saifudin Hakim menjelaskan kekebalan kelompok dengan infeksi secara alami sangatlah berisiko.
Hal itu tidak hanya menyebabkan terjadinya sakit atau penyakit, tetapi individu yang terkena infeksi alami juga berpotensi menjadi agen penularan.
Kondisi tersebut akan semakin memakan banyak korban jiwa sampai pada tahap penularan dapat berhenti setelah individu yang tersisa dapat bertahan hidup dan memiliki kekebalan.
“Jadi ada dua cara untuk membentuk herd immunity, yakni terinfeksi virus atau bakteri secara alami atau dengan vaksinasi,” kata Saifudin.
Kekebalan kelompok melalui vaksinasi akan jauh lebih aman dibandingkan dengan infeksi secara alami karena vaksin telah didesain sedemikian rupa baik dari komponen virus atau virus yang dilemahkan untuk dapat merangsang terbentuknya kekebalan tubuh, namun tidak menimbulkan sakit atau penyakit.
Di samping itu, vaksinasi tidak menyebabkan seorang individu menjadi infeksius atau dapat menular karena bahan vaksin hanya dibuat dari partikel virus atau virus hidup yang dilemahkan yang dihilangkan potensi atau gen penularannya.
Agaknya semua berharap, pandemi ini bisa segera diatasi segera dengan risiko seminimal mungkin. Jika memang situasi ke depan, menggiring ke kekebalan kelompok secara alami, maka hal itu tak berlangsung lama.
Sambil berharap dan berdoa agar vaksin segera efektif untuk mengatasi COVID-19 yang masih mengintai kehidupan saat ini, sekaligus masyarakat tetap semangat untuk memutus mata rantai penularannya dengan 3M, termasuk aparat terkait dengan 3T-nya.
[ad_2]
Sumber Berita