Busyro Muqoddas dan Tokoh Yogyakarta Desak Jokowi Batalkan Hasil TWK

[ad_1]

TEMPO.CO, Yogyakarta – Eks Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi Busyro Muqoddas dan puluhan tokoh antikorupsi di Yogyakarta mendesak Presiden Joko Widodo untuk membatalkan hasil tes wawasan kebangsaan dan merehabilitasi nama mereka yang mendapat cap radikal.

Ketua Bidang Hukum dan HAM Pengurus Pusat Muhammadiyah itu meminta Presiden Jokowi agar tidak mengabaikan aspirasi masyarakat sipil yang menolak tes TWK. Apalagi hasil tes tersebut dianggap tidak punya landasan hukum.

“Membiarkan kejahatan itu sama artinya dengan melakukan kejahatan,” kata Busyro dalam acara deklarasi Jogja kompak untuk antikorupsi di Kantor Dewan Perwakilan Daerah, Senin, 31 Mei 2021.

Selain Busyro, deklarasi tersebut melibatkan dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Zainal Arifin Mochtar, Mantan Ketua Komisi Yudisial Suparman Marzuki, sejumlah aktivis perempuan antikorupsi dari berbagai organisasi, anggota DPD, dan Wakil Ketua DPRD DIY. Mereka membunyikan kentongan sebagai simbol tanda bahaya penanganan korupsi di Indonesia.

Busyro menegaskan KPK sudah lumpuh secara kelembagaan di tangan presiden dan DPR melalui Revisi Undang-Undang KPK. Presiden dianggap memaksakan pengesahan RUU KPK dan mengabaikan aspirasi rakyat. Selanjutnya, serangan terhadap KPK berlangsung secara brutal dan kasar. Satu di antaranya melalui TWK. Dia menilai materi TWK melecehkan hakikat kebangsaan yang tercantum dalam UUD 1945 dan Pancasila.

Suara dari tokoh di Yogyakarta melawan TWK, menurut Busyro, penting karena Yogya selama ini menjadi barometer politik yang berpengaruh dalam gerakan Reformasi 1998.

Busyro mendesak Jokowi segera bertindak dan mendengarkan aspirasi publik ihwal pembatalan hasil TWK. Dia bercerita kerap berdiskuai dengan orang-orang di KPK bahwa lembaga antirasuah ini terus mengalami pelemahan oleh pemerintah dan DPR karena menghalangi koruptor dan oligarki politik. Pegawai andalan KPK yang berintegritas kemudian tersingkir.

Di sektor pencegahan, misalnya, berhimpun penyelidik dan penyidik andalan KPK yang mengetahui peta sumber daya manusia se-Indonesia. Jika pimpinan KPK tetap melantik pegawai KPK yang mereka nyatakan lolos dan presiden tidak membatalkan, kata Busyro, maka kedua pihak itu dianggap membiarkan perampokan sumber daya manusia. Dia mendorong masyarakat sipil untuk tidak mundur melawan korupsi. “Situasi 2024 akan jauh lebih parah. Koruptor semakin khusyuk merampok,” ujar Busyro.

Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada Zainal Arifin Mochtar
menyoroti Presiden Jokowi yang tidak tegas dalam menyampaikan pernyataannya sebagai pembina aparatur sipil. Padahal, Jokowi punya kewenangan besar ihwal ASN ini.

Presiden sebagai pejabat pembina tertinggi aparatur sipil negara, kata Zainal, berwenang untuk mengambil alih dan membatalkan. Presiden bisa menggunakan Pasal 3 ayat 7 Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2020 tentang Manajemen Aparatur Sipil Negara.”Bila presiden tidak batalkan, maka kepercayaan publik semakin berkurang,” kata Zainal.



[ad_2]

Sumber Berita

Exit mobile version