Demokrasi Dalam Genggaman UU ITE – POLRI PRESISI

Demokrasi Dalam Genggaman UU ITE

[ad_1]

EDITOR.ID – Surabaya, Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sebenarnya tidak bersalah, tetapi pihak yang bersalah adalah orang-orang yang keliru mempersepsikan pasal-pasal yang ada di dalam UU ITE.

Hal ini disampaikan oleh Prof Dr Drs Henry Subiakto, SH Msi, Staff Ahli Kemenkoinfo pada sebuah diskusi yang diselenggarakan oleh Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Fisip Universitas Airlangga Surabaya dengan tajuk “Demokrasi Dalam Genggaman UU ITE”

“Jika ditelisik lebih jauh lagi yang salah itu bukan UU ITE-nya tetapi yang salah adalah orang-orang yang keliru mempersepsikan UU ITE ini sehingga mereka sering membuat laporan ke pihak kepolisian atas tuduhan pencemaran nama baik dan sebagainya”, kata Prof Henry Subiakto.

“Ini tindakan yang salah, karena mereka memanfaatkan UU ITE ini sebagai senjata mereka untuk melawan orang yang tidak mereka sukai. Tetapi memang butuh penjelasan secara lebih rinci lagi terhadap isi-isi di dalam UU ITE ini agar tindakan seperti itu terulang Kembali”, tutur pria yang turut andil dalam pembuatan UU ITE tersebut.

demokrasi dalam genggaman uu ite 2

Prof Henry sepakat jika UU ITE direvisi tetapi tidak untuk tahun 2021 karena UU ITE sendiri belum masuk di PROLEGNAS tahun 2021, sudah ada 33 undang-undang yang mengantri untuk dimasukkan ke dalam PROLEGNAS sehingga UU ITE tidak bisa PROLEGNAS di tahun 2021. Dia juga menegaskan bahwa sudah ada draft penjelasan yang lebih rinci untuk pasal-pasal UU ITE yang dibuatnya sendiri dan nanti akan diserahkan kepada pihak pemerintah untuk lebih diperjelas lagi.

“UU ITE bukan kitab suci jadi itu masih bisa direvisi, saya sepakat untuk direvisi tetapi untuk tahun ini sendiri UU ITE belum masuk PROLEGNAS 2021 sehingga tidak bisa direvisi karena sudah ada 33 undang-undang yang mengantri untuk masuk ke dalam daftar PROLEGNAS 2021. Tetapi, saya sendiri sudah membuat draft yang nantinya akan saya berikan kepada pemerintah untuk dijadikan pedoman bagi beberapa pasal di UU ITE agar penjelasannya lebih mudah dipahami oleh banyak orang”, tegasnya.

Pada Kesempatan yang sama, Sundari Sudjianto seorang pengamat media mengatakan bahwa masyarakat sering menganggap bahwa pasal-pasal yang ada di dalam UU ITE merupakan pasal karet karena di dalamnya terdapat banyak pengertian yang multitafsir sehingga hal itu membuat masyarakat menjadi bingung.

“Di dalam UU ITE sendiri pasti yang sering dilihat masyarakat adalah pasal-pasal tentang penghinaan, pasal-pasal multitafsir yang mana sering menjadi polemik bagi masyarakat. Ada 3 pasal yang sering menjadi perdebatan bagi masyarakat, pasal tersebut adalah pasal 27 sampai pasal 29. Pasal-pasal ini yang sering menjadi polemik bagi masyarakat karena di dalamnya terdapat pengertian yang multitafsir”, ujar Sundari Sudjianto.

Alumni Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga ini juga mengungkapkan bahwa sebelum ada UU ITE sebenarnya juga sudah ada undang-undang yang juga membahas masalah kebebasan berpendapat untuk masyarakat tetapi sama saja undang-undang tersebut memiliki substansi yang multitafsir.

“Sebenarnya sebelum ada UU ITE sudah ada undang-undang yang membahas masalah kebebasan berpendapat yaitu ada KUHP dan Undang-Undang penyiaran tetapi sama saja pasal-pasal di dalamnya multitafsir atau bisa dibilang pasal-pasal di dalamnya merupakan pasal karet”, tambah Sundari Sudjianto.

Sementara itu, Edwin Fajerial seorang Jurnalis dari IDN Times menyatakan bahwa beberapa pasal-pasal yang ada di dalam UU ITE perlu diberi penjelasan lebih rinci untuk mempertegas narasi yang ada di dalam isi pasal

“Beberapa pasal memang harus direvisi, butuh buku panduan resmi untuk memperjelas narasi yang ada di dalam pasal-pasal itu biar orang tidak salah persepsi. Contohnya saja di dalam isi pasal 29 tentang ancaman kekerasan itu masih banyak pengertian-pengertian yang abstrak, tetapi pasal ini juga sangat berbahaya karena bisa memidanakan setiap orang”, katanya. (Tim)

[ad_2]

Sumber Berita

Exit mobile version