[ad_1]
TEMPO.CO, Jakarta – Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menolak masuknya delik penghinaan presiden dan anggota DPR dalam revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).
“Pasal penghinaan Presiden dan DPR dalam RUU-KUHP mencederai esensi demokrasi, yaitu kebebasan berpendapat. Pasal tersebut punya potensi menjadi pasal karet yang menghambat diskursus publik yang sehat,” kata Ketua Dewan Pimpinan Pusat PSI Tsamara Amany dalam keterangan tertulis, Selasa 8 Juni 2021.
PSI, ujar Tsamara, tidak melihat relevansi pasal-pasal semacam itu diterapkan di era demokrasi saat ini. Indonesia dinilai akan mundur puluhan tahun jika menerapkannya. “Kalau dalam konteks pasal penghinaan Presiden, Pak Jokowi dari dulu biasa dihina dan difitnah, tapi beliau selalu menjawab dengan kerja. Kritik seharusnya dibalas dengan kerja, bukan ancaman penjara,” ujar Tsamara.
“Itu pula yang seharusnya dilakukan DPR. Kalau ada yang mengkritik DPR, tunjukkan dengan perbaikan kinerja,” lanjutnya. Lebih jauh, kata Tsamara, sebaiknya DPR mengkaji ulang dan menghapus pasal-pasal ini dari RUU KUHP.
Pasal penghinaan presiden dan wakil presiden kembali muncul dalam draft RUU KUHP terbaru. Penghinaan terhadap presiden dan wapres dikenai ancaman maksimal 3,5 tahun penjara.
Bila penghinaan dilakukan lewat media sosial atau sarana elektronik, ancamannya menjadi 4,5 tahun penjara. Sementara itu, bagi yang menghina lembaga negara, seperti DPR, bisa dihukum penjara maksimal 2 tahun penjara. PSI pun mengkritik munculnya pasal tersebut di RKUHP.
DEWI NURITA
Baca Juga: Pasal Penghinaan Presiden Tetap Ada di RKUHP, Wamenkumham: Itu Delik Aduan
[ad_2]
Sumber Berita