#  

Guru Besar Unpar: RPS Hukum Adat Harus Miliki Tolok Ukur

[ad_1]

Jakarta, Gatra.com – Guru Besar Universitas Parahyangan (Unpar) Bandung, Prof. Prof. Dr. Rr Catharina Dewi Wulansari, Ph.D., S.H., M.H, S.E., M.M., mengatakan, rencana pembelajaran smester (RPS) mata kuliah hukum adat atau masyarakat hukum adat harus mempunyai tolok ukur untuk mengukur capaian pembelajaran yang dilakukan di fakultas hukum atau sekolah tinggi hukum.

“Harus punya tolok ukur untuk mencapai tujuan,” katanya dalam Lokakarya Finalisasi dan Penetapan RPS Hukum Adat secara daring gelaran Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) Indonesia pada akhir pekan ini.

Sekretaris Dewan Pembina APHA Indonesia, ini mengungkapkan, pembahasan terakhir RPS di Bandung, Jawa Barat (Jabar), beberapa waktu lalu telah membahas materi kuliah hukum adat yang akan diberikan kepada mahasiswa.

Menurutnya, ini merupakan salah satu upaya untuk mengubah persepsi bahwa mata kuliah hukum adat terbelakang. RPS ini sangat penting bagi para dosen pengampu mata kuliahnya untuk menyampaikan bahwa hukum adat bukan hukum tertinggal. Namun untuk mencapai dan mengembangkannya harus mempunyai tolok ukur.

“Kalau kita melihat pada waktu kita coba pelajarai yang disebut RPS, maka RPS itu bukan sesuatu yang tiba-tiba muncul, dia bagian dari pembuatan kurikulum. Peran dosen sangat penting, dia harus tahu learning outcome yang akan dicapai. Seperti nahoda untuk mencapai tujuan, yaitu learning outcome,” ujarnya.

Pembicara yang menyajikan makalah berjudul “Peranan Penting RPS Hukum Adat Dalam Proses Belajar Mengajar Hukum Adat” ini, mengungkapkan bahwa dosen berperan untuk menjadikan mahasiswa mempunyai kompetensi yang diharapkan. Maka, dosen harus menyiapkan materi-materi yang akan diberikan agar mahasiswa terampil dan mempunyai kompetensi untuk menjadi karyawan atau profesi tertentu.

“Kalau tidak mempunyai rencana, sama kayak naik kapal tetapi kita tidak tahu rencana dan pedomannya bagaimana. Ini seperti tidak punya arah sehingga tida tercapai terjuan. Ini harus ditetapkan sebelum tetapkan RPS,” ujarnya.

Learning outcome itu harus ditetapkan secara tertulis sebagai pedoman untuk mencapai tujuan. Dosen yang membuat RPS harus mampu melakukan forkesting, atau memprediksi kompetensi yang dibutuhkan di masa mendatang. “Ini perlu kemampuan dan kecerdasan karena harus keluar dari dimensi saat ini dan masuk ke ruang masa depan,” ujarnya.

Untuk mencapai tujuan pembelajaran atau learning outcome, maka harus membuat perencanaan dan dituangkan dalam dokumen yakni berupa RPS. “RPS berfungsi sebagi dokumen untuk masa depan,” ujarnya.

Menurutnya, RPS ini harus mempunya standar nasional karena kondisi Indonesia sangat beragam. “Kondisi satu daerah itu berbeda, sehingga perlu ada standardisasi. Artinya, mahasiswa kita harus dididik standar internasional. Kondisi di Indonesia berbeda-beda, fasilitas, SDM, geogratis, dan lain-lain, ini butuh standardisasi,” ujarnya.

RPS terbagi dalam tiga bagian, yakni sebelum perkuliahan, saat perkuliahan, dan setelah perkuliahan. Praperkuliahan ini untuk merancang learning outcome yang akan dicapai dari pengajaran suatu mata kuliah, termasuk hukum adat.

“Harus spesifik dalam prosesnya [perkuliahan] untuk mencapai learning outcome. Adapun pascakuliah yaitu evaluasi atas pembelajaran,” ujarnya.

Sedangkan mengapa mata kuliah humum adat tertinggal, Dewi mensinyalir karena hanya membahas masa lalu. Untuk mengubahnya, dosen harus melihat kondisi-kondisi pekembangan saat ini.

“Perkembangan berbagai peraturan di masyarakat, kita tidak bisa lagi menggunakan kondisi-kondisi yang dulu, misalnya [saat ini] UU Cipta Kerja pasti berpengaruh pada masyarakat adat dan hukum adat,” ujarnya.


Editor: Iwan Sutiawan


[ad_2]

Sumber Berita

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *