[ad_1]
Oleh: Frans Simarmata
Paskah 2021 di Indonesia diawali dengan ledakan besar dalam arti sesungguhnya. Bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar saat Misa Minggu Palma. Ini bukan yang pertama kali. Pada 13 Mei 2018 terjadi rentetan serangan teroris di tiga gereja di Surabaya.
Jangan dilupakan juga, kejadian sekitar 20 tahun yang lalu di Gereja Eben Haezer, Mojokerto. Aksi heroik terjadi pada malam natal, oleh Riyanto seorang anggota Banser (organisasi Islam) yang berhasil menyelamatkan umat Kristiani dari ledakan bom.
* * *
Setelah lewat beberapa hari, hal ini terus menjadi sesuatu yang mengganggu pikiran saya. Dan saya yakin, tidak sendirian mengalamai perasaan yang sama. Kenapa gereja selalu menjadi menjadi sasaran mereka? Apa yang membuat mereka lebih memilih gereja?
Ada beberapa teori dan skenario yang muncul di masyarakat. Tetapi saya tidak ingin membahasnya di sini.
Pernyataan keras dari dari Presiden Indonesia serta doa dari Paus Fransiskus menunjukkan perhatian semua pihak akan kejadian di Indonesia ini. Suatu yang perlu ditekankan bahwa ada sesuatu yang tidak benar di masyarakat saat ini.
Khususnya bagi saya sebagai umat Katolik, yang saat ini tinggal di luar Indonesia, walau mempercayai aparat penegak hukum untuk menyelidiki kasus ini hingga tuntas, tetap saja ada keraguan apakah ini bisa menjadi jaminan bahwa kejadian ini tidak akan berulang lagi?
Saya tidak mengharapkan kejadian yang buruk, tetapi bayangkan apabila ada saudara/kenalan kita yang terluka, apakah kita tinggal diam saja?
Sebenarnya, kejadian ini tidak terlepas oleh situasi lainnya. Kenapa setiap perayaan Paskah dan Natal di Indonesia, selalu ada kekhawatiran keamanan sehingga tidak cukup dengan Polisi saja, perlu ada snipers yang diturunkan di banyak gereja? Kenapa kita harus beribadah dengan ketakutan-ketakutan? Belum lagi ditambah hambatan bila ingin mendirikan gereja dan persekusi karena merayakan ibadah/misa dianggap mengganggu.
* * *
Umat Katolik dan Kristen di Indonesia mungkin karena sudah sering mengalami kejadian tragis ini berkali-kali dan karena selalu ingat akan ajaran Kasih, mungkin tidak menunjukkan reaksi yang berlebihan. Tetapi ini bukan berarti kita membiarkannya.
Seorang teman Pastor mengatakan, bahaya ini memang sudah lama mengancam dan menjadi bahaya laten. Belum ada solusi yang mudah untuk menangkal intoleransi dan kebencian begitu saja.
Sebagai Diaspora Indonesia, kita mengetahui apa yang telah dilakukan Pemerintah dan pihak keamanan untuk memotong rangkaian aksi dan sikap intoleransi yang ada di Indonesia. Yang kita bisa lakukan adalah terus memberikan tekanan dan dorongan kepada Pemerintah, pihak keamanan dan juga pemimpin-pemimpin agama untuk mengambil sikap tegas dan terarah. Semua tak lain dan tak bukan untuk mencapai tujuan kita bersama yaitu menciptakan bangsa dan negara Indonesia yang damai dan saling mencintai dalam keberagaman.
Gereja Katolik Indonnesia, walau secara jumlah adalah minoritas, tetapi tetap punya peran penting di tanah air, melallui karya pelayanan Pendidikan, Kesehatan dan lainnya. Tidak hanya untuk umat Katolik saja, tetapi juga masyarakat Indonesia yang lebih luas.
Ini bisa menjadi bahan refleksi, apa yang bisa dilakukan memberikan penghiburan dan memulihkan ketakutan-ketakutan di umat. Selain itu apa yang bisa dilakukan untuk menghindari kejadian serupa di kemudian hari.
* Frans Simarmata anggota Indonesian Diaspora, tinggal di Sydney Australia. Artikel ini adalah opini pribadi dan tidak mewakili organisasi apapun.
[ad_2]
Sumber Berita