TEMPOSIANA.com — Ketika Sejarah Menjadi Panggung: Harmoni Budaya Indonesia-Uzbekistan dalam Teater Imam Bukhari dan Bung Karno”
Di bawah langit malam Jakarta yang tenang, Gedung Kesenian Jakarta menjadi saksi bisu ketika dua peradaban besar—Indonesia dan Uzbekistan—berjumpa dalam harmoni panggung dan sejarah.
Pada malam Selasa, 15 April 2025, bukan hanya seni yang tampil, tetapi juga jiwa zaman yang disulam kembali dalam pementasan teater musikal bertajuk “Imam Al-Bukhari dan Soekarno.”
Ini bukan sekadar pertunjukan. Ini adalah nyanyian masa lalu yang kembali bergema di masa kini, menggema dari Samarkand hingga ke Tanah Air.
Malam itu, sosok Megawati Soekarnoputri, Presiden ke-5 Republik Indonesia sekaligus Ketua Umum PDI Perjuangan, berdiri tegak di antara dua dunia—dunia kenangan akan ayahandanya, Bung Karno, dan dunia seni yang hidup dalam peradaban modern.
Dihadapan para duta besar, pejabat negara, seniman, budayawan, dan para pewaris sejarah, ia membawakan pidato yang tak hanya menggetarkan ruang, tetapi juga membelah waktu.
Antara Bung Karno dan Imam Bukhari: Dua Jejak, Satu Arah
Pementasan ini tidak lahir dari ruang hampa. Ia tumbuh dari tanah sejarah, dari langkah kaki Bung Karno yang pada 1956 menembus tirai besi Uni Soviet demi satu tujuan suci: menemukan dan memuliakan makam Imam Al-Bukhari, seorang ulama besar dan perawi hadis Nabi Muhammad SAW.
Dalam dunia yang kala itu masih terpecah oleh Perang Dingin, Bung Karno membawa secercah cahaya keimanan dan keilmuan.
“Saya akan tetap pergi, sekalipun harus naik kereta api sendiri,” ujar Bung Karno dengan keyakinan yang kelak menjadi legenda. Dan dari keteguhan itulah, Desa Hartang di Samarkand kembali hidup. Makam Imam Bukhari yang nyaris terlupakan, kembali bersinar sebagai pelita spiritual dunia Islam.
Megawati, dalam pidatonya, mengenang kisah itu dengan mata berkaca. “Langkah kecil itu, melahirkan perubahan besar,” ucapnya, sembari mengingatkan kita semua akan pesan sakral JASMERAH—Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah.
Teater sebagai Jembatan Jiwa
Disutradarai oleh Ahmad Fauzi dari Indonesia dan Valikhon Umarov dari Uzbekistan, pentas ini melampaui batas artistik.
Ia menjadi jembatan sejarah, jalan yang menautkan dua tokoh besar yang meski berbeda zaman dan wilayah, namun serupa dalam keteguhan iman dan semangat pencarian kebenaran.
Musik dan dialog tidak hanya menyentuh telinga, tapi menembus lubuk jiwa, mengajak penonton untuk merenung: masihkah kita merawat akar kita?
Tak heran bila Gedung Kesenian malam itu dipenuhi tokoh-tokoh penting. Hadir Menteri Kebudayaan Dr. Fadli Zon, Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung, hingga elite politik dan budayawan seperti Ganjar Pranowo, Djarot Saiful Hidayat, Butet Kartaredjasa, serta keluarga besar Bung Karno sendiri.
Bahkan, cucu Pahlawan Ir. Djuanda, Ismeth Wibowo, hadir sebagai pengamat hubungan internasional, menandai betapa momen ini bukan sekadar perayaan budaya, melainkan peristiwa diplomasi sejarah.
Uzbekistan: Sahabat Sejarah yang Tak Lupa
“Uzbekistan tidak pernah melupakan jasa Bung Karno,” tegas Menteri Fadli Zon. Dalam kerendahan suara, tersembunyi pengakuan akan ikatan spiritual antara dua bangsa yang tak lekang oleh waktu.
Ia mengungkap bahwa kompleks makam Imam Bukhari kini tengah direnovasi, dan akan dilengkapi memorabilia Bung Karno—sebagai penghormatan atas peran Indonesia dalam menyingkap kembali warisan Islam Asia Tengah.
Pada kesempatan yang sama, Megawati berbagi kisah ziarahnya ke makam Imam Bukhari di tahun 2024, saat ia menerima gelar Profesor Kehormatan dari Universitas Silk Road. “Hati saya bergetar secara spiritual,” katanya lirih, mengisahkan momen ketika ia berdoa di pusara sang imam, ditemani Imam Mahmudjon dan Ketua Kompleks Al-Bukhari.
Saat itu, yang hadir bukan hanya Megawati sebagai politikus, tapi sebagai anak dari seorang pemimpin yang menjadikan ziarah sebagai jalan diplomasi.
Sebuah Pertunjukan, Sebuah Doa
Pertunjukan ini tak sekadar hiburan. Ia adalah doa yang dibacakan dalam bentuk gerak dan suara. Ia adalah warisan yang dihidupkan kembali, agar generasi kini tak terputus dari akarnya.
Dari Imam Bukhari kita belajar integritas dan ilmu. Dari Bung Karno kita belajar keberanian dan cinta tanah air. Dan dari teater ini, kita belajar bahwa seni bukanlah akhir, melainkan jalan menuju pengertian yang lebih dalam akan siapa diri kita sebenarnya.
“Jika hati kita dekat, jarak bukanlah penghalang,” ucap Megawati mengutip pepatah Asia Tengah, seakan menutup malam dengan pelukan antarbangsa yang tak terlihat, namun terasa.
Maka, biarlah malam itu dikenang bukan hanya sebagai malam pertunjukan. Tapi sebagai malam ketika sejarah bangkit kembali, berjalan menyusuri panggung, dan menyapa kita semua — agar tak lupa. Agar tetap setia pada akar, dan tak gentar menatap masa depan.
#SS Budi Raharjo MM