[ad_1]
Satu satunya lembaga BPOM yang kita miliki sebagai benteng utama kita, dalam pemakaian obat obatan telah menjadi alat kapitalisme dan Importir para cukong mafia obat obatan
Tak pelak vaksin Nusantara yang digawangi dokter Terawan menjadi batu sandungan bagi kaum kapitalis.
Para perusak negeri dan mafia kesehatan begitu kuat. Termasuk ketika Terawan yang kurang publikasi dicopot Jokowi.
Kini, Vaksin Nusantara karya Dokter Terawan kembali dihujat dan hendak disingkirkan.
Beruntung dokter Terawan masih memiliki benteng seperti AM Hendropriyono, Dahlan Iskan, sehingga tempat berkiprah yang tidak bisa diintervensi oleh IDI sekali pun: RSPAD.
Selain tentu KASAD Jenderal Andika Perkasa pasang badan untuk Mayjen TNI Dr. dr. Terawan Agus Putranto, Sp.Rad.
Kini, tak hanya para orang bersih dan nasionalis, DPR RI, dan kalangan oposan membela Vaksin Nusantara.
Publik menangkap adanya permainan mafia kesehatan terkait vaksin Nusantara. Dan, BPOM adalah salah satu pintu yang paling strategis permainan para mafia.
Publik waras masih ingat kontroversi DSA.
Pasalnya DSA (Digital Substraction Angioraphy) digunakan untuk penyembuhan pasien stroke. Ditolak awalnya sampai Terawan dipecat oleh IDI.
Kisah metoda cuci otak ala Dokter Terawan yang dinilai kontroversial oleh para dokter yang tidak paham, yang tradisional dan kaidahis – orang yang hanya mengikuti kaidah kedokteran.
Bahwa ilmu dan metode terapi kedokteran yang seharusnya mengembangkan breakthrough dihambat oleh sikap jumud dan pencinta kemapanan, yang tak lain adalah antek kaum kapitalis yang hobinya impor.
Akhirnya, kini lebih dari 40.000 orang menjalani terapi brain-wash dengan menggunakan alat DSA. Salah satu orang itu adalah Dahlan Iskan.
Kisah DSA paling spektakuler justru dialami oleh Sudi Silalahi. Benjolan di dalam otaknya hilang dan dia sehat sampai sekarang.
Kini Vaksin Nusantara besutan Terawan kembali menemukan tentangan.
Berbagai teori dan kampanye media, termasuk pembusukannya dilakukan oleh BPOM. Tak pelak DPR RI pun menyoroti.
Dukungan dari para kalangan oposisi seperti Abu Rizal Bakrie, Sudi Silalahi, dan masyarakat umum yang berbondong sukarela disuntik vaksin Nusantara, menyentak perhatian.
Presiden Jokowi pun ikut berkomentar, menanggapi catatan ngaco dari BPOM. BPOM dengan gayanya menggunakan berbagai istilah kedokteran yang sejatinya sangat umum.
Istilah good clinical practical, proof of concept, good laboratory practice, dan good manufacturing practice, yang sejatinya tidak ada kaitanya dengan isu utama: ada Vaksin Nusantara.
Bahkan BPOM menyerang vaksin Nusantara, dengan menyatakan adanya bahan impor, sehingga BPOM menjadikannya alasan uji klinis vaksin tidak bisa dilakukan.
Padahal Presiden Jokowi mendorong pemakaian produk dalam negeri, anak bangsa. Namun, karena ketidakpahaman, atau berpura tidak paham, maka BPOM yang memang menjadi bagian dari kapitalisme kesehatan dan obat, lebih suka impor karena bisa menjadi bagian dari proyek.
Birokrat dan aparat lembaga negara seperti BPOM sering menjadi agent of capitalists, agent of importers.
Vaksin Nusantara akan mengurangi kesempatan impor vaksin apapun: AstraZeneca, Sinopharm, Novavax, Sinovac, Pfizer BioNTech, Oxford-AstraZeneca, dan Moderna. Kalau impor berkurang, duit haram yang masuk berkurang pula.
Kini, vaksin Nusantara tengah mengalami serangan. Dan serangan itu menjadi de javu seperti kasus DSA. Awalnya ditolak, namun akhirnya diterima.
Memang kini kontroversi vaksin Nusantara yang bisa membentuk antibodi terhadap virus Covid-19, untuk seumur hidup. Antibodi atau daya kekebalan terbentuk pada kekebalan seluler pada sel limfosit T.
“Vaksin besutan dokter Terawan ini dendritik bersifat T-cells, berarti sekali suntik berlaku seumur hidup. Sehingga secara pembiayaan pun lebih menguntungkan dan tidak menguras devisa negara, karena ini diproduksi di dalam negeri,” kata Edi Prayitno, anggota tim uji klinis Vaksin Nusantara.
Publik awam waras yang paham melihat sikap BPOM. Bukan tentang hal yang substansial soal efektivitas vaksin yang menjadi alasan vaksin Nusantara ditolak untuk uji klinis.
BPOM hanya menyoroti soal teknis produksi vaksin, lab tempat penelitian, dan prosedur. Yang sejatinya BPOM sengaja menghambat vaksin Nusantara demi melanggengkan kepentingan kaum kapitalis, importer, dan pengkhianat bangsa.
(Penulis: Ninoy Karundeng).
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah memberikan penilaian terhadap tahapan uji klinik fase 1 vaksin Covid-19 Nusantara. Dalam penilaiannya, BPOM menyebut pembuatan vaksin Nusantara tidak steril dan data keamanan dihilangkan.
Hal tersebut membuat validitas uji klinik fase 1 vaksin Covid-19 Nusantara tidak bisa diterima. Kepala BPOM, Penny K Lukito mengatakan penilaian tersebut sudah final.
“Saya kira penilaian BPOM sudah final dan kami menunggu koreksi yang sudah akan dilakukan,” katanya kepada Eko dari Merdeka.com
Meskipun validitas uji klinik fase 1 tidak diterima, peneliti vaksin Covid-19 Nusantara tetap melanjutkan ke tahap berikutnya. Mereka melakukan uji klinik fase 2 dengan melibatkan sejumlah subjek. Penny tak ingin menilai proses uji klinik fase 2 vaksin Nusantara tersebut.
“Apa yang sekarang terjadi itu tentunya di luar BPOM, bukan kami menilai itu. BPOM melakukan pendampingan saat uji klinik sesuai dengan standar-standar good clinical trial yang berlaku internasional, yang berlaku umum,” ujarnya.
Penny menekankan, setiap uji klinik fase 1 vaksin harus mengikuti standar Good Manufacturing Practice (GMP), Good Laboratory Practice (GLP) dan Good Clinical Practice (GCP). Bila standar tersebut tidak diikuti maka pengembangan vaksin tidak bisa memasuki tahap selanjutnya.
“Semua tahapan tidak bisa dilewati. Jika dilewati, diabaikan, tentunya akan kembali lagi ke tahapan ke belakang, tidak bisa melangkah ke depan,” jelasnya.
Korban Mafia BPOM: Klik ini
Mantan Kepala Badan POM: “Sedih Melihat Pemimpin Otoriter Seperti Itu, Tidak Memiliki Hati Nurani.”
https://matranews.id/sapari-mantan-kepala-bb-pom-surabaya-saya-difitnah-untuk-bisa-dilengserkan/