[ad_1]
Oleh : Edi Winarto
Penulis : Staf Khusus Pelaksana Tugas Gubernur DKI Jakarta 2016
Presiden Joko Widodo (Jokowi) komplain karena masih banyak kepala daerah tidak mampu menyalurkan anggaran dan dana di daerah justru banyak mengendap di bank. Sebab itu Jokowi meminta Pemerintah Daerah untuk segera mencairkan uang yang disimpan di perbankan. Terutama untuk membantu masyarakat yang terdampak pandemi Covid-19.
Menurutnya, Pemerintah Pusat mengalokasi anggaran besar kepada Pemda untuk segera digunakan agar bisa ikut mendorong pemulihan ekonomi Nasional. Bukan untuk diendapkan di Bank.
Pernyataan Presiden Joko Widodo ini menurut pandangan penulis, menjadi sebuah otokritik dan sinyalemen atau peringatan bahwa kepala daerah belum juga menggerakkan program kerja dan penyaluran anggaran untuk mensejahterakan rakyat.
Kenapa hal ini bisa terjadi? Salah satu faktor tidak bergeraknya dana daerah dan bahkan justru mengendap di bank menurut penulis disebabkan lemahnya leadership atau kepemimpinan dan ketidakmampuan kepala daerah dalam mengelola birokrat.
Terutama kebijakan untuk memerintahkan birokrasi agar menjalankan program yang menjadi target dari si kepala daerah dalam rangka penyaluran anggaran APBD.
Apakah kepala daerah mampu mengendalikan birokrasi agar menjalankan semua kebijakannya secara langsung. Atau perintah tersebut dijalankan birokrasi secara lamban dengan dalih anggaran tak ada. Padahal anggarannya ada.
Seorang menteri suatu ketika menceritakan pengalamannya kepada penulis bagaimana sulitnya mengendalikan birokrasi. Sang menteri itu memimpin rapat dihadapan pejabat eselon 1 dan eselon 2 dan memberikan perintah program yang harus dilaksanakan.
Di rapat tersebut sang birokrat mengangguk-ngangguk seolah siap melaksanakan.
Namun ketika ditunggu-tunggu, program yang sudah diperintahkan si Menteri tak juga dilaksanakan. Si birokrat justru sibuk dengan rutinitas agenda mereka.
Ketika ditagih banyak alasan dikemukakan. Mulai dari tidak ada koordinasi antar lembaga pemerintah, takut melanggar aturan, program si menteri tidak masuk dalam kebijakan jangka menengah versi si birokrat dan beribu alasan lainnya.
Ada cara berpikir salah yang sudah menjadi mindset birokrasi. Yakni : jabatan politis, mulai dari Presiden, menteri, kepala daerah kan hanya lima tahun. Setelah itu mereka bisa kembali atau tak lagi menjabat. Sementara birokrasi mengabdi di lembaganya dalam jangka lama minimal 20 tahun dan tidak dibatasi lima tahun.
Pandangan inilah yang menyebabkan ada budaya “penguasaan” program dan kerja yang sudah disiapkan para birokrat jika nantinya menerima atau menyambut kehadiran pejabat baru, baik itu Presiden, menteri atau kepala daerah baru. Birokrat akan tetap kekeuh dengan prinsip berpikirnya yakni linear dan konvensional. Semua sudah ditata oleh mereka.
Jika seorang pemimpin entah itu seorang menteri atau kepala daerah tidak memiliki pengalaman dan pengetahuan mengenai birokrasi dan hukum administrasi negara, maka ia akan menjadi bulan-bulanan. Bahkan si kepala daerah itu akan tersandera seperti kambing congek yang semua protokol dan kinerja dia dikendalikan oleh birokrat.
Jika kepala daerah nya lemah dalam pengetahuan hukum administrasi negara atau birokrasi maka dia akan dikendalikan oleh birokrat. Terutama dalam kebijakan penggunaan anggaran dan penyaluran anggaran.
Penulis bahkan pernah mendengar kabar ada seorang pejabat kepala daerah hingga beberapa bulan terlambat menerima gaji dan tunjangan operasional hanya karena ia harus menunggu dan bergantung penyelesaian administrasi yang dilakukan birokrat. Celakanya jika ia juga tak memahami mekanisme dan standar prosedur operasional di tubuh birokrasi.
****************
Di awal reformasi, perubahan besar banyak dilakukan oleh bangsa ini. Salah satu hasil dari perubahan era reformasi dilakukan Presiden KH Abdurahman Wahid. Kala itu Gus Dur membuat perubahan besar dengan menghapus Dwi fungsi ABRI. Gus Dur membuat kebijakan memisahkan peran TNI dalam percaturan sipil.
Peran TNI dipisah dengan Polri. TNI berperan sebagai alat penjaga pertahanan negara dan Polri bertugas sebagai aparat keamanan negara dan penegak hukum.
Namun Gus Dur dan pemerintahan era reformasi kala itu lupa bahwa ada lembaga yang belum direformasi yakni birokrasi. Birokrasi sangat menguasai anggaran dan jaringan budaya linear mereka sudah mengakar kuat.
Di era reformasi, birokrasi nyaris tak tersentuh oleh perubahan. Akibatnya mereka menjadi penguasa anggaran, menentukan program penggunaan belanja anggaran dan manajemen pemerintahan.
Mungkin kepala daerah memahami ia tidak memiliki kecakapan dalam menguasai hukum administrasi negara dan anatomi birokrasi dalam memimpin daerah. Maka si kepala daerah itu menggunakan jasa staf ahli atau staf khusus untuk bisa menjembatani visi dan misi, program kerja dan target kerja si kepala daerah.
Sayangnya sebagian besar staf khusus atau staf ahli justru terseret dan terkooptasi dalam gendang permainan birokrat. Dalam beberapa kasus korupsi yang di OTT oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), staf khusus seringkali justru menjadi tersangka kasus korupsi. Karena ia dimanfaatkan sebagai perantara dengan oknum birokrasi untuk membangun kongkalikong suap atau korupsi dengan pihak ketiga.
Yang menarik juga untuk dicermati tak sedikit pejabat birokrasi dibekingi oleh kekuatan politik dan konon juga kekuatan cukong proyek APBD. Sehingga mereka cukup “berani” untuk tidak segaris lurus dengan bosnya kepala daerah.
Jika kepentingan mereka terganggu maka si birokrat ini akan menyandera si kepala daerah dengan menakut-nakuti si kepala daerah dengan masukan bahwa kebijakan si kepala daerah itu bertentangan dengan regulasi, undang-undang hingga Perda. Yang jelas banyak birokrat yang lebih pintar dan cerdas berdalil dan berargumentasi ketimbang si pemimpinnya, kepala daerah.
Yang harus dilakukan sekarang ini bagi kepala daerah adalah ia harus berani melakukan terobosan dan perubahan yang mendasar. Ada beberapa langkah yang harus dilakukan kepala daerah jika ingin dalam lima tahun kepemimpinannya ada wujud nyata yang diharapkan rakyat.
Pertama, si pemimpin daerah ini harus mampu merangkul birokrat, mempelajari perilaku mereka dan membimbing mereka untuk bekerja melayani publik dengan integritas dan profesionalisme.
Kedua, si pemimpin daerah harus rajin terjun ke lapangan untuk mengetahui kinerja jajarannya selama ini dalam melayani kepentingan rakyat. Apakah mereka sudah menjalankan tugasnya sebagai aparatur sipil negara (ASN) yang punya tugas pokok sebagai pelayan publik.
Ketiga, si pemimpin daerah harus mampu mengelola administrasi negara, membangun organisasi pemerintahan yang efektif dan ramping. Kepala daerah harus mau melakukan restrukturisasi organisasi perangkat daerah (OPD) untuk menata kembali perangkat-perangkat seperti apa yang dibutuhkan untuk melayani publik. Seperti misalnya perangkat daerah untuk melayani pendidikan, kesehatan, pangan, kebencanaan, bantuan sosial dan sebagainya.
Keempat, gunakan staf khusus atau staf ahli yang kompeten. Bukan sekedar pandai berteori atau “balas jasa” dari timses, tapi staf khusus yang memang memahami praktek tentang hukum administrasi pemerintahan, memiliki kecakapan membaca regulasi dan analisis regulasi, memiliki jaringan birokrasi dan memahami peta dan perilaku birokrasi. (***)
[ad_2]
Sumber Berita