[ad_1]
Suatu hari, rumah Sayidina Ali bin Abi Thalib RA. terbakar. Saat itu, beliau sedang sujud dalam keadaan shalat. Orang-orang berteriak memperingatinya, “Api,…api,… wahai menantu Rasulullah, ada api!” Tapi beliau tidak juga mengangkat kepalanya dari sujud. Saat rampung mendirikan shalat dengan khusyuk, beliau diberitahu bahwa tadi saat sujud sudah diperingatkan ada kebakaran. Beliau menjawab, “Api neraka membuatku lupa dengan api kebakaran tadi.”
Kisah yang diceritakan dalam Risalat al-Asror itu merupakan satu dari berbagai cerita para salafus shalih tentang kekhusyukan waktu shalat. Sulit bagi kebanyakan kaum muslim mencapai derajat kekhusyukan seperti itu. Bahkan, untuk sekedar khusyuk saat shalat dalam definisi paling minimal pun sulitnya bukan main. Padahal, banyak sekali faedah yang di dapatkan dari shalat dengan khusyuk. Lalu, bagaimana dengan orang yang masih belum bisa khusyuk saat shalat, apakah berarti ia tidak mendapatkan faedah shalat? Misalnya mencegah kemungkaran.
Baca juga: Kisah Murid Sombong yang Tak Bisa Naik Tingkat
Dalam fikih mazhab Syafi’i, khusyuk saat shalat dihukumi sunah, tapi merupakan sunah terpenting. Karena tanpa khusyuk, pahala shalat bisa tidak didapatkan. Khusyuk sendiri didefinisikan Ibnu Hajar Al-Haitami sebagai kehadiran hati dan tenangnya anggota badan saat shalat. Sementara dalam I’anat ath-Thalibin disebutkan, khusyuk bisa didapatkan bagi musholi (orang yang shalat) dengan cara menghadirkan diri dalam shalat seolah-olah dia sedang berhadapan dengan Raja dari segala raja yang maha mengetahui segala rahasia, dan secara intim berbicara pada Raja tersebut.
Dalam menjelaskan keutamaan khusyuk saat shalat, Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menyertakan hadis Nabi berikut. Rasulullah SAW. bersabda :
مَنْ لَمْ تَنْهَهُ صَلَاتُهُ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ لَمْ يَزْدَدْ مِنَ الله إلا بعداً
Artinya : Orang yang shalatnya tidak dapat mencegahnya dari kejahatan dan kemungkaran, maka tidak bertambah apapun baginya dari Allah, selain (bahwa antara ia dan Allah jaraknya semakin bertambah) jauh. (HR. Ath-Thabrani, dengan sanad shahih).
Dengan menyertakan hadis ini, secara tidak langsung Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa salah satu keutamaan atau faedah dari khusyuk saat shalat adalah shalatnya dapat mencegah dari perbuatan jahat dan mungkar. Lalu bagaimana dengan orang yang masih belum bisa khusyuk?
Ulama’ bersepakat bahwa shalat dapat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar. Hal ini secara jelas dinash oleh Allah SWT. dalam Al-Qur’an. Allah SWT. berfirman dalam Surah Al-Ankabut ayat 45 :
أُتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ، وَأَقِمِ الصَّلَاةَ، إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ، وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ، وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ
Artinya : Bacalah (wahai Nabi Muhammad) Kitab (Al-Qur’an)yang telah diwahyukan kepadamu dan tegakkanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar. Sungguh, mengingat Allah (shalat) itu lebih besar (keutamaanya daripada ibadah yang lain). Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Ankabut (29) : 45).
Dari ayat ini pula, para ulama’ berbeda pendapat dalam menjelaskan bagaimana bentuk pencegahan shalat dari kedua hal tersebut. Sebagian ulama’ berpendapat bahwa yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah shalat dengan khusyuk. Karena dengan kehadiran hati dan ketenangan badan saat shalat, seorang musholi kemudian akan sadar untuk menjauhi perbuatan keji dan mungkar, sebagaimana yang disebut dalam hadits yang dikutip Imam Al-Ghazali di atas.
Imam Ar-Razy dalam tafsirnya Mafatih al-Ghaib menambahkan, bahwa ilustrasinya orang yang shalat seperti orang yang khidmah pada Raja dengan loyal, sehingga ia mendapatkan tempat istimewa di sisi Rajanya. Kemudian ia melihat sesama hamba Raja yang mencoba membuatnya meninggalkan sang Raja dengan iming-iming yang tidak bisa diharapkan. Maka apakah orang yang loyal tersebut bersedia mengkhianati Raja? Tentu tidak. Hamba yang loyal itu ibarat orang yang shalat, sedangkan sesama hamba yang merayunya adalah setan, dan pengkhianatan itu seperti melakukan perbuatan keji dan mungkar yang dilarang Allah SWT. Ilustrasi Imam Ar-Razy ini sebangun maknanya dengan pencapaian khusyuk menurut Syaikh Abu Bakar Syatho dalam I’anat ath-Thalibin yang dikutip di atas.
Baca juga: Gus Baha: Shalat Tidak Khusyuk di Tengah Kerja? Shalatmu Sendiri Itu Bentuk Khusyuk!
Namun banyak juga ulama’ yang mengatakan, yang dimaksud shalat dalam QS. Al-Ankabut ayat 45 adalah shalat secara mutlak, tidak mensyaratkan adanya kekhusyukan. Hal ini bisa dilihat dari bagaimana Sahabat Ibnu Abbas RA. menafsiri ayat ini dengan mengatakan :
فِي الصَّلَاةِ مُنْتَهًى وَمُزْدَجَرٌ عَنْ مَعَاصِي اللَّهِ
Artinya : Dalam shalat terkandung pencegah dari berbagai maksiat kepada Allah.
Dijelaskan lebih lanjut oleh Imam Ath-Thabari, shalat membatasi musholi dari perbuatan yang mengarah pada hal keji, karena dengan melakukan dan menyibukkan diri dengan shalat, maka dengan begitu terputuslah peluang untuk menyibukkan diri dengan perbuatan mungkar. Dalam hal ini, Imam Ar-Razy dalam menafsiri ayat yang sama, mengilustrasikan seorang musholi memakai pakaian terbaik setiap shalat yang bisa melindungi hati, yaitu libas at-taqwa (pakaian ketakwaan). Pakaian ini lah yang melindungi dari segala kotoran-kotoran berupa perbuatan keji dan mungkar. Dengan semakin diulang-ulangnya shalat, maka semakin langgeng pula pelindung tersebut bagi musholi.
Dari berbagai keterangan di atas bisa disimpulkan, shalat secara mutlak dapat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar bagi orang yang melakukanya, dan bagi orang yang belum bisa khusyuk masih tetap terbuka kemungkinan dapat mencegah dari perbuatan buruk dengan shalatnya. Meskipun begitu, sudah seyogyanya bagi seorang muslim untuk meningkatkan kualitas ibadahnya pada Allah SWT.
Sebagaimana pencapaian lain, khusyuk pun bisa dilakukan dengan proses dan berbagai usaha. Kalau memang masih belum bisa khusyuk, hendaknya seorang muslim terus mendirikan shalat dan belajar untuk beribadah dengan khusyuk. Karena kalau shalat diibaratkan seperti pakaian ketakwaan yang bisa melindungi perbuatan keji dan mungkar, maka sungguh beda kualitasnya antara pakaian ketakwaan dari shalat yang khusyuk dengan yang tidak khusyuk. Dengan begitu, insya Allah tanpa perlu diragukan lagi, shalat kita akan mencegah kita dari berbuat keji dan mungkar. (AN)
Wallahu a’lam bi ash-shawab.
Refrensi :
Imam Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali, Ihya’ Ulum ad-Din, juz 1, (Beirut : Dar al-Ma’rifah).
Syaikh Abu Abdillah Muhammad Fakhr ad-Din Ar-Razi, Mafatih al-Ghaib : At-Tafsir Al-Kabir, juz 25, (Beirut : Dar Ihya’ at-Turats al-Arabiy, 1420 H.).
Imam Abu Ja’far Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, juz. 18, (Muassasah ar-Risalah, 2000 M.).
Syaikh Abu Bakar Syatho, I’anah ath-Thalibin ‘ala Halli Alfadzi Fath al-Mu’in, juz. 1, (Dar al-Fikr, 1997 M.).
Syaikh Abu al-Abbas Syihabuddin ibnu Hajar Al-Haitamy, Minhaj al-Qowim Syar Al-Muqoddimah Al-Hadhramiyyah, (Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2000 M.).
Sayid Muhammad bin Alawiy bin Abbas Al-Maliky, Risalah al-Asror fi ash-Shalat wa az-Zakat wa ash-Shaum wa al-Hajj, (Dar ath-Thaba’ah Kali Kondang, tanpa tahun).
[ad_2]
Sumber Berita